SYARAH ARBAIN ANNAWAWIYAH

SYARAH
ARBA’IN AN-NAWAWIYAH

Karya
IBNU DAQIQIL ‘IED



Dilengkapi:
Tambahan delapan hadits dari Ibnu Rajab
Penjelasan derajat hadits dari Syaikh Albani dan Syaikh Muqbil
Nukilan Faedah dari Ibnu Rajab, Syaikh Muhammad bin Al Utsaimin dan Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad







Penerbit Al Mubarak







Judul Asli:
Syarah Arba’ina Haditsan an Nawawi

Penulis:
Ibnu Daqiqil ‘Ied

Terbitan:
Maktabah Darul Arqam

Edisi Indonesia:
Syarah Arba’in an Nawawi Ibnu Daqiqil ‘Ied

Alih Bahasa:
Abu Abdillah
 Abdurrahman Mubarak Ata

Cetakan Pertama: Dzul Qa’dah 1420 H. / Februari 2000 M.
Cetakan kedua:

Penerbit: Al-Mubarak
Cikalagan Rt. 02/ 10 Cileungsi Bogor 16820


DAFTAR ISI

Dari Penerbit
Kata Pengantar
v Hadits Pertama:
Semua Amal Tergantung Niatnya
v Hadits Kedua:
Islam, Iman dan Ihsan
v Hadits Ketiga:
Rukun Islam
v Hadits Keempat:
Taqdir Manusia
v Hadits Kelima:
Semua yang Bid’ah Tertolak
v Hadits Keenam:
Halal, Haram dan Syubhat
v Hadits Ketujuh:
Agama itu Nasehat
v Hadits Kedelapan:
Memerangi Orang Kafir
v Hadits Kesembilan:
Jangan Terlalu Banyak Bertanya
v Hadits Kesepuluh:
Allah Memerintahkan yang Thayyib
v Hadits Kesebelas:
Tinggalkanlah Semua yang Meragukan
v Hadits Kedua Belas:
Meninggalkan yang Tidak Bermanfaat
v Hadits Ketiga Belas:
Mencintai Saudara
v Hadits Keempat Belas:
Orang yang Dihalalkan Darahnya
v Hadits Kelima Belas:
Berkatalah yang Baik atau Diam
v Hadits Keenam Belas:
Jangan Marah
v Hadits Ketujuh Belas:
Menyembelih dengan Cara yang Ihsan
v Hadits Kedelapan Belas:
Iringilah Kejelekan dengan Kebaikan
v Hadits Kesembilan Belas:
Hanya Allah lah yang Dapat Menolong
v Hadits Kedua puluh
v Hadits Kedua puluh satu
v Hadits Kedua puluh Dua
v Hadits Kedua puluh Tiga
v Hadits Kedua puluh Empat
v Hadits Kedua puluh Lima
v Hadits Kedua puluh Enam
v Hadits Kedua puluh Tujuh
v Hadits Kedua puluh Delapan
v Hadits Kedua puluh Sembilan
v Hadits Ketiga puluh
v Hadits Ketiga puluh Satu
v Hadits Ketiga puluh Dua
v Hadits Ketiga puluh Tiga
v Hadits Ketiga puluh Empat
v Hadits Ketiga puluh Lima
v Hadits Ketiga puluh Enam
v Hadits Ketiga puluh Tujuh
v Hadits Ketiga puluh Delapan
v Hadits Ketiga puluh Sembilan
v Hadits Ke empat puluh
v Hadits Ke empat puluh Satu
v Hadits Ke empat puluh Dua
v Hadits Ke empat puluh Tiga
v Hadits Ke empat puluh  Empat
v Hadits Ke empat puluh Lima
v Hadits Ke empat puluh Enam
v Hadits Ke empat puluh Tujuh
v Hadits Ke empat puluh Delapan
v Hadits Ke empat puluh Sembilan
v Hadits KeLima Puluh













PENGANTAR PENERBIT
CETAKAN KEDUA (REVISI)

Alhamdulillah,  Kami penerbit Al Mubarak dapat kembali menerbitkan buku syarah Arbain karya Ibnu Daqiqil Ied ini.
Ilmu hadits adalah ilmu yang mulia. Dengannya seorang mengetahui tafsir Al Qur’an yang benar, aqidah yang shahih, ibadah yang sesuai sunnah Rosululloh sholAllahu 'alaihi wasallam dan akhlaq yang mulia.diantara kitab terbaik dalam masalah hadts yang dianjurkan oleh para ulama dibaca dan dihafal serta memahami makna dan kandungan faedahnya adalah kitab Arba’in Nawawi yang ditulis oleh Imam Nawawi rahimahulloh.
Diantara bukti Kitab ini adalah kitab yang bagus dan barokah adalah kitab-kitab syarah kitab ini yang ditulis oleh para ulama.
Diantara para ulama yang menulis syarah kitab ini adalah:
1.      Imam Nawawi
2.      Ibnu Rojab dalam kitabnya “Jami’ul ‘ulum wal hikam”
3.      Ibnu Daqiqil ‘Ied
4.      Syaikh Muhammad bin Sholih Utsaimin
5.      Syaikh Abdul Muhsin Al Abad
6.      Syaikh Hamad Al Anshory
Serta banyak lagi ahlul ilmi yang mensyarah kitab ini.
Namun tak ada kitab yang sempurna selain kitabulloh, dalam kitab Arbain Nawawi ini ada beberapa hadits yang dilemahkan/diperbincangkan para ulama tentang keshohihannya.hadits-hadits yang dilemahkan/diperbincangkan tersebut adalah:
1.      Hadits Kedua belas
2.      Hadits Kedelapan belas
3.      Hadits Kedua puluh sembilan
4.      Hadits Ketiga puluh
5.      Hadits Ketiga puluh Satu
6.      Hadits ketiga puluh sembilan
7.      Hadits Keempatpuluh satu
Sebagai nasihat bagi kaum muslimin kami berusaha membawakan keterangn para ulama  yang menerangkan hadits-hadits dalam kitab ini.kami khususkan nukilan kami dari tiga orang ulama hadits:Ibnu rojab alhambali, Syaikh Al albani dan syaikh muqbil.kami pun akan berusaha menukil faedah-faedah penting dari ulama ahlus sunnah.
Dalam penyusunan buku ini kami mengambil fawaid dari guru kami Abul Hasan Ali Ar Rojihi dalam tahqiq beliau terhadap kitab Arbain Nawawi juga kami ambil fawaid dari tahqiq Muhamad bin Abdillah bin Abdurahman Bajmal (salah seorang murid Syaikh Yahya hafidhahulloh).
Diantara kelebihan cetakan kedua ini dari cetakan sebelumnya:
1.      buku ini kami jadikan satu setelah sebelumnya menjadi dua buku
2.      kami berusaha menyebutkan surat dan no ayat yang disebutkan oleh Ibnu Daqiqil ‘Ied
3.      takhrij hadits dan keterangan dari para ulama
4.      kami nukilkan beberapa ketarangan penting para ulama ahlussunnah berkaitan dengan kandungan kitab Arba’in An Nawawi
Sebagai penutup tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada guru-guru kami yang menjadi sebab kami cinta ilmu hadits ini. Terutama kepada Syaikh Yahya bin Ali Alhajury, Syaikh Abdurahman Mar’i, Syaikh Ali Ar Rojihi serta guru kami yang terus membimbing kami Ustadz Muhamad Umar Sawed. Mudah-mudahan Allah membalas kebaikan mereka dan orang tua serta orang-orang yang membantu kami dalam menuntut ilmu terkhsus akhil kabir Abu Khodijah hafidzahullah.
Mudah-mudahan ini buku ini bermanfaat bagi kaum muslimin, ikhlas karena Allah dan menjadi tambahan timbangan kebaikan kami.
Kami minta kepada para pembaca yang melihat kekurangan dalam cetakan kami ini untuk memberikan masukan dan nasehatnya, Insya Allah anda akan menerima nasihatnya. Akhiru da’wana anilhamdulillahirobil’alamin.


Cileungsi 22 Jumadil Awal 1428 H
Abu Abdillah Abdurahman Mubarak














   

DARI PENERBIT
CETAKAN PERTAMA
   Alhamdulillah, kami penerbit Al Mubarak dapat kembali menerbitkan buku yang Insya Allah bermanfaat bagi kaum muslimin.
   Kami terjemah dan terbitkan buku ini karena para ulama Ahlus Sunnah menganjurkan para penuntut ilmu untuk mempelajari hadits-hadits Rasulullah, dan diantara kitab yang ringkas dalam masalah ini adalah Syarah Arba’in Nawawi karya Al Allamah Ibnu Daqiqil ‘Ied.
Buku ini kami terbitkan menjadi dua buku, pada buku ini baru kami sajikan terjemah hadits pertama sampai hadits kedua puluh, hadits kedua puluh satu sampai keempat puluh Insya Allah kami sajikan pada buku berikutnya.
Akhirnya mudah-mudahan Allah menjadikan buku ini bermanfaat bagi pembaca khususnya dan kaum muslimin pada umumnya dan juga menjadikannya sebagai salah satu amal shalih kami dalam menyebarkan ilmu dan sunnah dengan pemahaman salafus shalih. Amiin.
Tak lupa segala kritik dan saran tetap kami harapkan demi kesempurnaan risalah ini, karena kami yakin kami adalah orang yang dha’if, semoga Allah meridhai kita semua.

Penerbit Al-Mubarak


KATA PENGANTAR

Kitab Arba’in An Nawawi ini disusun oleh Al Imam Al Faqih Muhyiddin Abu Zakariya bin Syarif An Nawawi Ad Dimasyqi, beliau lahir di Nawa Qaidah Al Jaulan bagian negeri Hauran di bawah pemerintahan Damasqus, lahir 10 Muharram 631 H. dan wafat tahun 676 H. di tempat kelahirannya.
Dan kitab syarah ini adalah karya Al Imam Al Allamah Muhammad bin Ali bin Wahb bin Muthi’ yang dikenal dengan nama Ibnu Daqiqil ‘Ied.
Beliau lahir di kota Yanbu’ hari sabtu 15 Sya’ban 625 H. dan wafat pada hari Jum’at 11 Shafar 702 H., beliau dimakamkan di Shafil Muqtham pada hari sabtu, dimana saat itu orang jarang melakukannya. Orang-orang bersegera untuk melihat jenazahnya, dan tentara Mesir berdiri menunggu dishalatkannya jenazah beliau Rahimahullahu Ta’ala.
Segala puji bagi Allah Penegak bumi dan langit, Pengatur seluruh makhluk, yang mengutus para rasul – shalawatullah wasallamu ‘alaihim – kepada orang-orang yang sudah mukallaf (Baligh dan berakal) untuk membimbing dan menjelaskan syariat-syariat agama kepada mereka dengan dalil-dalil qath’i dan penjelasan-penjelasan yang penuh bukti, aku memuji-Nya atas semua nikmat yang diberikan oleh-Nya, dan aku meminta tambahan karunia dan keutamaan dari-Nya.
Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah, Dialah Dzat Yang Maha Perkasa, Pemurah dan Maha Pengampun. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, habib dan khalil-Nya dan beliau adalah makhluk yang paling mulia, dimuliakan dengan Al Qur’anul Aziz sebagai mukjizat yang senantiasa ada sepanjang masa, dan juga dimuliakan dengan sunnah yang menerangi orang yang mencari bimbingan, beliau juga dikhususkan dengan memiliki Jawami’ul Kalim dan agama yang mudah. Shalatullahi alaihi wa’ala saairin Nabiyyin wal mursalin wa aali kullin wa saarish shalihin.
Amma ba’du: Telah diriwayatkan kepada kita dari Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Abu Darda, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu Ta’ala anhum dari banyak jalan dengan beragam riwayat, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
Barangsiapa yang menghapal untuk umatku empat puluh hadits dalam masalah agamanya Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat termasuk golongan fuqaha dan ulama”.
Dalam satu riwayat: “Allah akan membangkitkannya dikalangan orang faqih dan orang alim”.
Dalam satu riwayat: “Allah akan membangkitkannya dalam keadaan sebagai seorang yang faqih dan alim.”
Dalam riwayat Abu Darda “dan aku akan menjadi pemberi syafa’at dan saksi baginya.” Dalam riwayat Ibnu Mas’ud: Akan dikatakan kepadanya: ”Masuklah dari pintu surga yang manapun yang kau mau”, dalam riwayat Ibnu Umar: “Ditulis termasuk golongan ulama dan dikumpulkan pada golongan syuhada”.
Para huffadz sepakat bahwa hadits-hadits diatas adalah dhaif (lemah), walaupun banyak jalannya.
Banyak para ulama yang telah mengarang kitab untuk membahas masalah ini. Dan sepengetahuanku yang pertama kali menulisnya adalah Abdullah bin Mubarak, Muhammad bin Aslam at Thusi al ‘Alim Rabbani, kemudian Al Hasan bin Sufyan al Ashbahani, Ad Daruquthni, Al Hakim, Abu Nu’aim, Abu Utsman ash Shabuni, Abdullah bin Muhammad al Anshari, Abu Bakar al Baihaqi, dan masih banyak yang lainnya.
Aku telah beristikharah (minta petunjuk) kepada Allah untuk mengumpulkan hadits-hadits dalam rangka mengikuti para imam dan para ulama dalam memelihara sumber ajaran Islam ini.
Para ulama telah sepakat tentang bolehnya mengamalkan hadits yang lemah dalam masalah fadhailul amal (keutamaan-keutamaan amal)[1] namun walaupun demikian bukanlah sandaranku (dalam menulis kitab ini) pada hadits yang lemah tersebut, akan tetapi aku bersandar kepada sabda Rasulullah dalam hadits-hadits yang shahih:
ليبلغ الشاهد منكم الغائب
Artinya:“Hendaknya orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang tidak hadir,”[2] dalam hadits lain beliau bersabda:
نضرالله امرء سمع مقالاتي فأداها كما سمع
Artinya: “Mudah-mudahan Allah memberi cahaya kepada orang yang mendengar perkataanku kemudian memahaminya, kemudian dia menyampaikannya sebagaimana ia mendengar.”[3]
Diantara para ulama itu ada yang mengumpulkan empat puluh hadits dalam masalah ushuluddin, ada yang dalam masalah furu’, masalah jihad, masalah zuhud, masalah adab dan khutbah, semuanya mempunyai tujuan yang baik, mudah-mudahan Allah meridhai pengarangnya. Akan tetapi aku punya pandangan untuk mengumpulkan empat puluh hadits yang lebih penting dari itu semua, yaitu empat puluh hadits yang mencakup seluruh masalah diatas, setiap haditsnya merupakan kaidah yang agung dari kaidah agama ini, dan para ulama telah menyatakan bahwa sumber agama terpusat pada hadits-hadits tersebut, ada pula yang menyatakan hadits-hadits tersebut mengandung setengah atau sepertiga Islam dan pernyataan-pernyataan yang semisalnya.
Kemudian aku berusaha agar dalam Arba’in ini memuat hadits-hadits yang shahih, dan sebagian besarnya terdapat dalam shahih Bukhari dan Muslim, aku sebutkan dengan tanpa sanad untuk memudahkan menghafalnya, dan manfaatnya lebih merata Insya Allah Ta’ala, juga aku sertai dengan bab dalam menjelaskan lafadz yang samar. Seyogyanya kita mengetahui hadits-hadits ini karena mencakup perkara-perkara penting dan mengandung peringatan untuk ta’at kepada Allah. Hal ini akan jelas bagi orang yang memahaminya, Allahlah tempatku bersandar, kepada-Nya aku berserah diri, bagi-Nya lah pujian dan nikmat, dan dengan-Nya lah bimbingan dan perlindungan.


HADITS PERTAMA

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفص عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ تَعَالىَ عَنْهُ قاَلَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهُِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يَقُوْلُ: إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ. وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ. وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ ِلدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ أمْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلىَ مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ. رواه البخاري ومسلم.

Dari Amirul mukminin Abi Hafs Umar bin Khattab Radiyallahu ‘anhu: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya, dan sesungguhnya setiap orang mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkan, barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang akan didapatkan atau wanita yang akan dinikahi, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari Muslim[4])

Syarah:
Hadits ini telah disepakati keshahihannya, dan kedudukan hadits ini telah disepakati keagungannya dalam Islam. Hadits ini sangat banyak faedahnya. Diriwayatkan oleh Abu Abdillah Al Bukhari dalam banyak tempat di dalam kitabnya, dan Imam Abul Hasan Muslim bin Hajjaj meriwayatkan diakhir kitabul jihad. Hadits ini merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berkata: “Telah ada dalam hadits ini sepertiga ilmu, ucapan ini diriwayatkan oleh Bukhari dan lainnya, dikatakan demikian karena perbuatan hamba terjadi dengan hati, lisan dan anggota badannya. Dan niat adalah salah satu dari tiga bagian ini. Juga telah diriwayatkan bahwa Imam Syafi’i pernah berkata: “Hadits ini masuk dalam tujuh puluh bab masalah fiqih”. Sekelompok ulama ada yang berkata: “Hadits ini sepertiga ilmu”.
Para ulama juga menganjurkan agar setiap karya tulis hendaknya dimulai dengan hadits ini, diantara ulama yang memulai kitabnya dengan hadits ini adalah Imam Abu Abdillah Bukhari.
Abdurrahman bin Mahdi berkata: “Semua pengarang buku hendaknya memulai kitabnya dengan hadits ini, untuk mengingatkan thalibul ilmi agar membenarkan niatnya.
Hadits ini jika dilihat dari akhir sanadnya adalah hadits masyhur, tapi jika dilihat dari awal sanadnya adalah hadits gharib, karena tidak ada yang meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali Umar bin Khattab, tidak ada yang meriwayatkan dari Umar kecuali Alqamah bin Abi Waqas, dan tidak ada yang meriwayatkan dari Alqamah kecuali Muhammad bin Ibrahim attaimi, dan tidak ada yang meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim kecuali Yahya bin Sa’ad al Anshari. Kemudian setelah itu menjadi masyhur diriwayatkan oleh lebih dari dua ratus orang dan sebagian besar mereka adalah para imam.
Lafadz إنما untuk hashr (pembatasan): menetapkan yang disebutkan dalam konteks hadits dan menafikan yang selainnya, lafadz ini sebagai pembatas yang mutlaq kadang sebagai pembatas yang khusus, hal ini dipahami dengan adanya qarinah, seperti firman Allah:
إِنَّمَا أَنْتَ مُنْذِرُ مَنْ يَخْشَهَا
 “Engkau hanyalah seorang pemberi peringatan” (An Nazi’at: 45).
Dhahir ayat ini menunjukkan pembatasan tugas Rasulullah hanya sebagai pemberi peringatan, padahal Rasulullah sifatnya tidaklah terbatas itu saja, bahkan dia mempunyai sifat yang banyak dan bagus, seperti pembawa kabar gembira dan lainnya.
Demikian pula firman Allah:
اعْلَمُوْا أَنَّمَا الْحَيَوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan suatu yang melalaikan” (Al Hadid: 20).
Dhahir ayat ini menunjukkan pembatasan jika dilihat dari pengaruhnya, adapun jika dilihat dari hakikat dunia itu sendiri, kadang dunia menjadi satu kebaikan. Ayat ini hanya menunjukkan salah satu pengaruh dunia terhadap mayoritas manusia.
Jika ada lafadz إنما perhatikanlah! Apabila konteks dan maksud pembicaraan menunjukkan pembatasan yang  khusus katakanlah demikian, jika tidak maknakanlah dengan pembatasan yang mutlaq. Diantaranya sabda Rasulullah: “Amalan itu tergantung niatnya”  yang dimaksud amalan dalam hadits ini adalah amalan syari’ah.
Maknanya: amalan tidak teranggap jika tanpa niat, seperti wudhu, mandi, tayammum demikian pula shalat, zakat, puasa, haji, i’tikaf dan seluruh ibadah. Adapun menghilangkan najis tidak butuh kepada niat karena itu termasuk bab ترك dan bab tark tidak butuh pada niat. Ada juga sekelompok ulama berpendapat sahnya wudhu dan mandi tanpa niat.
Dalam sabda Rasulullah: ”Amalan itu tergantung niat” ada kata yang mahdzuf (dihilangkan). Para ulama ikhtilaf dalam menentukan lafadz yang mahdzuf  tersebut, ulama yang mensyaratkan niat dalam ibadah menyatakan: “Sahnya amalan itu dengan niat”, ulama yang tidak mensyaratkan niat menyatakan: “Sesungguhnya sempurna tidaknya amalan itu tergantung niat”.
Sabda beliau: “Sesungguhnya setiap orang mendapatkan apa yang ia niatkan” Al Khattabi berkata “kalimat ini memberikan makna khusus berbeda dengan kalimat yang pertama yaitu menentukan amalan dengan niat. Syaikh Muhyidin menyebutkan faidah yang ia sebutkan: “Bahwasanya menentukan amalan dengan niat adalah syarat, kalau seseorang mempunyai kewajiban shalat qadha, dia tidak cukup meniatkan shalat yang terluput, tapi disyaratkan untuk menentukan apakah shalat tersebut shalat dhuhur, ashar atau selain keduanya. Kalaulah tidak ada kalimat kedua (yakni: Sesungguhnya setiap orang mendapatkan apa yang ia niatkan) maka kalimat pertama hanya menunjukkan bahwa sahnya amalan itu dengan niat tanpa mewajibkan untuk menentukan niat, atau akan mengesankan demikian. Wallahu A’lam.
Sabdanya: “Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya maka hijranya kepada Allah dan rasul-Nya.” Yang telah disepakati oleh ahli bahasa Arab: syarat dan jaza (syarat dan jawab syarat) serta mubtada dan khabar haruslah berbeda. Jawabnya adalah: “Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya” dalam niat dan tujuannya “Maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya” dalam hukum dan syari’at.
Hadits ini diriwayatkan karena ada sebab, para ulama menukilkan bahwa ada seorang yang hijrah dari Mekkah ke Madinah untuk menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Qais, dia tidak menginginkan keutamaan hijrah, hingga iapun dijuluki “Muhajir Ummu Qais”.[5] Wallahu A’lam.[6]
HADITS KEDUA

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضًا قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ، إِذَ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالََ: يَامُحَمَّدُ أَخْبِرْنِيْ عَنِ الْإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهَ وَأَنَّّّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً" قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ فَعَجَبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ: فَأَخْبَِرْنِيْ عَنِ اْلإِيْمَانِ. قَالَ: "أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلاَئِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ" قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: "أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ". قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: "مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ" قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنْ أَمَارَتِهَا، قَالَ: "أَنْ تَلِدَ اْلأََمَةُ رَبَّتَهَا. وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ، يَتَطَاوَلُوْنَ فِيْ الْبُنْيَانِ". ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا ثُمَّ قَالَ لِي: "يَا عُمَرُ! أَتَدْرِيْ مَنِ السَّائِلُ؟" قُلْتُ: الله وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: "فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ". رواه ومسلم.

Dari Umar Radiyallahu’anhu juga: “Ketika kami duduk di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba muncullah seorang pria yang sangat putih bajunya dan sangat hitam rambutnya, tak terlihat padanya bekas safar, dan tidak ada seorangpun yang mengenalinya. Kemudian orang tersebut duduk di hadapan Rasulullah, menempelkan lututnya dengan lutut Rasulullah dan meletakkan dua tangannya di paha Rasulullah seraya berkata: “Ya Muhammad kabarkan kepadaku tentang Islam!,
Rasulullah bersabda: “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah dan Muhammad adalah utusanNya, engkau dirikan shalat, keluarkan zakat, puasa Ramadhan dan haji ke Baitullah jika mampu.” Penanya tadi berkata: “Engkau telah benar,”kamipun heran dia yang bertanya dia pula yang membenarkan.
Kemudian berkata: “Kabarkan kepadaku tentang Iman!, Rasulullah menjawab: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan engkau beriman kepada hari akhir serta mengimani qadar yang baik dan jeleknya”. Orang tersebut berkata: “Engkau benar”, kemudian berkata: “Kabarkan kepadaku tentang Ihsan!, Rasulullah menjawab: “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, dan jika engkau tidak bisa melihat-Nya sesungguhnya Dia melihatmu”. Orang tersebut berkata lagi: “Kabarkan kepadaku kapan hari kiamat!, Rasulullah menjawab: “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya”, orang tersebut bertanya lagi: “kabarkan kepadaku tanda-tandanya! Rasulullah menjawab: “Seorang budak melahirkan tuannya, orang-orang yang telanjang kaki dan badan serta miskin berlomba-lomba untuk meninggikan bangunan”. Umar berkata: “Orang itu pun pergi, dan aku pun diam beberapa saat, kemudian Rasulullah berkata: “Wahai Umar tahukah engkau siapa orang yang bertanya tadi?, aku menjawab: “Allah dan rasul-Nya yang lebih tahu”, Rasulullah bersabda: “Dia adalah Jibril datang untuk mengajari masalah agama kalian” (HR. Muslim)[7].

Syarah:
Ini adalah hadits yang agung, telah mencakup seluruh kewajiban amal yang dhahir maupun yang batin, ilmu-ilmu syar’i seluruhnya kembali kepada hadits ini dan tercabang darinya, karena hadits ini mengandung seluruh ilmu sunnah, sehingga seperti induknya sunnah, sebagaimana Al-Fatihah dinamakan Ummul Qur’an karena mengandung seluruh isi al-Qur’an.
Dalam hadits ini ada dalil disyariatkannya memperbagus pakaian dan penampilan serta berpakaian bersih ketika hendak menemui ulama, orang yang mempunyai kedudukan atau hendak menemui raja, karena kedatangan Jibril itu adalah untuk mengajari manusia dengan perkataan, sikap serta keadaannya.
Perkataan dalam hadits (  ( لايرى عليه أثر السفرyang masyhur dengan dhommah huruf ya’ pada kata يرى adalah mabni lima lam yusamma fa’iluhu, sebagian lagi meriwayatkan dengan fathah huruf nun, keduanya benar.
Perkataan dalam hadits “Meletakkan dua telapak tangannya di atas dua paha, dan berkata ya Muhammad” demikian riwayat yang masyhur dan shahih.
Imam Nasa’i meriwayatkan hadits yang semakna dengan itu yakni “Meletakkan dua tangannya di atas dua lutut Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam” dengan demikian hilanglah ihtimal (kemungkinan bermakna lain) dalam lafadz Muslim, karena dalam lafadz Muslim “meletakkan dua telapak tangannya di atas dua paha” lafadz yang muhtamal (lafadz yang kemungkinan bermakna ganda). Dari hadits ini diambil faedah: “Bahwa kata Iman dan Islam itu adalah dua hakikat yang berbeda menurut bahasa ataupun syariat. Inilah hukum asal nama yang berbeda tetapi syariat telah meluaskan pemakaiannya, sehingga salah satunya bisa dipakai untuk menamai yang lainnya.
Perkataan dalam hadits: “Kamipun heran dia yang bertanya dia pula yang membenarkannya”  Yang menyebabkan mereka merasa heran adalah karena ilmu yang dibawa oleh Nabi tidak diketahui kecuali darinya, padahal orang ini tidak pernah diketahui bertemu dengan Nabi atau mendengar darinya, tapi ternyata orang tersebut bertanya dengan pertanyaan orang yang alim, muhaqiq (sedang memastikan) dan musaddiq (membenarkan), sehingga mereka menjadi heran.
Perkataan dalam hadits: “Engkau beriman kepada Allah malaikat-malaikat dan kitab-kitab-Nya” Iman kepada Allah adalah membenarkan bahwasanya Allah itu mempunyai sifat-sifat yang mulia dan sempurna, suci dari sifat ketidaksempurnaan, bahwasanya Allah itu satu, Maha Benar, yang sangat mulian, Esa, yang menciptakan seluruh makhluk, berbuat sesuai dengan kehendak dan keinginan-Nya.
Iman kepada malaikat adalah membenarkan bahwa mereka adalah hamba-hamba Allah yang dimuliakan, tidak pernah membantah perintah Allah dan mereka selalu mengamalkan perintah Allah.
Iman kepada rasul-rasul Allah adalah membenarkan bahwa mereka jujur dalam menyampaikan berita dari Allah, Allah menguatkan mereka dengan mukjizat yang menunjukkan kebenaran mereka, bahwa mereka menyampaikan risalah Allah, menjelaskan kepada orang mukallaf apa yang Allah perintahkan atas mereka, bahwasanya wajib menghormati mereka dan tidak membedakan salah seorangpun dari mereka.
Iman kepada hari akhir adalah membenarkan akan adanya hari kiamat dan hal-hal yang akan terjadi pada dan setelah hari kiamat seperti dibangkitkannya kembali manusia setelah mati, dikumpulkannya manusia di padang mahsyar, disebarkannya catatan amal, adanya hisab, mizan, shirat, sorga dan neraka – sebagai balasan bagi orang yang berbuat baik dan yang berbuat jelek– dan perkara lainnya yang disebutkan dalam beberapa hadits yang shahih.
Iman kepada takdir adalah membenarkan perkara yang telah disebutkan di atas. Dan kesimpulannya adalah firman Allah:
وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ
"Allah-lah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian lakukan” (As Shafat: 96).
Dan firman-Nya:
إِنَّا كُلَّ شَيْئٍ خَلَقْنَهُ بِقَدَرٍ
“Sesungguhnya segala sesuatu kami ciptakan dengan taqdir masing-masing” (Al Qamar: 49).
Dan ayat yang semisal dengan ini. Diantara dalilnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits Ibnu Abbas:
وَاعْلَمْ أَنَّ اْلأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيْئٍ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلاَّ بِشَيْئٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوْا عَلَى أَنْ يَّضُرُّوْكَ بِشَيْئٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْئٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ اْلأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ.
“Ketahuilah apabila umat bersatu untuk memberi manfaat kepadamu, mereka tidak akan mampu memberikan manfaat kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu, dan jika mereka bersatu untuk memudaratkan engkau, mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu, qalam telah diangkat dan lembaran telah kering”.[8]
Madzhab salaf dan imam-imam yang mengikuti mereka telah berkata: Barangsiapa yang membenarkan seluruh perkara ini dengan keyakinan yang kuat tanpa ada keraguan sedikitpun, maka dialah mukmin yang hakiki dan baik pula keyakinannya, dikarenakan bukti-bukti yang kuat ataupun dari keyakinannya yang kuat.
Perkataan dalam hadits tentang Ihsan: “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya” kesimpulannya kembali kepada masalah harusnya memantapkan ibadah, menjaga hak-hak Allah dan selalu merasa diawasi oleh-Nya, mengingat keagungan dan kemuliaan Allah ketika beribadah.
Perkataan dalam hadits: (فأخبرني عن أمراتها) dengan fathah huruf hamzah, Amarat artinya tanda-tanda.
Hamba sahaya disini maknanya adalah budak perempuan yang sudah melahirkan,  ربتها adalah tuannya, dalam satu riwayat dengan kata. بعلها
Telah diriwayatkan bahwa ada seorang Arab gunung ditanya tentang unta, maka ia menjawab: “Akulah ba’lnya, suami juga bisa disebut ba’l, tapi dalam hadits ini dengan kata ربتها  ta’nits.
Para ulama berselisih dalam pengertian kalimat “Hamba sahaya wanita melahirkan tuannya”.
Ada yang menyatakan bahwa nanti kaum muslimin bisa mengalahkan negeri orang kafir sehingga banyak budak, akhirnya jadilah anak budak dari hasil hubungan dengan tuannya seperti kedudukan tuannya karena kemuliaan bapaknya, jika demikian maka yang menjadi tanda hari kiamat adalah berkuasanya muslimin atas orang kafir dan banyaknya mereka menaklukkan negeri kafir hingga banyaklah budak belian.
Ada juga yang menyatakan maknanya adalah sudah rusaknya keadaan manusia, hingga para pemilik budak menjual Ummahatul Aulad (budak perempuan yang telah melahirkan anak dari hasil hubungan dengan tuannya), Ummahatul Aulad tersebut berpindah dari satu tangan ke tangan pembeli lainnya, kadang mungkin dibeli oleh anaknya dalam keadaan tidak merasa bahwa dia itu adalah ibunya. Jika demikian maknanya, maka yang menjadi tanda hari kiamat adalah sudah menyebarnya kejahilan tentang haramnya menjual Ummahatul Aulad.
Ada juga yang menyatakan maknanya adalah banyaknya anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya, seorang anak memperlakukan ibunya seperti perlakuannya terhadap budak yaitu merendahkan ibunya, serta mencercanya. Lafadz  العالة dengan tanpa tasdid pada huruf lamnya, adalah jama’ (plural) dari kata عائل artinya faqir.
Dalam hadits ini ada nash dimakruhkannya meninggikan dan menghias bangunan jika tidak tidak dibuthkan, telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:
يُؤْجَرُ ابْن آدَمَ فِيْ كُلِّ شَيْئٍ إِلاَّ مَا وَضَعَهُ فِيْ هذَا التُّرَابِ
“Manusia akan diberi pahala dalam seluruh amalannya kecuali yang ia keluarkan pada tanah ini”[9].
Rasulullah wafat dalam keadaan belum pernah meletakkan satu batu di atas batu lainnya atau satu bata di atas bata lainnya yakni: beliau tidak menghias-hias rumahnya, tidak meninggikan ataupun memperindahnya.
Perkataan dalam hadits: “penggembala kambing” beliau mengkhususkan menyebut penggembala kambing karena mereka adalah orang gunung yang paling lemah, maknanya: walaupun mereka lemah dan jauh dari kemungkinan bisa membangun –berbeda dengan pemilik unta yang mayoritas dari mereka bukan orang miskin atau faqir –  tapi mereka bisa meninggikan bangunannya pent-.
Perkataan dalam hadits: (فلبثت) telah diriwayatkan dengan huruf ta, yakni Umar Radiyallahu’anhu diam beberapa saat, diriwayatkan pula dengan  فلبثتtanpa huruf ta yakni Nabi diam beberapa saat setelah Jibril pergi, dan makna tersebut shahih.
Perkataan dalam hadits مليا dengan tasydid huruf ya’, yakni diam beberapa lama, kondisi seperti itu berulang sebanyak tiga kali, demikianlah dalam riwayat Abu Dawud dan lainnya.
Perkataan dalam hadits: “Dia datang untuk mengajari kalian tentang agama kalian” yakni kaidah –kaidah agama kalian atau pokok-pokok agama kalian. Demikian dikatakan oleh Syaikh Muhyidin dalam syarahnya terhadap hadits ini dalam syarah shahih Muslim.
Yang paling penting dalam hadits ini adalah penjelasan tentang Islam, Iman dan Ihsan serta wajibnya beriman tentang adanya taqdir Allah Ta’ala, beliau menerangkan penjelasan Islam dan Iman dalam hadits ini sangat panjang lebar, beliau membawakan pendapat-pendapat para ulama diantaranya yang ia nukilkan dari Abil Husain yang ma’ruf dengan nama Ibnu Baththal Al Maliki: “Mazhab Ahlus sunnah dari salaful ummah dan pengikut mereka: “Iman itu adalah perkataan dan amalan serta iman itu bisa bertambah dan berkurang, dengan dalil:
لِيَزْدَادُوْا إِيْمَنًا مَّعَ إِيْمَنِهِمْ
Supaya keimanan mereka bertambah disamping keimanan mereka (yang telah  ada)” (Al Fath: 4). Dan ayat-ayat yang semisalnya. Sebagian ulama berkata: pembenarannya itu sendiri tidak bertambah dan tidak berkurang sedangkan Imam Syar’i berpendapat bahwa Iman itu bertambah dan berkurang, bertambah dengan hasil-hasilnya dan kekurangannya yaitu dengan amalan-amalan, mereka berkata: Dengan demikian dapat mempertemukan antara dhahir-dhahir nash yang menyatakan ada tambahan Iman dengan asal peletakkan dalam bahasa, apa yang dikatakan mereka walaupun sepertinya benar, namun yang paling benar adalah pembenaran juga akan bertambah dengan banyak melihat dhahir nash. Oleh karena itu Iman mushaddiqin lebih kuat dibandingkan selain mereka yang tidak akan menipu kepada mereka suatu kebodohan, imannya tidak akan goncang ketika ada syubhat, hati mereka terus lapang dan bersinar walaupun situasi silih berganti. Adapun orang lain yang sedang dijinakkan hatinya atau yang sederajat dengan mereka keadaannya tidak demikian. Hal ini tidak bisa diingkari dan tidak diragukan lagi bahwa tashdiq (pembenaran) yang ada pada diri Abu Bakar tidak akan bisa disamai oleh tashdiqnya seorangpun. Oleh karena itu Imam Bukhari berkata dalam kitab shahihnya, telah berkata Ibnu Mulaikah: “Aku bertemu dengan tiga puluh orang shahabat Nabi seluruhnya menghawatirkan kemunafikan atas dirinya, tidak seorangpun yang berkata Iman mereka seperti Imannya Jibril dan Mikail ‘alaihimassalam. Adapun memakai kata Iman atas amalan telah disepakati oleh ahlul haq dan dalilnya banyak tidak terhitung. Allah berfirman:
وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيْعَ إِيْمَنَكُمْ
“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian” (Al Baqarah: 143).  Yakni shalat kalian. Telah diceritakan dari Abu Amr bin Sholah ketika menjelaskan hadits “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan-Nya dan menegakkan shalat…” kemudian menafsirkan Iman: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya …” beliau berkata: “Ini adalah penjelasan pokok Iman, yaitu tashdiq (pembenaran) dalam batin, dan penjelasan pokok Islam yaitu berserah diri dan tunduk dalam dhahir. Hukum Islam dalam dhahir ada dengan mengucapkan dua kalimah syahadat kemudian ditambahkan kepadanya shalat, zakat, puasa dan haji, karena keempatnya adalah syiar Islam yang paling tampak dan paling agung. Dengan ditegakkannya empat perkara ini menjadi benar pengakuannya kepada Islam. Kemudian kata Iman mencakup juga seluruh tafsir Islam. Dalam hadits ini bahkan mencakup seluruh amalan taat, karena seluruh amalan taat adalah buah dari tashdiq batin yang merupakan pokok Iman.
Oleh karena itu nama Iman yang mutlaq (sempurna) tidak diberikan kepada orang yang melakukan dosa besar atau yang meninggalkan satu kewajiban, karena nama sesuatu secara mutlaq tidak diberikan kecuali kepada yang sempurna dan tidak diberikan kepada sesuatu yang kekurangannya tampak jelas kecuali dengan niat yang lain.
Demikian pula boleh menafikan Iman mutlaq (iman yang sempurna) dari orang seperti ini, sabda Rasulullah:
"لاَيَزْنِي الزَّانِيْ حِيْنَ يَزْنِيْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَيَسْرِقُ السَّارِقُ حِيْنَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ
“Tidaklah seorang yang zina ketika berzina dalam keadaan beriman yang mutlaq, tidaklah seorang pencuri ketika mencuri dalam keadaan beriman yang mutlaq” (HR. Bukhari Muslim).
Nama Islam juga mencakup pokok Iman yakni tashdiq, dan mencakup seluruh pokok ketaatan karena seluruhnya adalah berserah diri kepada Allah, beliau berkata: “kesimpulan dari pembahasan kita adalah kata Iman dan Islam kadang satu makna dan kadang berbeda, seluruh orang beriman adalah muslim tapi orang muslim belum tentu beriman, tashdiq ini cukup dengan taufiq Allah. Nash-nash Al Qur'an dan sunnah yang diriwayatkan dalam masalah Iman dan Islam banyak dipahami keliru oleh orang yang menganut agama tanpa ilmu. Dan apa yang kami tahqiq  disini adalah penjelasan yang sesuai dengan mazhab jumhur ulama ahlul hadits dan selain mereka.
Wallahu A’lam.


HADITS KETIGA

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَر بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ:"بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَن لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ". رواه البخاري ومسلم.

Dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Umar bin Khattab Radiyallahu’anhuma: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Islam dibangun diatas lima perkara: persaksian bahwasanya tidak ada yang berhaq diibadahi kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, haji ke Baitullah, puasa Ramadhan” (HR. Bukhari Muslim)[10].

Abu Abbas Al Qurtubi Rahimahullah berkata: “Yakni lima perkara ini adalah pondasi agama Islam. lima perkara dalam hadits ini merupakan kaedah Islam yang dibangun diatasnya dan tegak dengannya Islam. Yang menjadi sebab beliau mengkhususkan lima perkara ini dan tidak menyebutkan jihad, padahal dengan jihad Islam akan jaya dan orang kafir akan hancur, sebabnya adalah karena lima perkara ini adalah kewajiban yang terus berlangsung hukumnya, sedangkan jihad termasuk fardhu kifayah yang kadang kewajibannya gugur pada waktu tertentu.
Dalam satu riwayat ada yang mendahulukan masalah haji dari puasa, ini adalah kekeliruan, wallahu a’lam, karena Ibnu Umar ketika mendengar musta’id mendahulukan haji dari puasa langsung menghardiknya dan melarangnya berbuat demikian, dan beliau mendahulukan puasa dari haji, beliau berkata: “Demikianlah kami mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam”, dalam riwayat Ibnu Umar yang lainnya: “Islam dibangun diatas engkau mentauhidkan Allah dan kufur dari selain-Nya, mendirikan shalat…. “. Dalam riwayat lain: “Ada seseorang bertanya kepada Abdullah bin Umar: “Apakah tidak berjihad? Ibnu Umar menjawab: “Sungguh aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: بني الإسلام على خمس dalam riwayat lain  على خمسةdengan huruf ha dan dengan tidak memakai huruf ha, keduanya benar.
Hadits ini merupakan pokok yang besar untuk mengetahui agama dan diatas hadits inilah bersandar, karena hadits ini mencakup seluruh rukun Islam.[11]




HADITS KEEMPAT

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ "إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ. فَوَالَّذِيْ لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا. وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا". رواه البخاري ومسلم.

Dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Mas’ud Radiyallahu’anhu: “Telah menceritakan kepada kami Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau adalah shadiqul mashduq: “Sesungguhnya kalian diciptakan dalam perut ibu selama empat puluh hari berupa nuthfah (air yang kental) kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) dalam tenggang waktu yang sama, kemudian menjadi mudgah (sekerat daging) selama itu juga, kemudian diutuslah kepadanya malaikat yang meniupkan ruh padanya dan diperintahkan dengan empat perkara: menulis rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagia, Demi Allah yang tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Dia, sungguh seorang kalian mengamalkan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak yang memisahkan dia dari surga kecuali satu hasta, tapi catatan (ketentuan Allah) telah mendahuluinya ia kemudian mengamalkan amalan ahli neraka sehingga ia pun masuk neraka, dan ada salah seorang kalian yang mengamalkan amalan ahli neraka tapi catatan (ketentuan Allah) mendahuluinya iapun melakukan amalan ahli surga sehingga masuk surga” (HR. Bukhari Muslim)[12].

Syarah:
Perkataan dalam hadits: “Beliau shadiqul mashduq” yakni jujur dan benar dalam perkataannya dan dibenarkan apa yang datang kepadanya berupa wahyu.
Sebagian ulama berkata: “makna perkataannya: “Sesungguhnya kalian diciptakan dalam perut ibunya…” Bahwasanya air mani masuk ke rahim dengan terpencar, kemudian Allah kumpulkan di tempat peranakan  (rahim) dalam waktu empat puluh hari.
Ibnu Mas’ud menafsirkan hadits ini dengan perkataannya: “Sesungguhnya jika nuthfah masuk ke rahim dan Allah berkehendak untuk menjadikannya sebagai manusia, maka akan menyebar di kulit si ibu di bawah kuku dan rambutnya, dan tinggal selama empat puluh hari, kemudian menjadi darah di dalam rahim. Itulah cara Allah mengumpulkannya ketika menjadi ‘alaqah.
Perkataannya: “Kemudian diutuslah kepadanya malaikat”, yakni malaikat yang ditugaskan di dalam rahim.
Perkataannya: “Sungguh salah seorang dari kalian mengamalkan amalan ahli surga …dst” Dhahir hadits ini menunjukkan bahwa orang seperti ini amalannya benar, bahwa dia sudah dekat dari surga dengan sebab amalnya, hingga tinggal tersisa satu hasta, sebab yang menghalanginya adalah taqdir yang akan terlihat diakhir hayat, kalau demikian amalan itu sesuai dengan catatan (ketentuan), tapi karena sabiqah (taqdir) tertutup dari kita dan khatimah itu terlihat. Terdapat dalam hadits:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيْمِ
“Sesungguhnya amalan itu diakhirnya”[13]
Maksud hadits ini adalah berdasarkan penglihatan kita terhadap seseorang atau keadaan, adapun hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya dalam “Kitabul Iman” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الرَّجَُلَ ليَعْمَل بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فِيْمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ
“Sungguh seseorang mengamalkan satu amalan-amalan ahli surga dalam penglihatan manusia padahal ia adalah ahli neraka” hadits ini menunjukkan amalannya memang tidak benar, tapi didasari riya dan sum’ah (ingin dipuji manusia), maka diambil faedah dari hadits ini tidak boleh melihat kepada amalan kita dan atau bersandar kepada amalan, hendaknya mengharapkan kemurahan dan rahmat Allah.
Perkataannya sebelum itu ويؤمر بأربع كلمات بكتب رزقه     وأجله                         dengan huruf ya’ awalnya sebagai badal dari أربع .
Perkataannya      شقي أو سعيدmarfu’, karena sebagai khabar mahdzuf, taqdirnya: dia celaka atau bahagia.
Perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Demi Allah yang tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Dia, sungguh salah seorang kalian mengamalkan amalan ahli surga ….sampai perkataannya: “mendahuluinya kemudian mengamalkan amalan ahli neraka sehingga iapun masuk neraka” Maksudnya: kejadian seperti ini jarang terjadi pada manusia dan bukanlah hal yang banyak, ini adalah termasuk kemurahan Allah kepada hamba-Nya yakni berpindahnya orang dari kebaikan kepada kejelekan sangat jarang sekali, walilhamdi wanni’mah atas itu semua hadiah dan pemaafan-Nya. Firman-Nya:
“Rahmatku mendahului amarah-Ku” dalam satu riwayat “Mengalahkan amarah-Ku”.
Menetapkan taqdir, sebagaimana madzhab ahli sunnah, bahwasanya semua yang terjadi adalah dengan qada Allah dan qadar-Nya, yang baik dan buruk yang bermanfaat dan mudharat. Allah berfirman:
لاَ يُسْئَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْئَلُوْنَ
“Állah tidak ditanya apa yang diperbuat-Nya, tapi mereka yang akan ditanya oleh Allah” (Al Anbiya: 23).
Tidak boleh menentang-Nya dalam kerajaan-Nya, Dia berbuat di kerajaan-Nya sekehendak-Nya.
Imam Sum’ani berkata: “Jalan untuk mengetahui bab ini (taqdir) adalah tauqif (berbicara sesuai tuntunan) al Qur’an dan as Sunnah, tidak memakai qias atau akal, barangsiapa yang berpaling dari tuntunan keduanya akan sesat dan tersesat dalam kebingungan, tidak akan mendapatkan obat jiwanya dan tidak akan sampai kepada sesuatu yang akan menentramkan hatinya, karena qadar adalah rahasia diantara sekian rahasia Allah, ditutupi oleh sitr, khusus diketahui Allah dan disembunyikan dari akal dan pengetahuan makhluk untuk satu hikmah yang diketahui oleh-Nya. Maka wajib atas kita berhenti pada batasan yang telah ditetapkan atas kita, dan jangan melampauinya, Allah telah menutup ilmu qadar dari alam, sehingga tidak diketahui oleh malaikat ataupun Nabi yang diutus, ada yang mengatakan: “Rahasia qadar tersingkap ketika masuk surga dan tidak diketahui oleh manusia sebelum itu”.
Telah banyak hadits shahih yang melarang meninggalkan amal karena bersandar pada qadar, wajib mengamalkan apa yang Allah bebankan atas kita, setiap orang akan dimudahkan untuk mengamalkan sesuai taqdirnya tidak bisa mengamalkan yang lainnya, barangsiapa yang ditetapkan menjadi orang yang bahagia akan dimudahkan mengamalkan amalan orang yang bahagia, dan orang yang ditetapkan menjadi orang yang celaka akan dimudahkan mengamalkan amalan orang yang celaka sebagaimana dalam hadits. Allah berfirman:
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى
“Maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah” (Al Lail: 7).
Dalam ayat lain:
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى
 “Maka kelak kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar” (Al Lail: 10).
Para ulama berkata: “Kitabullah Ta’ala, Lauh dan qalam-Nya wajib diimani keberadaannya, adapun bentuk dan sifat ilmunya hanya Allah yang tahu, Allah berfirman:
وَلاَ يُحِيْطُوْنَ بِشَيْئٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَآءَ
“Mereka tidak bisa meliputi sedikitpun dari ilmu Allah kecuali yang Dia kehendaki” (Al Baqarah: 255).
Wallahu A’lam.[14]


HADITS KELIMA

عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَة رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْل اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. رواه البخاري ومسلم. وفي رواية لمسلم: مَنْ عَمِلَ لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

Dari Ummul Mukminin Ummu Abdillah Aisyah Radiyallahu’anha berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan kami yang bukan darinya maka tertolak”[15] dalam riwayat Muslim: ”Barangsiapa mengamalkan satu amalan yang tidak ada padanya urusan kami maka tertolak” [16] .


Syarah:
Ahli bahasa berkata:  الردdalam hadits ini maknanya tertolak, yakni batil tidak teranggap. Perkataannya: “Tidak ada padanya urusan kami” yakni tidak ada hukum kami.
Hadits ini merupakan salah satu kaedah agama yang besar, termasuk Jawami’ul kalim yang diberikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, karena hadits ini sangat jelas dalam membantah setiap kebid’ahan dan perkara yang diada-adakan. Hadits ini sebagai dalil batilnya seluruh perjanjian yang dilarang dan tidak adanya buah dari perjanjian tersebut. Ahli ushul berdalil dengan hadits ini bahwasanya larangan dalam satu nash menimbulkan fasad (rusaknya satu amalan yang dilarang tersebut), dalam riwayat lain: “Barangsiapa yang mengamalkan satu amalan yang tidak ada padanya urusan kami maka tertolak”, ini menegaskan agar meninggalkan semua perkara yang diada-adakan, baik yang memperkarsainya atau yang mengamalkannya walaupun telah ada orang yang melakukannya. Karena sebagian orang ada yang menentang ketika dikatakan bid’ah berhujjah dengan berkata: “Aku tidak membuat-buatnya”, maka orang seperti ini dibantah dengan riwayat yang kedua ini.[17]
Hadits ini seyogyanya dihafal, disebarkan dan diamalkan dalam rangka menjelaskan batilnya perkara-perkara mungkar, karena semua perkara tersebut masuk dalam makna hadits ini.
Adapun memisahkan satu perkara yang ada ushulnya dan tidak keluar dari kitab dan sunnah tidaklah termasuk makna hadits ini, seperti penulisan al Qur’an dalam mushaf, seperti juga mazhab-mazhab hasil penelitian yang baik dari ulama mujtahidin, yang mengembalikan furu’ ke ushul yaitu hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Seperti juga penulisan buku nahwu dan ilmu hisab, faraid, dan ilmu lainnya yang bermanfaat yang dibangun diatas perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, semuanya tidak masuk dalam larangan hadits ini.[18]


HADITS KEENAM

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ الله النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِّنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِيْ الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِيْ الْحَرَامِ، كَالرَّاعِيْ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى, يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَى، أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ، أَلاَ وَإِنَّ فِيْ الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ. رواه البخاري ومسلم.

Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir Radiyallahu’anhuma: “Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas dan perkara yang haram juga jelas dan diantara keduanya ada perkara syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, barangsiapa yang bisa menjaga diri dari perkara syubhat maka telah menyelamatkan agama dan kehormatannya, dan barangsiapa yang terjatuh dalam perkara syubhat telah terjatuh dalam perkara haram seperti penggembala yang menggembala didekat tanah larangan sebentar lagi gembalaannya masuk ke tanah larangan tersebut, ketahuilah setiap raja itu punya tanah larangan. Ketahuilah larangan Allah adalah perkara yang diharamkan-Nya, ketahuilah didalam jasad itu ada segumpal daging jika baik maka baiklah seluruh jasad, dan jika jelek maka jeleklah seluruh jasad, ketahuilah daging tersebut adalah hati” (HR. Bukhari Muslim).

Syarah:
Hadits ini merupakan salah satu pokok syariat Islam yang agung. Abu Dawud As Sijistani berkata: “Islam bersumber pada empat hadits”, beliau sebutkan diantaranya hadits ini. Para ulama telah ijma (sepakat) atas besarnya kedudukan dan banyaknya faedah hadits ini.
Perkataannya dalam hadits: “Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas dan perkara yang haram juga jelas dan diantara keduanya ada perkara syubhat” yakni perkara itu ada tiga macam:
Pertama: Ada yang Allah nashkan kehalalannya seperti firman Allah:
أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَتُ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ أُوْتُوْا الْكِتَبَ حِلٌّ لَّكُمْ
“Dihalalkan bagimu perkara yang baik dari makanan Ahlul Kitab halal juga  bagi kalian”(Al Maidah: 5)
Dan firman-Nya:
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَّا وَرَآءَ ذَلِكُمْ
“Dan dihalalkan bagi kalian yang selain itu” (An Nisa: 24).
Kedua: Ada perkara yang dengan tegas Allah nashkan pengharamannya seperti firman Allah:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ
“Diharamkan atas kalian ibu dan anak perempuan kalian”(An Nisa: 23).
Dan firman-Nya:
وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا
“Diharamkan atas kalian binatang buruan darat selama engkau dalam keadaan ihram” (Al Maidah: 96).
Seperti pengharaman perbuatan zina yang tampak ataupun tersembunyi, dan semua amalan yang menyebabkan adanya had atau hukuman atau ancaman dari Allah maka haram dilakukan.
Ketiga: Perkara syubhat yakni perkara yang dipertentangkan dengan dalil dari kitab dan sunnah dan mengandung makna yang banyak, maka meninggalkan perbuatan tersebut termasuk sikap wara’.
Para ulama berselisih tentang hukum yang dimaksud syubhat dalam hadits ini.
Sekelompok ulama berpendapat: “Haram berdasarkan sabda beliau: “menjaga agama dan kehormatannya” mereka berkata: “Maka barangsiapa yang tidak menjaga agama dan kehormatannya maka telah terjatuh kepada perbuatan haram”.
Sebagian lagi berkata: “Halal berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Seperti gembala yang menggembala di sekitar tanah larangan” Hadits ini menunjukkan bahwa yang syubhat itu masih halal, dan meninggalkannya termasuk wara’.
Sekelompok lainnya berkata: “Syubhat yang terdapat dalam hadits ini tidak kita katakan halal ataupun haram, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikannya antara perkara halal dan haram, maka kita harus bersikap demikian, ini termasuk bab wara’ juga. Terdapat dalam shahih Bukhari Muslim dari Aisyah Radiyallahu’anha: “Ma’ad bin Abi Waqas berselisih dengan Abdullah bin Zam’ah tentang seorang budak, Sa’ad berkata: “Wahai Rasulullah ini adalah anak saudaraku Utbah bin Abi Waqas, beliau telah memberikan pesan kepadaku bahwa ini adalah anaknya, lihatlah kemiripannya. Abd bin Zam’ah berkata: “Ini adalah saudaraku wahai Rasulullah dilahirkan di tempat tidur bapakku dari hasil hubungan dengan budak perempuannya, Rasulullah melihatnya ternyata mirip dengan Utbah, beliaupun berkata: “Dia milikmu wahai Abdullah bin Zam’ah, anak itu bagi yang punya hubungan resmi dan bagi pezina alhijr, berhijablah engkau darinya wahai Saudah” Saudah tidak melihatnya sedikitpun, Rasulullah memutuskan anak bagi yang punya hubungan dengan ibunya, beliau berikan kepada Zam’ah secara dhahir, berarti budak tersebut menjadi saudara Saudah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam karena dia adalah putri Zam’ah. Namun karena ini bukanlah keputusan yang didasari keyakinan namun diputuskan berdasarkan dugaan kuat, maka beliau menyuruh Saudah untuk berhijab karena adanya kesamaran. Beliaupun berihtiyath (berhati-hati), dan  itu merupakan amalan orang-orang yang takut kepada Allah, karena kalau memang budak tersebut anaknya Zam’ah beliau tidak akan menyuruh Saudah berhijab darinya sebagaimana tidak menyuruhnya berhijab dari seluruh saudaranya seperti Abdullah dan lainnya.
Dalam hadits lain ‘Adi bin Hatim pernah berkata: “Wahai Rasulullah aku melepas binatang pemburu milikku dan aku membaca basmallah ketika melepasnya berburu, tapi aku temukan bersamanya ada anjing yang lain. Rasulullah bersabda:
“Janganlah engkau memakannya, karena engkau membaca basmallah untuk anjingmu tidak untuk anjing yang lain”.
Rasulullah berfatwa demikian juga karena adanya syubhat, khawatir anjing yang membunuh buruan tersebut bukanlah anjing yang dilepas dengan menyebut basmalah,jika demikian berarti seperti hokum binatang yang disembelih untuk selain Allah, padahal Allah telah berfirman tentang sembelihan yang seperti itu: “itu adalah kotor”.
Dalam fatwa Rasulullah ini menunjukkan adanya sikap ihtiyath dalam kejadian dan kasus yang mengandung kemungkinan halal dan haram dikarenakan samarnya sebab, inilah makna sabda Rasulullah: “Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada perkara yang tidak meragukan” [19]
Sebagian ulama berkata: “perkara syubhat itu ada tiga macam;
Pertama: perkara yang sebelumnya diketahui haram kemudian diragukan penyebab keharamannya sudah hilang atau belum? Seperti jika ragu dalam penyembelihan binatang yang haram dimakan kecuali setelah disembelih secara syar’i, maka hal tersebut tetap haram sampai adanya keyakinan sudah disembelih, pokok masalah ini adalah hadits ‘Adi yang telah disebutkan.
Kedua: kebalikan dari yang pertama, yakni sebelumnya perkara tersebut halal tapi kemudian ragu dalam pengharamannya seperti seseorang yang ragu dalam masalah mentalaq istrinya atau ragu dalam pembebasan budak perempuannya, dan masalah-masalah seperti ini maka hukum asalnya tetap halal sampai diketahui pengharamannya, pokok dari masalah ini adalah hadits Abdullah bin Zaid tentang seseorang yang ragu dalam hadats setelah yakin ia telah suci.
Ketiga: ragu dalam satu perkara halal atau haram dikarenakan keduanya punya kemungkinan, tetapi tidak ada petunjuk yang menunjukkan salah satunya, maka yang baik adalah membersihkan diri (tidak melakukan) dari perbuatan tersebut, seperti yang dilakukan Rasulullah ketika menemukan kurma yang jatuh dirumahnya, beliau bersabda: “Kalau aku tidak takut ini adalah kurma shadaqah niscaya aku akan memakannya” (HR. Bukhari Muslim). Akan tetapi jika (keraguan tersebut) melampaui batas, hingga bertentangan dengan keyakinan kuat yang ada pada dirinya karena satu sangkaan yang tidak ada asalnya, seperti tidak mau memakai air yang masih sempurna sifat-sifatnya karena khawatir ada najis yang jatuh padanya, atau tidak mau shalat di satu tempat yang tidak ada bekas apapun karena khawatir adanya air kencing yang sudah kering, atau mencuci baju karena khawatir ada najis padahal ia tidak melihatnya, dan berbagai macam kekhawatiran seperti ini tidak boleh dianggap, bahkan tidak beramal karena kekhawatiran (sangkaan) demikian adalah tidak benar, (merasa bersikap) wara’ (ketika tidak beramal) karena sangkaan tersebut adalah was-was yang datangnya dari syaithan, karena tidak ada dalam masalah-masalah tersebut makna syubhat sedikitpun. Wallahu A’lam.
Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Banyak orang tidak mengetahui masalah tersebut” yakni tidak mengetahui hukum halal dan haramnya, karena kalau masalah syubhatnya bisa diketahui (banyak orang) karena (perkara syubhat) menimbulkan kemungkinan yang menyulitkan, jika sudah diketahui bergabung dengan pokok yang mana (halal ataukah haram) gugur keberadaanya sebagai perkara syubhat, bisa halal atau haram. Dalam hadits ini ada dalil bahwa perkara syubhat mempunyai hukum yang khusus ditunjukkan oleh dalil syar’i yang mungkin untuk diketahui oleh sebagian manusia.
Sabdanya: “Barangsiapa yang menjauhi perkara syubhat berarti telah menjaga diri dan kehormatannya” yakni menjaganya dari perkara syubhat.
Adapun sabdanya: “Barangsiapa yang terjatuh dalam perkara syubhat telah terjatuh dalam perkara haram”,
Hal tersebut terjadi dengan dua bentuk:
Bentuk pertama: Barangsiapa yang tidak takut kepada Allah dan berani mengamalkan perkara yang syubhat maka perkara syubhat tersebut akan menggiringnya kepada perbuatan haram, sikapnya yang meremehkan perkara syubhat akan menyebabkan ia berani kepada yang haram, sebagaimana perkataan sebagian ulama: “Dosa kecil menyeret kepada dosa besar, dan dosa besar menyeret kepada kekufuran”, dalam satu riwayat: “Maksiat adalah posnya kekufuran”.
Bentuk kedua: Barangsiapa yang banyak melakukan perkara syubhat akan gelap hatinya, karena hilangnya cahaya ilmu dan cahaya wara’, sehingga ia terjatuh dalam perkara yang haram tanpa terasa. Kadang seseorang berdosa karena mengamalkan perkara syubhat yang menyebabkan kurang dalam melakukan keta’atan.
Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Seperti penggembala yang menggembala di sekitar tanah larangan, sebentar lagi akan terjatuh padanya”, ini adalah permisalan perkara-perkara yang diharamkan Allah. Asalnya dulu orang Arab memelihara padang rumput untuk binatang ternaknya, dan mengancam akan menghukum orang yang mendekatinya, maka orang yang takut hukuman akan menjauhi tanah larangan tersebut, karena jika mendekati dengan seringnya akan terjatuh masuk ke tanah larangan, sebab kadang ada gembalaan yang liar dan nyeleneh kemudian masuk dalam keadaan ia tidak bisa mencegahnya, maka dalam rangka hati-hati hendaknya membuat jarak antara dia dan tanah larangan hingga merasa aman dari hal tersebut.
Demikian pula maharimallah (perkara yang diharamkan Allah), pembunuhan, mencuri, minum khamar, menuduh zina, ghibah, adu domba dan yang sejenisnya; tidak sepatutnya menggembala disekitarnya karena dikhawatirkan terjatuh kepadanya.
 يوشكdengan kasrah huruf syin adalah fi’il mudhari’ dari أوشك adalah salah satu fi’il muqarabah, يرتع dengan fathah huruf ta maknanya: binatang ternak makan dari padang rumput, arti asalnya tinggal dan makan di padang rumput dengan lahap.
Sabdanya: “Ketahuilah dalam jasad ada satu daging jika daging tersebut baik maka baiklah seluruh badan, dan jika daging tersebut jelek maka jeleklah seluruh badan”. المضغة  arinya  segumpal daging, sebesar yang biasa dikunyah manusia, maksudnya kecil bendanya tapi agung kedudukannya, صلحت diriwayatkan kepada kita dengan fathah huruf lam,  القلب adalah mashdar, anggota tubuh yang paling mulia ini dinamkan qalb karena cepatnya berubah.
Sehingga sebagian orang bersyair:
Hati tidaklah dinamakan qalb (hati) kecuali karena berubah-ubahnya
Hati-hatilah atas hati terjadi perubahan dan pemindahan.
Allah mengkhususkan manusia dengan anggota tubuh ini, menyimpan padanya pengaturan maslahat yang dituju, engkau lihat binatang ternak dengan berbagai macam jenis dan bisa mendapatkan maslahatnya serta membedakan mudharat  dari yang bermanfaat. Kemudian Allah khususkan manusia dengan akal dibandingkan makhluk lainnya dan disandarkan ke hati, Allah berfirman: “Apakah mereka tidak berjalan di bumi sehingga hati mereka menjadi berakal dan telinga mereka bisa mendengar”.
Allah telah menjadikan seluruh anggota badan tunduk dan taat kepada hati, apa yang ada didalam hati akan terlihat dan diamalkan, jika baik maka akan keluar baik dan jika jelek maka akan terlihat jelek.
Jika engkau telah paham ini, akan tampak bagimu makna sabda Rasulullah: “Ketahuilah didalam jasad itu ada segumpal daging jika baik maka baiklah seluruh jasad, dan jika jelek maka jeleklah seluruh jasad, ketahuilah daging tersebut adalah hati”. kita minta kepada Allah untuk memperbaiki hati kita yang rusak, Wahai Dzat yang membolak-balikan hati, kokohkanlah hati kami diatas agama-Mu. Wahai Dzat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami untuk mentaati-Mu.[20]


HADITS KETUJUH

عَنْ أَبِيْ رُقَيَّةَ تَمِيْمِ بْنِ أَوْسٍ الدَّارِيِّ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اَلدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ للهِ وَلِكِتاَبِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَِلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ. رواه ومسلم.

Dari Abi Ruqayah Tamim bin Aus Addaary Radiyallahu’anhu sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ágama itu nasehat”, kami bertanya, bagi siapa? Beliau menjawab: “Bagi Allah, kitab-Nya, rasul-Nya dan bagi Imam kaum muslimin serta seluruh mereka” (HR. Muslim).

Syarah:
Tamim Ad Daary tidaklah meriwayatkan hadits kecuali hadits ini saja.
Kata “Nasihat” adalah kalimat yang jami’ (sangat mencakup) maknanya menginginkan sejumlah kebaikan dan memberikannya kepada yang dinasihati.
Kata ini termasuk nama yang paling singkat dan ringkas.
Tidak ada didalam bahasa Arab satu kata mufrad yang banyak maknanya seperti kata nasihat.
Sebagaimana berkata dalam Al falah: “Tidak ada dalam bahasa Arab kata yang bisa lebih banyak mengumpulkan kebaikan dunia dan akhirat selain kata nasihat”.
Makna perkataannya: “Agama adalah nasihat” yakni tiang agama dan penopangnya adalah nasihat. Seperti sabdanya: “Haji adalah arafah”.
Adapun tafsir nasihat dan macam-macamnya dikatakan oleh Imam Khathabi dan para ulama lainnya: ”Nasihat bagi Allah maksudnya beriman kepada-Nya dan menafikan syirik, meninggalkan penyelewengan dalam sifat-sifat-Nya, mensifati-Nya dengan sifat yang sempurna dan mulia, mengamalkan ketaatan dan menjauhi maksiat kepada-Nya, cinta dan benci karena Allah, melawan orang yang mengkufuri-Nya, mengakui dan mensyukuri nikmat yang diberikan-Nya, ikhlas dalam semua perkara, berda’wah kepada perkara-perkara tadi, menganjurkan orang lain untuk melakukannya, lemah lembut dengan manusia.
Al Khathabi berkata: “Hakikat sifat-sifat ini kembali kepada hamba dalam menasehati dirinya, karena Allah Ta’ala tidak butuh nasehat dari makhlukNya.
Adapun nasehat kepada kitab-Nya dengan cara beriman bahwasanya itu adalah Firman Allah dan dan diturunkan olehNya, tidak serupa dengan perkataan manusia dan tidak ada seorangpun yang mampu menyerupainya, kemudian mengagungkan dan membacanya dengan bacaan yang benar, membaguskan bacaan dan khusu’ ketika membacanya, membelanya dari ta’wilan orang yang menyeleweng, membenarkan apa yang ada didalamnya, mengamalkan hukum-hukumnya, memahami ilmu-ilmu dan contohnya, mengambil pelajaran darinya, tafakur dalam ayat yang menakjubkan, berdakwah untuk berpegang teguh dengan kitab-Nya dan untuk mengamalkan uraian yang kita sebutkan tadi.
Adapun nasihat kepada rasul-Nya dengan membenarkan risalahnya, beriman kepada semua yang dibawanya, mentaati perintah dan larangannya, membelanya hidup dan mati, memusuhi orang yang memusuhinya, berwala’ kepada orang yang berwala’ dengannya, mengagungkan haqnya, menghormatinya, menghidupkan jalan dan sunnahnya, mengambil ilmunya dan bertafaquh tentang makna-maknanya, berdakwah kepada perkara tersebut, lemah lembut dalam mengajarkannya, mengagungkan, memuliakan dan beradab ketika membaca ilmunya, tidak berbicara dalam masalah agama tanpa ilmu, memuliakan ahlinya karena dinisbatkan kepada ilmu yang mulia, berakhlak dengan akhlaknya, beradab dengan adabnya, mencintai ahli bait dan sahabatnya, menjauhi orang yang membuat bid’ah delam sunnahnya atau yang mencerca salah seorang sahabatnya.
Adapun nasihat untuk pemimpin muslimin: membantu mereka dalam haq, mentaati mereka dengan perintahnya yang haq, mengingatkan dan menasihati mereka dengan lemah lembut, memberitahukan kelalaian mereka, menyampaikan kepada mereka tentang hak-hak kaum muslimin dan tidak memberontak mereka dengan senjata, melunakkan hati manusia untuk taat kepada mereka dan shalat di belakang mereka, jihad bersama mereka dan mendo’akan kebaikan untuk mereka.
Adapun nasihat kepada mayoritas muslimin yakni membimbing mereka –selain pemerintah– untuk kemaslahatan di akhirat dan dunia mereka, membantu mereka dalam kebaikan, menutupi aurat mereka, menepis mudharat dari mereka, mencari manfaat bagi mereka, memerintah mereka dengan yang ma’ruf dan melarang mereka dari yang mungkar dengan lemah lembut dan ikhlas, sayang kepada mereka, menghormati yang tua dan menyayangi yang kecil, menasihati mereka dengan nasihat yang baik, tidak menipu dan mendengki mereka, senang jika mereka mendapatkan apa yang ia senangi jika mendapatkannya, tidak senang jika saudaranya mendapatkan mudharat yang ia tidak senang jika menimpa dirinya, membela harta dan kehormatan mereka, serta keadaan mereka yang lainnya baik dengan perkataan ataupun perbuatan, menganjurkan mereka untuk berakhlak dengan akhlak yang telah kita sebutkan dalam macam-macam nasehat. Wallahu A’alam.[21]
Nasihat adalah fardhu kifayah yang jika telah ditegakkan oleh sebagian kaum muslimin maka gugur kewajiban dari yang lainnya, dan nasihat itu harus dilakukan sesuai kemampuan. Nasihat secara bahasa adalah ikhlas, dikatakan kamu telah membersihkan madu jika kamu telah memurnikannya, ada juga yang berpendapat lain.[22]
Wallahu A’lam.




HADITS KEDELAPAN

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالَى. رواه البخاري ومسلم.

Dari Ibnu Umar Radiyallahu Ta’ala ‘anhuma: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, jika mereka sudah melaksanakan semuanya terjagalah dariku harta dan darah mereka kecuali karena adanya haq Islam, dan hisab mereka adalah atas Allah Ta’ala” (HR. Bukhari Muslim).

Syarah:
Ini adalah hadits yang agung, salah satu kaedah agama. Anas bin Malik meriwayatkan hadits ini (dengan lafadz): “Hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Dia, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, shalat seperti shalat kami. Jika mereka sudah melaksanakan semuanya, haram atas kami harta dan darah mereka kecuali karena adanya haq Islam, mereka punya hak seperti orang muslim lainnya, dan mempunyai kewajiban seperti kewajiban atas muslim lainnya” (HR. Bukhari), dalam shahih Muslim dari riwayat Abu Hurairah:
“Hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, serta beriman kepada apa yang aku bawa”, ini cocok maknanya dengan riwayat Ibnu Umar.
Adapun makna yang terkandung dalam hadits ini, dikatakan oleh para ulama siroh: “Ketika Rasulullah wafat dan Abu Bakar menjadi khalifah sebagai penggantinya, banyak orang yang menjadi kafir dari kalangan Arab, Abu Bakar berniat kuat untuk memerangi mereka, diantara mereka ada yang tidak mau mengeluarkan zakat tapi tidak murtad, beliau ingin memerangi mereka dengan penafsiran hadits ini, maka Umar Radiyallahu ‘anhu berkata: “Bagaimana engkau memerangi manusia padahal mereka telah mengucapkan La ilaha illallah, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah,…”sampai akhir hadits. Abu Bakar berkata: “Zakat adalah hak harta, dan beliau berkata: “Demi Allah kalau mereka tidak mau memberikan kepadaku anak kambing – dalam riwayat lain ikat kambing – yang dulu mereka berikan kepada Rasulullah (sebagai zakat) akan aku perangi karena perbuatan mereka tersebut, maka Umar mengikuti Abu Bakar dalam memerangi mereka” (HR. Bukhari Muslim).
Sabdanya: “Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat; jika mereka sudah melaksanakan semuanya, terjagalah dariku harta dan darah mereka kecuali karena adanya haq Islam, dan hisab mereka adalah atas Allah Ta’ala.
Imam Al Khathabi dan lainnya berkata: “Yang dimaksud hadits ini adalah penyembah patung dan musyrikin Arab serta orang-orang yang tidak beriman, bukan ahlul kitab dan orang yang mengakui tauhid, karena mereka (ahlul kitab dan yang meyakini tauhid) tidak cukup bagi mereka ucapan Laa ilaha illallah sebagai penjaga darah dan hartanya, karena mereka mengucapkannya dalam keadaan kafir dan termasuk i’tiqadnya, demikian pula diriwayatkan dalam hadits lain: “(Bersaksi bahwa) Aku Rasulullah, menegakkan shalat, dan mengeluarkan zakat”.
Imam Nawawi berkata: “Selain telah melakukan hal tersebut dalam hadits juga harus mengimani apa yang dibawa Rasulullah, sebagaimana dalam riwayat Abi Hurairah: “Hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, serta beriman kepada apa yang aku bawa”.
Makna sabdanya: “hisabnya atas Allah” yakni perkara yang mereka tutupi dan sembunyikan bukan yang mereka tampakkan dalam dhahir berupa hukum-hukum yang wajib, demikian disebutkan oleh Imam Al Khathabi.[23]
Beliau berkata: “Dalam hadits ini menunjukkan barangsiapa yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekufuran diterima keislamannya secara dhahir, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama. Imam Malik berpendapat bahwasanya taubat orang zindiq tidaklah diterima, ini juga merupakan salah satu riwayat pendapat Imam Ahmad.
Perkataan Rasulullah: “Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, serta beriman kepada apa yang aku bawa” merupakan dalil yang sangat jelas bagi mazhab muhaqqiqin dari kalangan jumhur salaf dan pengikut mereka bahwa jika seseorang meyakini Islam dengan keyakinan yang mantap tidak ada keraguan padanya, cukuplah hal tersebut baginya, dia tidak wajib mengetahui dalil-dalil ahlul kalam dan mengenal Allah dengan metode ahlul kalam, berbeda dengan orang-orang yang mewajibkannya dan bahkan memasukkannya sebagai syarat bagi ahlul kiblah, ini adalah pendapat yang salah, karena perkara yang dimaksud yaitu keyakinan yang mantap telah dicapai, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mencukupkan dengan membenarkan apa yang dibawanya dan tidak menuntut untuk mengetahui dalil (ahlul kalam), telah banyak hadits shahih tentang masalah ini yang jika dikumpulkan menunjukkan bahwa asalnya adalah mutawatir dan menghasilkan ilmu yang qath’i. Wallahu A’lam.[24]




HADITS KESEMBILAN

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ صَخْرٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ.   رواه البخاري ومسلم.

Dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Shakhr Radiyallahu Ta’ala ‘anhu: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apa yang aku larang kalian melakukannya hendaknya kalian jauhi, dan apa yang aku perintahkan kalian amalkan lakukanlah dengan kemampuan kalian, sesungguhnya sebab kebinasaan umat sebelum kalian adalah karena banyak bertanya dan menyelisihi Nabi-Nabi mereka” (HR. Bukhari Muslim).

Syarah:
Lafadz hadits ini dalam shahih Muslim dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu: “Nabi berkhutbah kepada kami beliau bersabda:
“Wahai manusia Allah telah mewajibkan haji atas kalian maka berhajilah!”  berdirilah seorang lelaki: “Apakah setiap tahun wahai Rasulullah?” Rasulullah diam hingga orang tadi bertanya tiga kali, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kalau aku katakan ya niscaya wajib tiap tahun”, kemudian beliau bersabda: “Biarkanlah apa yang aku tinggalkan pada kalian karena sesungguhnya sebab kebinasaan umat sebelum kalian adalah karena banyak bertanya dan menyelisihi Nabi-Nabi mereka, apabila aku perintahkan sesuatu untuk kalian lakukanlah sesuai dengan kemampuan kalian, dan apabila aku melarang sesuatu tinggalkanlah”. Orang yang bertanya tersebut adalah Aqra’ bin Habis sebagaimana diterangkan dalam riwayat yang lain.[25]
Ahli ushul berselisih tentang masalah lafadz perintah apakah mengharuskan dilakukan berulangkali? Sebagian besar fuqaha dan ahli kalam berpendapat tidak menghendaki pengulangan, sebagian lain berkata: “Tidak boleh dihukumi harus diulang atau tidak, tapi melakukan lebih dari satu harus ada penjelasan lain. Hadits ini dijadikan dalil oleh orang yang tawaquf (tidak menghukumi) karena ketika orang tersebut berkata: “Apakah tiap tahun?, kalau seandainya lafadz perintah yang mutlaq menghendaki pengulangan atau tidak, niscaya Nabi tidak akan bersabda: “kalau aku katakan ya niscaya wajib tiap tahun” bahkan para shahabat tidak butuh untuk bertanya, tapi lafadz perintah yang mutlaq mungkin untuk mempunyai dua makna tersebut.
Umat telah ijma’ bahwasanya haji tidak wajib kecuali satu kali saja seumur hidup berdasarkan ushul syar’i.
Adapun perkataannya: “Biarkanlah apa yang aku tinggalkan bagi kalian” jelas bahwasanya perintah tidak menghendaki pengulangan. Lafadz ini juga menunjukkan bahwa hukum asal sesuatu itu tidak wajib dan tidak ada hukumnya kecuali setelah adanya dalil syar’i, inilah pendapat yang benar menurut sebagian besar ahli ushul.
Sabdanya: “Kalau aku katakan ya niscaya wajib tiap tahun” dalil bagi mazhab yang benar bahwa dulu beliau punya hak untuk berijtihad, dan tidak disyaratkan harus dengan wahyu yang turun kepadanya.
Sabda beliau: “Apa yang aku perintahkan untuk kalian amalkan, lakukanlah sesuai dengan kemampuan kalian” ini merupakan salah satu kaidah penting dan salah satu jawami’ul kalim, dalam hadits ini banyak sekali mengandung hukum. Seperti shalat jika seseorang tidak mampu untuk melakukan sebagian rukunnya atau sebagian syaratnya dia harus lakukan apa yang mampu untuk dilakukan maka shalatnya sah, jika tidak mampu membasuh seluruh anggota wudhu dia cuci yang mampu ia basuh, demikian juga kalau dia wajib membayar zakat fitrah untuk beberapa orang yang dibawah tanggung jawabnya, demikian pula menyingkirkan kemungkaran kalau tidak mampu menghilangkan semuanya, ia lakukan semampu ia lakukan, dan banyak lagi masalah yang semisal ini, hal ini masyhur dalam kitab fiqih. Hadits ini seperti ayat Allah:
فَاتَّقُوْا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu“(At Taghabun: 16).
Adapun firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa” (Ali Imran: 102). Ada yang menyatakan telah dimansukh (dihapus hukumnya) oleh firman Allah:
فَاتَّقُوْا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
 “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu“(At Taghabun: 16).
Sebagian ulama berkata: “Yang benar ayat tersebut tidak mansukh. Tetapi hanya sebagai penafsir dan penjelas dari ayat sebelumnya, mereka berkata: “Bertaqwa yang sebenar-benarnya itu melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya, Allah tidak menyuruh sesuatu kecuali sesuai dengan kemampuan hamba-Nya, Allah berfirman:
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (Al-Baqarah: 286). Juga firmannya:
“Tidak menjadikan dalam agama kalian keberatan”.
Adapun perkataan beliau: “Apa yang aku larang kalian melakukannya maka jauhilah” ini berlaku secara mutlak, tapi jika ada udzur yang membolehkan seperti memakan bangkai ketika ada darurat dan sebagainya, ketika itu larangan tidak berlaku baginya, adapun jika tidak ada udzur dia tidak teranggap mengamalkan perintah Rasulullah ini sampai meninggalkan seluruh larangan Allah. Tidak akan hilang darinya sifat tersebut bila dia meninggalkan satu perintah Rasulullah.
Ini adalah pokok jika dipahami, yaitu masalah perintah yang mutlak: apakah menghendaki segera dilakukan atau tidak mesti segera, atau apakah wajib satu kali atau berulang kali?, dalam hadits ini ada beberapa bab fiqih, Wallahu A’lam.
Sabdanya: “Sesungguhnya sebab kebinasaan umat sebelum kalian adalah karena banyak bertanya dan menyelisihi Nabi-Nabi mereka” beliau ucapkan setelah perkataannya: “Biarkan apa yang aku tinggalkan bagi kalian” maksudnya: jangan banyak bertanya karena bisa jadi akan banyak jawabannya, nanti akan menyerupai kisah Bani Israil ketika dikatakan kepada mereka:
أَنْ تَذْبَحُوْا بَقَرَةً
“Sembelihlah oleh kalian seekor sapi” (Al Baqarah: 67), karena kalau mereka mencukupkan sesuai lafadz tersebut dan bersegera untuk menyembelih sapi yang manapun cukup bagi mereka, tapi karena mereka banyak bertanya yang pada akhirnya memberatkan mereka, dan mereka dicela karenanya. Maka Nabi mengkhawatirkan hal tersebut menimpa umatnya.[26]




HADITS KESEPULUH

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ تَعَالَى طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ، فَقَالَ تَعَالَى: (يَاأَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوْا صَالِحًا) وَقَالَ تَعَالَى: (يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ)، ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ. يَا رَبِّ ! يَا رَبِّ ! وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَهُ. رواه ومسلم.

Dari Abu Hurairah Radiyallahu’anhu: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah itu Baik dan tidak menerima kecuali sesuatu yang baik, dan sesungguhnya Allah menyuruh kaum muslimin dengan apa yang diperintahkan kepada para rasul, Allah berfirman: “Wahai para rasul makanlah yang baik-baik dan beramallah dengan amalan yang baik” dan berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman makanlah makanan yang baik dari apa yang telah kami rezkikan kepada kalian” kemudian menyebutkan seseorang yang lama melakukan safar kusut rambutnya dan berdebu, menengadahkan dua tangannya ke langit: “Yaa Rabbi Yaa Rabbi, makanannya haram, diberi makanan yang haram bagaimana bisa diterima do’anya” (HR. Muslim).

Syarah:
Ada yang menyatakan Thayib itu adalah sifat Allah artinya yang disucikan dari sifat yang tidak sempurna.
Hadits ini merupakan salah satu hadits yang padanya sumber Islam dan dasar hukum, menganjurkan berinfak dengan barang yang halal, dan melarang berinfak dengan barang yang tidak halal,[27] bahwasanya makanan, pakaian, minuman, dan sejenisnya harus dari barang yang halal serta bersih dari syubhat dan lainnya. Barangsiapa yang berdo’a harus lebih memperhatikan masalah ini dari yang lainnya, dalam hadits ini juga menerangkan jika seorang hamba menginfakkan dengan nafkah yang baik itulah yang akan berkembang, adapun makanan lezat yang tidak dibolehkan akan menjadi petaka bagi yang memakannya dan Allah tidak akan menerima amalannya.
Sabdanya: “Kemudian menyebutkan seseorang yang lama melakukan safar kusut rambutnya dan berdebu… “ maknanya wallahu a’lam ia telah lama safar dalam ketaatan, untuk haji, jihad dan perbuatan baik lainnya, tapi walaupun demikian tidak diterima do’anya disebabkan makanan, minuman dan pakaiannya yang haram, terlebih bagaimana dengan orang yang tenggelam dengan dunia atau dengan kedhaliman kepada hamba atau lalai terhadap berbagai macam ibadah dan kebajikan.
Sabdanya: “Menengadahkan kedua tangannya” yakni mengangkat dua tangannya berdo’a kepada Allah padahal dalam keadaan menyelisihi dan berbuat maksiat kepada-Nya.
Sabdanya:  وغذي بالحرامdengan dhommah huruf  ghain mu’jamah dan tahfifi dzal maksurah.
Sabdanya: “Bagaimana dikabulkan” dalam riwayat: “Bagaimana akan diijabah do’anya? Yakni dari mana bisa dikabulkan do’anya, akan tetapi bisa saja Allah mengabulkan do’anya sebagai karunia kelembutan dan kemurahan-Nya. Wallahu A’lam.[28]


HADITS KESEBELAS

عَنْ أَبِيْ مُحَمَّدٍ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبِ سِبْطِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَرَيْحَانَتِِهِ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا قَالَ: حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: دَعْ مَا يُرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يُرِيْبُكَ. رواه الترمذي والنسائي، وقال الترمذي: حديث حسن صحيح.

Dari Abu Muhammad Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib cucu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan kesayangannya: “Aku telah hafal satu hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Tinggalkanlah yang meragukanmu kepada perkara yang tidak meragukanmu” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i, Tirmidzi berkata: Hadits Hasan Shahih).

Syarah:
Sabdanya:  يريبكdiriwayatkan dengan fathah huruf  ya’ dan juga dhammah, tapi dengan fathah lebih fasih dan lebih masyhur. Boleh juga dengan didhammah, dikatakan:   رابني الشئ وأرابني maknanya: “Tinggalkan perkara yang meragukanmu dan berpalinglah kepada perkara yang tidak meragukanmu.
Makna hadits ini kembali kepada makna hadits yang keenam, yaitu sabda beliau: ”Sesungguhnya perkara yang halal sudah jelas dan perkara yang haram juga sudah jelas dan diantara keduanya ada perkara syubhat” (HR. Bukhari Muslim).
Dalam hadits lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang hamba tidak mencapai derajat orang bertaqwa hingga meninggalkan satu perkara yang mubah karena khawatir akan ada dampaknya” ini adalah derajat yang lebih tinggi lagi.[29]


HADITS KEDUABELAS

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ قَالَ:  قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ. حديث حسن، رواه الترمذي وغيره هكذا.

Dari Abu Hurairah Radiyallahu’anhu: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Diantara ciri bagusnya keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak ada gunanya” (HR. Hasan diriwayatkan demikian oleh Tirmidzi dan lainnya).

Syarah:
Qurrah bin Abdurrahman telah meriwayatkan hadits ini dari Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah dan beliau menshahihkan jalan-jalan hadits ini, kemudian beliau berkata tentang hadits ini: “Ini termasuk kalimat yang jami’ mengumpulkan makna-makna yang banyak dan mulia dengan lafadz yang singkat, demikian pula perkataan Abu Dzar Radiyallahu’anhu dalam sebagian haditsnya:
“Dan barangsiapa yang menghitung perkataan dari amalnya, niscaya sedikit sekali omongannya dalam perkara yang bermanfaaat,”
Telah diriwayatkan bahwa Imam Malik pernah mendapat berita bahwa telah dikatakan kepada Luqmanul Hakim: “Dengan apa engkau mencapai kedudukan sekarang – yakni keutamaan –? Beliau menjawab: “Jujur dalam berkata, menunaikan amanat dan meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat”.
Diriwayatkan pula bahwa Al Hasan pernah berkata: “Diantara tanda berpalingnya Allah dari seorang hamba adalah ketika ia sibuk dengan perkara yang tidak ada manfaatnya, beliau berkata: Abu Dawud berkata: “Pokok-pokok sunnah dalam setiap bidangnya ada empat hadits”, dan beliau sebutkan salah satunya adalah hadits ini.[30]




HADITS KETIGA BELAS

عَنْ أَبِيْ حَمْزَةَ أَنَسِ بْنِ مَالِكِ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ خَادِمِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ. رواه البخاري ومسلم.

Dari Abi Jamrah Anas bin Malik Radiyallahu’anhu: Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah sempurna Iman seseorang hingga ia mencintai kebaikan bagi saudaranya seperti yang ia cintai untuk dirinya” (HR. Bukhari Muslim).
           
Syarah:
Demikianlah yang terdapat dalam shahih Bukhari dengan lafadz (saudaranya) tanpa ada keraguan, dalam riwayat Muslim: “hingga mencintai saudaranya atau untuk tetangganya) dengan ragu.
Para ulama berkata: maknanya adalah tidak beriman dengan Iman yang sempurna. Adapun pokok Iman tetap ada walaupun tidak mempunyai sifat ini. Maksudnya: “Mencintai adanya ketaatan dan perkara-perkara mubah pada saudaranya, ditunjukkan oleh riwayat Nasa’i:
حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه
“Hingga mencintai kebaikan bagi saudaranya sebagaimana mencintai untuk dirinya”.

Syaikh Abu Amr bin Sholah berkata: “Hal seperti ini kadang dianggap sebagai perkara yang sulit dan tidak mungkin dilakukan, sebenarnya tidaklah demikian, karena makna hadits ini: Tidak sempurna keimanan salah seorang seorang kalian hingga ia mencintai kebaikan bagi saudaranya yang muslim sebagaimana ia mencintai untuk dirinya. Sehingga hal ini bisa dilakukan dengan cara mencintai semua jenis kebaikan bagi saudaranya dan tidak menghilangkan kebaikan tersebut darinya, sehingga tidak ada sedikitpun nikmat yang kurang baginya. Hal ini akan mudah dilakukan oleh hati yang sehat dan akan sulit dilakukan oleh hati yang sakit, dengki, mudah-mudahan Allah menyelamatkan kita dan saudara-saudara kita semuanya.
Abu Zinad berkata: “Dhahir hadits ini adalah sama dalam kebaikan, dan hakikatnya adalah senang bila temannya lebih afdhal, karena manusia senang kalau dirinya lebih utama dari orang lain. Apabila dia senang saudaranya seperti dia maka telah masuk golongan orang yang diungguli oleh saudaranya. Bukankah engkau tahu manusia minta keadilan dalam masalah haknya dan ketika didhalimi? Maka jika dia sudah sempurna imannya dan pernah berbuat dhalim atau ada hak orang lain atasnya maka ia akan menuntut keadilan kepada dirinya walaupun hal tersebut terasa berat.
Diceritakan bahwa Fudhail bin ‘Iyadh pernah berkata kepada Sufyan bin Uyainah: “Jika engkau menginginkan orang lain sepertimu berarti engkau belum menunaikan nasihat Allah, terlebih lagi jika engkau menginginkan mereka dibawahmu?
Sebagian ulama berkata: “Dalam hadits ini ada fiqih, bahwa seorang mukmin dengan mukmin lainnya seperti satu jiwa, maka ia harus senang saudaranya mendapatkan sesuatu yang ia senangi, karena mereka adalah satu jiwa, sebagaimana dalam hadits lain:
اَلْمُؤْمِنُوْنَ كَالْجَسَدِ الْوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عَضْوًا تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِاالْحُمَى وَالسَّهَِر
“Kaum mukminin itu seperti tubuh apabila salah satu anggotanya sakit maka anggota yang lainnya panas dan tidak bisa tidur” (Muttafaq ‘alaih).[31]

HADITS KEEMPAT BELAS

عَنِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ قَالَ:قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ. رواه البخاري ومسلم.

Dari Ibnu Mas’ud Radiyallahu’anhu: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena tiga perkara: orang yang sudah menikah berzina, membunuh jiwa, orang yang meninggalkan agamanya memisahkan diri dari jama’ah” (HR. Bukhari Muslim).



Syarah:
Dalam sebagian riwayat Bukhari Muslim: “Tidak halal darah seorang muslim yang bershahadat Laa ilaha illallah wa anni Rasulullah kecuali dengan salah satu perkara”.
Sabdanya: “bersyahadat La ilaha illallah wa anni Rasulullah”  seperti tafsir dari sabdanya: “Muslim” demikian pula sabdanya: “memisahkan diri dari jama’ah” tafsir dari kata “meninggalkan agama”, tiga golongan ini semua halal darahnya berdasarkan nash, yang dimaksud jamaah adalah kaum muslimin, pemisahan diri mereka adalah karena murtad dari agama Islam, inilah yang menyebabkan halal darahnya.
Sabdanya: “Orang yang meninggalkan agamanya memisahkan diri dari jamaah”  bermakna umum bagi semua orang yang murtad dari Islam dengan cara apapun, wajib membunuhnya jika tidak kembali kepada Islam.
Para ulama berkata: “Masuk dalam masalah ini juga semua orang yang keluar  dari jamaah dengan perbuatan bid’ah atau berbuat dhalim dan lainnya.
Dhahir dari nash ini bermakna umum. Namun keluar dari keumuman hukum ini seorang yang menyerang orang lain dan semisalnya, (dalam kasus seperti ini) boleh membunuhnya dalam rangka menolak gangguannya, telah dijawab bahwa mereka telah masuk dalam pengertian memisahkan diri dari agama, maka maksudnya: “Tidak halal sengaja bertujuan mebunuhnya kecuali tiga orang diatas”. Wallahu a’lam.
Sebagian ulama ada yang berdalil dengan hadits ini bahwa orang yang meninggalkan shalat harus dibunuh karena orang yang meninggalkan shalat disebutkan dalam tiga orang diatas, dalam masalah ini ada khilaf (perselisihan) di kalangan ulama: diantara mereka ada yang mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat, sebagian lagi tidak mengkafirkannya, sebagian ulama yang mengkafirkan berdalil dengan hadits lain: “Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat”[32] mereka berkata: “Sisi pendalilannya Rasulullah menegaskan terjaga darah seseorang apabila terkumpul padanya syahadatain, shalat dan zakat. Sesuatu yang tersusun dari beberapa perkara tidak akan tercapai kecuali dengan terkumpulnya perkara-perkara tersebut jika tidak ada maka hilanglah ia. Demikianlah kalau mereka berdalil dengan konteks hadits –yaitu perkataan Aku diperintah untuk memerangi manusia..“ sesungguhnya hadits ini hanya menghendaki peperangan sampai puncaknya– maka orang ini telah keliru dan lalai, karena berbeda sekali antara makna memerangi sesuatu dan membunuh sesuatu, karena المقالة مفاعلة  menghendaki adanya kegiatan dari dua belah pihak, dan kewajiban memerangi orang yang tidak shalat tidak mesti berarti kita juga harus membunuhnya walau dia meninggalkannya tanpa memerangi kita. Wallahu a’lam.
Perkataannya: “Orang yang sudah menikah berzina” masuk kedalam hadits ini laki-laki dan perempuan, ini adalah dalil bagi permasalahan yang disepakati kaum muslimin bahwa hukum pezina adalah rajam dengan syarat-syarat yang disebutkan dalam kitab fiqih.
Sabdanya: “Jiwa dibayar jiwa” sesuai dengan firman Allah:
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيْهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ
“Kami tetapkan atas mereka bahwa jiwa harus dibayar jiwa” (Al Maidah: 45), yang dimaksud disini adalah jiwa yang satu derajat dalam Islam dan merdeka, berdasarkan sabda Rasulullah:
لاَ يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ
“Seorang muslim tidak dibunuh karena membunuh orang kafir” (HR. Bukhari), demikian pula harus merdeka merupakan salah satu syarat menurut Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad. Ashhabur ra’yi berpendapat: “bahwa muslim dibunuh karena membunuh orang kafir dzimmi, orang merdeka dibunuh karena membunuh hamba sahaya, berdalil dengan hadits ini tetapi jumhur berbeda dengan pendapat mereka ini.”[33]


HADITS KELIMA BELAS

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ  أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ. رواه البخاري ومسلم.

Dari Abu Hurairah Radiyallahu’anhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya berkata yang baik atau diam, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya memuliakan tetangganya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya memuliakan tamunya” (HR. Bukhari Muslim).

Syarah:
Sabdanya: ) مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ )“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir” Barangsiapa yang beriman dengan Iman yang sempurna yang menyelamatkan dari neraka dan menyampaikannya kepada keridhoan Allah (فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ ) “hendaknya ucapkan ucapan yang baik atau diam” Karena barangsiapa yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya Iman akan takut ancaman-Nya dan mengharap pahala-Nya berusaha keras untuk melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, yang lebih penting dari itu semua: menjaga anggota badannya yang merupakan gembalaannya yang nantinya akan dimintai pertanggung jawabannya, sebagaimana firman Allah:
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلاً
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya akan ditanyai oleh Allah” (Al Isra: 36).
Allah berfirman pula:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (Qaaf: 18).
Bahaya-bahaya lisan itu banyak sekali, sebagimana sabda Nabi:
هَلْ يُكْتَبُ النَّاسُ فِي النَّارِ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدَ أَلْسِنَتِهِمْ
“Bukankah manusia tersungkur ke neraka di atas hidung mereka tidak lain karena hasil lisan mereka”[34]
Beliau bersabda:
كُلُّ كَلاَمِ ابْنِ آدَمَ عَلَيْهِ إِلاَّ ذِكْرُ اللهِ تَعَالَى، وَأَمْرٌ بِمَعْرُوْفٍ، وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ
“Semua perkataan bani Adam adalah kesalahannya kecuali dzikir kepada Allah Ta’ala dan amar ma’ruf nahi munkar”.

Barangsiapa yang telah mengetahui hal tersebut dan mengimaninya dengan sebenar-benarnya Iman, niscaya akan takut kepada Allah dan tidak akan bicara kecuali yang baik atau diam.
Sebagian ulama berkata: “Kumpulan adab kebaikan tercabang dari empat hadits diantaranya mereka menyebutkan: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya berkata yang baik atau diam”. Ahli bahasa berkata: يقال: صمت يصمت بضم الميم صمتا  وصموتا وصماتا - .
Sebagian ulama berkata tentang makna hadits ini: “Jika seseorang hendak berbicara hendaknya ia teliti. Jika apa yang diucapkan itu akan mendapatkan pahala ucapkanlah, tetapi jika tidak janganlah bicara dengan ucapan yang haram, makruh atau mubah. Dengan demikian perkataan yang mubah juga disuruh untuk ditinggalkan dan sunnah meninggalkannya karena khawatir akan menyeret kepada perkataan yang haram atau makruh dan hal tersebut sering terjadi. Allah berfirman:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ
 “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (Qaaf: 18).
Para ulama ikhtilaf apakah seluruh perkataan manusia ditulis walaupun perkataan yang mubah, atau tidak ditulis kecuali yang menghasilkan balasan dan hukuman? Ibnu Abbasdan lainnya berpendapat dengan pendapat yang kedua, dengan demikian ayat yang mulia tersebut dikhususkan: Apa yang dilafadzkan berupa perkataan yang menghasilkan balasan”.
Perkataannya: “Hormatilah tetangganya dan muliakan tamunya” hadits ini menjelaskan tentang hak tetangga dan tamu, keharusan berbuat baik kepada keduanya dan anjuran untuk menjaga anggota badan, Allah telah mewasiatkan dalam kitab-Nya untuk berbuat baik kepada tetangga. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَازَالَ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ يُوْصِيْنِيْ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيورثه
“Jibril terus menerus berwasiat kepadaku tentang tetangga, hingga aku menyangka akan berhak mendapatkan waris”  (Muttafaq ‘alaih: Riyadhus Shalihin: 303). Kemudian menjamu tamu merupakan bagian dari adab Islam dan akhlaknya para Nabi dan orang shalih, sebagian ulama menegaskan wajibnya menjamu tamu, dan sebagian besar mereka menyatakan termasuk akhlak yang mulia.
Pengarang Al Ifshah berkata: “Dalam hadits ini ada fiqih, seorang manusia hendaknya meyakini bahwa menghormati tamu adalah ibadah, tidak berkurang kalau yang bertamu adalah orang kaya dan tidak merasa berat menyuguhkan kepada tamunya sedikit makanan. Menghormati tamu adalah menyambutnya dengan wajah berseri, sopan dalam bicara, dan pokok menjamu tamu adalah memberinya makan, dia harus bersegera menyuguhkan apa yang Allah mudahkan baginya dan jangan memberat-beratkan diri, beliau menyebutkan masalah penjamuan tamu dan berkata: “Adapun perkataannya: “Ucapkanlah yang baik atau diam” menunjukkan bahwa perkataan yang baik itu lebih baik dari pada diam dan diam lebih baik dari perkataan yang jelek, hal ini dikarenakan beliau memulai dengan huruf lam tanda perintah ketika menyuruh berkata yang baik dan ketika menyuruh diam. Dan diantara perkataan yang baik adalah menyampaikan ilmu dari Allah dan rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengajari kaum muslimin, amar ma’ruf diatas ilmu, inkarul munkar dengan ilmu, mendamaikan manusia, berkata baik kepada manusia, diantara ucapan yang paling utama adalah menyatakan yang hak dihadapan orang yang dikhawatirkan atau diharapkan dalam kekokohan dan kelurusan agama.[35]




HADITS KEENAM BELAS

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: أَوْصِنِيْ، قَالَ (لاَتَغْضَبْ) فَرَدَّدَ مِرَارًا، قَالَ: (لاَتَغْضَبْ). رواه البخاري.

Dari Abu Hurairah Radiyallahu’anhu: “Ada seorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Berwasiatlah kepadaku! Rasulullah bersabda: “Janganlah engkau marah”, orang tersebut bertanya berulangkali maka beliau menjawab: “Jangan marah” (HR. Bukhari).

Syarah:
Pengarang Al Ifshah berkata: “Boleh jadi Rasulullah tahu orang tersebut sering marah, maka beliau mengkhususkannya dengan wasiat ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memuji orang yang bisa menguasai dirinya ketika marah, beliau bersabda:
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرْعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Bukanlah kekuatan itu dengan bergulat, tapi orang yang perkasa adalah yang mampu menahan diri ketika marah” (Muttafaq ‘alaih).
Allah memuji orang yang suka menahan amarah dan memaafkan manusia, telah diriwayatkan pula bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ كَظَمَ غَيْظَهُ وَهُوَ يَسْتَطِيْعُ أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ الله عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوْسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَه مِنَ الحوَارِ مَا شَاءَ"
“Barangsiapa yang menahan amarahnya padahal dia mampu untuk melampiaskannya akan dipanggil oleh Allah di hadapan makhluk-makhluk di hari kiamat nanti sampai dipilihkan baginya bidadari mana yang ia inginkan”.[36]
Dalam satu hadits diterangkan: “Sesungghunya marah itu dari syaithan” oleh karena itu manusia suka hilang kendali ketika marah, mengucapkan ucapan batil, melakukan perbuatan yang dicela, berniat untuk dengki dan membenci, serta melakukan kejelekan lainnya yang diharamkan. Itu semua karena sebab marah, mudah-mudahan Allah melindungi kita darinya.
Telah ada hadits dari Abu Sulaiman bin Sharmad:
“Sesungguhnya berlindung kepada Allah dari syaithan menghapuskan amarah”. Hal ini karena syaithanlah yang menghias-hias marah kepada manusia. Semua orang yang akhir hidupnya ingin dipuji akan digelincirkan dan dijauhkan oleh syaithan dari ridha Allah, maka berlindung kepada Allah merupakan salah satu senjata yang paling kuat untuk menolak tipu daya syaithan.[37]




HADITS KETUJUH BELAS

عَنْ أَبِيْ يَعْلَى شِدَادُ بْنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ اللهَ كَتَبَ اْلإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوْا الْقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوْا الذَّبْحَةَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ. رواه ومسلم.

Dari Abu Ya’la Syadda bin Aus Radiyallahu’anhu: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah menetapkan perbuatan baik untuk segala sesuatu, apabila kalian membunuh atau menyembelih sembelihan hendaknya membaguskan sembelihannya, hendaknya dipertajam pisaunya dan diberi ketenangan hewan sembelihannya itu” (HR.Muslim ).

Syarah:
 القتلة dengan kasrah huruf qaf yakni bentuk dan keadaan, الذبحة dengan kasrah dzal bisa juda didhammah. Dalam beberapa riwayat dengan lafadz  فأحسنوا الذبيحtanpa huruf ha dengan akhir fathah sebagai masdar, dan dengan ha  dan dikasrah artinya: bentuk dan keadaan.
Perkataannya:     وليحد أحدكم شفرتهdengan dhammah huruf ya dari يحد dikatakan: “Perbagus ketika membunuh” maknanya umum dalam seluruh penyembelihan, membunuh karena qishash atau karena hukum had dan lainnya, ini termasuk salah satu hadits yang mengandung kaedah-kaedah Islam.
Makna membaguskan pembunuhan yakni bersungguh -sungguh untuk memperbagus dalam membunuhnya dan tidak bermaksud menyiksanya.
Memperbagus penyembelihan hewan maksudnya adalah lemah lembut dengan tidak menyungkurkannya secara tiba-tiba, jangan menyeretnya dari satu tempat ke tempat lain, menghadapkannya ke kiblat, membaca basmalah dan tahmid, memotong kerongkongannya dan urat lehernya, membiarkannya hingga tenang, mengakui karunia Allah dan mensyukuri nikmat-Nya, karena Allahlah yang menundukkannya kepada kita, jika Allah berkehendak bisa menguasakannya kepada kita, Allah mengharamkan kepada kita sesuatu yang kalau Dia berkehendak Dia bisa mengharamkannya atas kita.Wallahu a’lam.[38]
HADITS KEDELAPAN BELAS

عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ جُنْدُبِ بْنِ جَنَادَةَ، وَأَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمنِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ. رواه الترمذي وقال: حديث حسن، وفي بعض النسخ: حسن صحيح.

Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abi Abdirrahman Muadz bin Jabal Radiyallahu’anhuma Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bertaqwalah kepada Allah dimanapun engkau berada, iringilah perbuatan jelekmu dengan kebaikan yang akan menghapusnya, dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik” (HR. Tirmidzi beliau berkata: Hadits Hasan, dalam satu nushah: Hasan shahih).

Syarah:
Keutamaan Abu Dzar banyak sekali, beliau masuk Islam ketika Rasulullah masih di Mekkah dan Rasulullah menyuruh untuk bergabung dengan kaumnya. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melihat semangatnya tinggal di Mekkah dan tidak mampu melakukannya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Bertakwalah kepada Allah dimanapun engkau berada, iringilah perbuatan jelekmu dengan kebaikan yang akan menghapuskannya”. Hadits ini sesuai dengan firman Allah:
إِنَّ الْحَسَنَتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
“Sesungguhnya kebaikan akan menghapus kejelekan” (Hud: 114).
Perkataannya: “Dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik”
Maknanya: bergaulah dengan manusia seperti engkau inginkan mereka bermuamalah denganmu, ketahuilah sesuatu yang paling berat timbangannya di hari kiamat adalah husnul khuluq. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ أَحَبّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبكُمْ مِنِّيْ مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أحاسنكُمْ أَخْلاَقًا
“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan terdekat tempat duduknya denganku di hari kiamat adalah yang paling baik akhlaknya”,[39] baik akhlak itu termasuk sifatnya para nabi, rasul dan orang mukmin yang terpilih, yaitu tidak membalas kejelekan dengan kejelekan, tapi memaafkan dan mengampuni serta berbuat baik walau orang lain berbuat jelek kepadanya.[40]


HADITS KESEMBILAN BELAS

عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا قَالَ: "كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا، فَقَالَ: يَا غُلاَمُ، إِنِّيْ أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ: اِحْفَظِ اللهَ يَحْفَظُكَ، اِحْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ الله، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ اْلأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيْئٍ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلاَّ بِشَيْئٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوْا عَلَى أَنْ يَّضُرُّوْكَ بِشَيْئٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْئٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ اْلأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ. رواه الترمذي وقال: حديث حسن صحيح. وفي رواية غير الترمذي: "إِحْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ أَمَامَكَ، تَعَرَّفْ إِلَى الله فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ، وَاعْلَمْ أَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَكَ، وَمَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ، وَاعْلَمْ أَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ، وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ، وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا.

Dari Abul Abas Abdullah bin Abbas Radiyallahu’anhuma: “Pada suatu hari aku pernah berada di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam beliau berkata: “Wahai anak muda aku akan mengajari engkau beberapa kalimat, jagalah agama Allah niscaya engkau akan dijaga oleh-Nya, jagalah agama Allah niscaya engkau akan mendapati Allah dihadapanmu, apabila engkau minta, mintalah kepada Allah dan apabila mau minta tolong, minta tolonglah kepada Allah, ketahuilah jika seluruh umat bersepakat untuk memberi satu manfaat untukmu mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah, dan kalau mereka berkumpul hendak menimpakkan mudharat atasmu mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah, telah diangkat qalam dan telah kering buku catatan” (HR. Tirmidzi ia berkata Hadits Hasan Shahih). Dalam riwayat selain Tirmidzi: “Jagalah agama Allah niscaya engkau akan mendapati Allah dihadapanmu, kenalilah Allah dalam keadaan lapang niscaya Dia akan mengenalmu ketika kamu dalam keadaan susah, ketahuilah apa yang ditaqdirkan tidak mengenaimu niscaya tidak akan kau dapatkan, dan apa yang ditaqdirkan menimpamu tidak akan meleset, ketahuilah kemenangan itu dengan kesabaran, kelapangan itu bersama kesusahan dan kemudahan itu bersama kesulitan”.

Syarah:
Keutamaan Abdullah bin Abbas banyak sekali. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mendo’akannya: “Ya Allah faqihkan dia dalam agama, dan ajarilah ia tafsir”(HR. Muslim), mendo’akan untuknya akan mendapatkan hikmah dua kali, telah ada riwayat yang shahih darinya bahwa ia pernah melihat Jibril dua kali, dia adalah lautan ilmu umat ini, Rasulullah menganggap ia layak mendapatkan wasiat, walaupun ia masih kecil, beliau berkata: “Jagalah agama Allah niscaya engkau akan dijaga oleh-Nya” maknanya: Jadilah engkau orang yang taat kepada Allah, mengutamakan perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya.
Perkataannya: “Jagalah agama Allah niscaya engkau akan mendapati Allah dihadapanmu”
yakni lakukan amalan taat kepada-Nya jangan sampai engkau terlihat menyelisihi-Nya, niscaya engkau akan mendapati Allah dihadapanmu, sebagaimana yang dialami oleh tiga orang yang kehujanan kemudian masuk ke goa kemudian tertimbun batu yang menutupi goa tersebut, mereka berkata: “Perhatikanlah apa yang kalian amalkan dari amalan shalih mintalah kepada Allah dengannya, itu akan menyelamatkan kalian, akhirnya semuanya berdo’a dengan bertawasul dengan amalan shalih yang dulu pernah mereka lakukan kepada Allah, dan batu itupun bergeser kemudian mereka bisa keluar dan berjalan. Kisah ini masyhur terdapat dalam kitab shahih.
Perkataannya: “Apabila engkau minta, mintalah kepada Allah dan apabila mau minta tolong, minta tolonglah kepada Allah” membimbingnya untuk bertawakal kepada Allah, jangan menjadikan selain-Nya sebagai sesembahan, jangan bergantung kepada orang lain dalam segala urusan, baik urusan yang kecil atau besar. Allah berfirman:
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (At Thalaqaa: 3). Dengan kadar apapun seorang hamba bersandar kepada selain Allah, baik dengan permintaannya, hatinya ataupun cita-cita maka berarti ia telah berpaling dari Allah kepada makhluk yang tidak bisa memberi manfaat atau menimpakan mudharat, demikian pula takut kepada selain Allah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menekankan dengan perkataannya: “Ketahuilah jika seluruh umat bersepakat untuk memberi satu manfaat untukmu mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah” demikian pula masalah mudharat, inilah yang disebut Iman kepada taqdir, wajib iman kepada taqdir yang baik maupun yang buruk, jika seorang mukmin telah meyakini hal ini, apa faedahnya berdo’a dan meminta perlindungan kepada selain Allah? Demikian juga jawaban Alkhalil ‘alaihis shalatu wassalam: “Ketika Jibril datang kepadanya di goa hiro seraya berkata: “Apa kamu punya kebutuhan?” beliau menjawab: “Kalau kepadamu tidak”.
Perkataannya: “telah diangkat qalam dan telah kering buku catatan” ini adalah penegas kalimat sebelumnya, yakni tidak akan terjadi sesuatu yang berbeda dengan yang aku sebutkan baik dengan dihapus atau diganti.
Kemudian perkataannya: “Ketahuilah kemenangan itu dengan kesabaran, kelapangan itu bersama kesusahan dan kemudahan itu bersama kesulitan”, mengingatkan bahwa manusia di dunia – apalagi orang shalih – adalah orang-orang yang pantas ditimpa musibah, berdasarkan firman Allah:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْئٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ اْلأَمْوَلِ وَاْلأَنْفُسِ وَالثَّمَرَتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِيْنَ. الَّذِيْنَ إِذَا أَصَبَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ قَالُوْا إِنَّا ِللهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَجِعُوْنَ. أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَتٌ مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُوْنَ
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.  (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun" Mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang Sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (Al Baqarah: 155-157).

Allah berfirman juga:
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّبِرُوْنَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya orang yang sabar akan dicukupkan pahala mereka tanpa ada perhitungan” (Az Zumar: 10).[41]




HADITS KEDUA PULUH

عَنْ أَبِيْ مَسْعُوْدِ عُقْبَةَ بْنِ عَمْرِو اْلأَنْصَرِيِّ الْبَدْرِي رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: ((إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ". رواه البخاري.

Dari Abi Mas’ud ‘Uqbah bin Amir al Anshari al Badri Radiyallahu’anhu: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya perkara yang didapati manusia dari ucapan nubuwah yang pertama adalah: “Jika kalian tidak malu lakukanlah apa yang mau” (HR. Bukhari).

Syarah:
Makna perkataan: “Ucapan nubuwah yang pertama” bahwasanya malu adalah sifat terpuji dan baik. Kita diperintahkan untuk bersifat demikian, perintah tersebut tidak pernah dihapus sejak para Nabi yang pertama.
Perkataannya: “Lakukanlah apa yang mau”, ada dua kemungkinan; kemungkinan pertama: diucapkan dengan lafadz perintah dalam rangka ancaman dan hardikan, bukan maksudnya perintah biasa seperti firman Allah:
اعْمَلُوْا مَا شِئْتُمْ
“Lakukanlah apa yang kalian mau” (Fushilat: 40).
Karena ayat ini adalah ancaman sebab telah dijelaskan kepada mereka apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka tinggalkan, juga seperti perkataan Nabi:
مَنْ بَاعَ الْخَمْرَ فليشْقص الْخَنَازِيْرَ.
“Barangsiapa yang menjual khamr hendaknya menyembelih babi”, bukan maknanya boleh menyembelih babi. Kemungkinan kedua: lakukan apa yang tidak malu jika pelakunya diketahui orang lain, seperti ini juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
اَلْحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ.
“Malu termasuk dari iman” (HR. Bukhari dan Muslim).
Maknanya: karena malu itu mencegah orang yang mempunyai sifat ini dari perbuatan kotor dan membawanya untuk melakukan kebajikan dan kebaikan, sebagaimana iman akan membentengi orang yang beriman dari perbuatan maksiat dan membimbing orang yang mempunyai iman untuk taat, maka malu kedudukannya sama dengan iman, karena persamaannya tersebut. Wallahu a’lam.[42]


HADITS KEDUA PULUH SATU

عَنْ أَبِيْ عَمْرِو – وَقِيْلَ أَبِيْ عُمْرَةَ – سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِاللهِ الثَّقَفِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ الله! قُلْ لِيْ فِي اْلإِسْلاَمِ قَوْلاً، لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا غَيْرَكَ، قَالَ: "قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ فَاسْتَقِمْ". رواه مسلم.

Dari Abi Amr – ada yang menyatakan pula Abi Umrata – Sufyan bin Abdillah Radiyallahu’anhu: Aku berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah sampaikanlah kepadaku satu perkataan yang aku tidak akan bertanya lagi setelahnya kepada selainmu. Rasulullah bersabda: “Katakanlah Aku beriman kepada Allah kemudian istiqamahlah” (HR. Muslim).

Syarah:
Makna perkataannya: “Aku berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah sampaikanlah kepadaku satu perkataan yang aku tidak akan bertanya lagi setelahnya kepada selainmu” yakni ajarkan kepadaku satu perkataan yang mencakup makna-makna Islam yang jelas sehingga tidak butuh penjelasan selainmu, aku beramal dan bertaqwa dengannya. Rasulullah menjawab: “Katakanlah aku beriman kepada Allah kemudian istiqamahlah” ini termasuk jawami’ul kalim yang diberikan kepada Rasulullah. Karena beliau memberikan jawaban kepada orang yang bertanya dengan dua kalimat yang mengandung makna Iman. Dia disuruh untuk selalu memperbaharui Imannya dengan lisan dan mengingat dengan hati. Juga beliau memerintahkannya untuk istiqamah dalam menjalankan ketaatan serta menjauhi perkara yang menyelisihi syariat yang merupakan lawannya istiqamah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
إِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَمُوْا
“Orang-orang yang berkata rabb kami adalah Allah kemudian istiqamahlah”(Fushilat: 30), yakni beriman kepada Allah saja kemudian istiqamahlah diatas ilmu tersebut dan diatas ketaatan kepada Allah hingga diwafatkan oleh Allah dalam keadaan istiqamah diatas agama-Nya.
Umar bin Khattab Radiyallahu’anhu berkata: “Demi Allah beristiqmahlah kalian diatas ketaatan kepada Allah, dan janganlah menyimpang dari jalan seperti musang”. Maknanya teruslah memperbanyak amalan taat dan baik dalam keyakinan, perkataan maupun amalan dan teruslah diatas ketaatan.
Makna seperti ini adalah pendapat jumhur ulama mufassirin. Dan itu juga makna hadits ini Insya Allah. Demikian pula Firman Allah:
فَاسْتَقِمْ كَمَآ أُمِرْتَ
“Beristiqamahlah engkau sebagaimana yang diperintah” (Hud: 112). Ibnu Abbas berkata tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur’an yang lebih memberatkan Rasulullah dibanding ayat ini”.
Oleh karena itu beliau bersabda: Surat Hud dan sejenisnya telah membuatku beruban”.
Ustadz Abul Qasim Al-Qusyairi berkata: “Istiqamah adalah satu derajat yang dengannya sempurna segala urusan. Dengan adanya istiqamah tercapai dan teraturlah semua kebaikan. Barangsiapa yang tidak istiqamah dalam perjalanannya maka sia-sia dan rusak usahanya. Beliau berkata: “Ada yang mengatakan tidak ada yang mampu melakukannya kecuali orang besar. Karena dengan istiqamah seseorang keluar dari kebiasaannya sehari-hari, memisahkan diri dari adat, berdiri dihadapan Allah sesuai dengan hakikat sidiq, oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Istiqamahlah kalian dan kalian takkan bisa menghitung”.
Al Wasithi berkata: “Perangai yang dengannya sempurna perbuatan baik dan jika tidak ada akan menjadi jelek hal-hal yang baik adalah istiqamah, wallahu a’lam.[43]


HADITS KEDUA PULUH DUA

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِاللهِ اْلأَنْصَارِيْ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَرَأَيْتَ إِذَا صَلَّيْتَ الْمَكْتُوْباَتِ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ، وَأَحْلَلْتَ الْحَلاَلَ وَحَرَّمْتَ الْحَرَامَ وَلَمْ أَزِدْ عَلَى ذَلِكَ شَيْئًا، أَأَدْخُلِ الْجَنَّةَ؟ قَالَ: "نَعَمْ". رواه مسلم. وَمَعْنَى حَرَّمْتُ الْحَرَامَ: اجْتَنَيْتُهُ، وَمَعْنَى أَحْلَلْتُ الْحَلاَلَ: فَعَلْتُهُ مُعْتَمِدًا حَلَّهُ.

Dari Abu Abdillah Jabir bin Abdillah al Anshari Radiyallahu’anhu: “Ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dia berkata: “Apa pendapatmu jika aku shalat wajib, berpuasa bulan Ramadhan, menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram. Dan aku tidak menambah yang lainnya, apakah aku bisa masuk surga? Rasulullah menjawab: “Ya” (HR. Muslim).

Makna mengharamkan yang haram adalah aku menjauhinya, makna menghalalkan yang halal adalah aku melaksanakannya dengan keyakinan halalnya.

Syarah:
Orang yang bertanya ini adalah Nu’man bin Qauqol – dengan huruf qaf yang difathah-. Syaikh Abu bin Shalah berkata: “Yang dhahir maksud “mengharamkan yang haram” ada dua makna: pertama, meyakini keharamannya kedua, tidak melakukannya. Berbeda dengan menghalalkan yang halal karena cukup dengan meyakini halalnya.
Pengarang kitab Al Mufham berkata: “Nabi tidak menyebutkan kepada orang ini ibadah yang sunnah secara global, ini menunjukkan bolehnya meninggalkan perkara tathawu’ (sunnah) secara keseluruhan. Akan tetapi barangsiapa meninggalkannya dan tidak melakukan sedikitpun ibadah tathawu’, (ia telah kehilangan) keuntungan yang banyak dan pahala yang besar. Barangsiapa yang terus menerus meninggalkan perkara sunnah ini merupakan kekurangan dalam agama seseorang dan mencacati keadilannya. Jika meninggalkannya karena meremehkan atau membencinya maka itu merupakan suatu kefasikan yang ia akan dicela karenanya.
Ulama kita berkata: “Kalau penduduk satu negeri sepakat untuk meninggalkan satu sunnah mereka harus diperangi sampai ruju’. Para sahabat dan orang yang mengikuti mereka telah melaksanakan secara rutin perkara sunnah sebagaimana mereka rutin dalam melaksanakan ibadah yang wajib. Mereka tidak pernah membedakan keduanya dalam mengambil pahala dari keduanya.
Latar belakang para fuqaha membedakan perkara wajib dan sunnah adalah karena berkaitan dengan masalah apakah wajib mengulang satu amalan serta apakah ada hukuman bagi orang yang meninggalkan satu amalan, serta kekahawatiran adanya hukuman jika meninggalkannya dan tidak adanya hukuman jika meninggalkannya dengan sebab tertentu.
Dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingatkan perkara sunnah dan fadhail dalam rangka memberi kemudahan. Karena orang tersebut baru masuk Islam, jangan sampai ia lari dari Islam karena banyaknya amalan yang harus  ia kerjakan. Rasulullah tahu apabila Islam sudah mantap dalam hatinya, niscaya ia akan menyenangi amalan yang disenangi muslim lainnya. Atau Rasulullah tidak menyebutkan perkara sunnah agar orang tersebut tidak meyakini perkara sunnah sebagai perkara yang wajib. Demikian pula dalam hadits lain: Ada seorang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang shalat, beliau mengabarkan lima waktu, penanya berkata apakah ada yang lain? Rasulullah menjawab: “Tidak, kecuali engkau mau melakukannya yang tathawu”, kemudian bertanya tentang puasa, haji dan syariat Islam lainnya, Rasulullah menjawabnya dan berkata diakhir haditsnya: “Demi Allah aku tidak akan menambah atau mengurangi ini. Rasulullah bersabda: “Orang ini akan bahagia jika jujur (benar dalam perkataannya)” dalam satu riwayat: “Jika ia berpegang dengan yang diperintahkan ia akan masuk sorga”

Inilah yang dinamakan – dengan merutini perkara wajib, menegakkan dan melaksanakannya pada waktu yang ditetapkan tanpa menguranginya -  kebahagiaan dan kesuksesan yang besar. Aduhai kiranya kita bisa mendapatkannya.
Barangsiapa yang mengamalkan perkara wajib serta mengiringinya dengan perkara sunnah lebih banyak lagi kebahagiaannya. Karena perkara sunnah disyariatkan untuk menyempurnakan perkara wajib.
Orang yang bertanya dalam hadits ini dan hadits sebelumnya tidak diberitahu perkara-perkara sunnah oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah untuk mempermudah keduanya dan agar keduanya bisa lapang dada dalam memahami dan semangat mendapatkan perkara yang wajib hingga terasa mudah atas keduanya.[44]


HADITS KEDUA PULUH TIGA

عَنْ أَبِيْ مَالِكٍ بْنِ عَاصِمٍ اْلأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ:قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الطَّهُوْرُ شَطْرُ اْلإِيْمَانِ، وَالْحَمْدُ ِللهِ تَمْلأُ الْمِيْزَانَ، وَسُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ ِللهِ تَمْلآنِ - أَوْ تَمْلأُ - مَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ، وَالصَّلاَةُ نُوْرٌ، وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ، وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ، وَالْقُرْآنُ حُجَةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ. كُلُّ النَّاس يَغْدُوْ. فَبَائِعٌ نَفْسَهُ، فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوْبِقُهَا". رواه مسلم.

Dari Abi Malik Al Harits bin al Asy’ari Radiyallahu’anhu: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bersuci adalah sebagian dari Iman, alhamdulillah memenuhi timbangan, subhanallah dan alhamdulillah keduanya memenuhi antara langit dan bumi, shalat adalah cahaya, shadaqah adalah burhan, sabar adalah sinar, al Qur’an adalah hujjahmu atau hujjah atasmu, semua manusia itu berusaha; ada yang menjual dirinya untuk membebaskannya atau mencelakakannya” (HR. Muslim).

Syarah:
Hadits ini merupakan salah satu pokok Islam, mencakup qaidah-qaidah agama Islam yang penting, adapun kata (الطهور) yang terpilih adalah kata kerja – dengan dhammah huruf tha –.
Makna kata tersebut diperselisihkan,
Ada yang menyatakan sesungguhnya pahala bersuci yang maksimal itu setengah pahala iman.
Ada juga yang menyatakan kata Iman disini maksudnya shalat, Allah berfirman:
وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيْعَ إِيْمَنَكُمْ
“Allah tidak akan menyia-nyiakan Iman kalian” (Al Baqarah: 143). Bersuci adalah salah satu syarat shalat. Karena setengah dari shalat, tidak mesti yang setengahnya itu persis.
Ada juga yang menyatakan dengan pendapat lain.
Adapun perkataannya: “Alhamdulillah memenuhi timbangan” maknanya: “Karena besarnya pahala hingga memenuhi timbangan orang yang mengucapkannya. Banyak nash dalam al Qur’an dan sunnah yang menunjukkan akan ditimbangnya amalan dan berat ringannya timbangan.
Demikian pula perkataannya: “Subhanallah dan alhamdulillah keduanya memenuhi antara langit dan bumi”. Besarnya keutamaan dua kalimat ini karena mengandung pensucian Allah dan merasa butuh kepada Allah.
Perkataannya (   تملآن أو تملأ) sebagian membacanya dengan huruf ta dan ini yang benar, yang pertama dhamir mutsana dan yang kedua dhamir kalimat ini. Sebagian mereka berkata: “kata (يملآن) boleh mudzakar boleh muannats. Muannats penjelasannya seperti sudah disebutkan adapun mudzakar maksudnya dua perkataan tersebut”. Adapun kata (تملأ) mudzakar karena maksudnya adalah dzikir.
Adapun maksud : “Shalat adalah cahaya” maknanya mencegah orang dari kemaksiatan dan menghentikannya dari perbuatan kotor dan mungkar serta membimbingnya kepada kebenaran. Sebagaimana cahaya digunakan untuk menerangi.
Ada juga yang mengatakan: “Nanti di hari kiamat akan menjadi cahaya bagi yang mengamalkannya”. Ada juga yang mengatakan: “Akan menjadi cahaya diwajahnya dihari kiamat dan didunia wajahnya terang, berbeda dengan orang yang tidak shalat.
Adapun perkataannya: “shadaqah adalah burhan” pengarang kitab Attajrid menyatakan: “Maknanya ia melakukannya sebagaimana bersegera kepada dalil. Ketika seorang hamba ditanya pada hari kiamat tentang tempat membelanjakan uangnya maka shadaqahnya akan menjadi dalil baginya dalam menjawab pertanyaan tersebut. Dia akan berkata: “orang ini menshadaqahkan hartanya”.
Selain beliau ada yang memaknakan: “Shadaqah sebagai bukti atas keimanan orang melakukannya, sebab orang munafik tidak melakukannya karena mereka tidak meyakininya. Barangsiapa yang bershadaqah menunjukkan kuat imannya”, Wallahu a’lam.
Adapun perkataannya: “Sabar adalah sinar” maknanya: Sabar yang dicintai dalam syariat yakni sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar dalam menjauhi maksiat dan sabar atas kejadian dan perkara yang tidak disenangi di dunia.
Maksudnya, sabar adalah amalan terpuji. Orang yang melakukannya terus bercahaya, terbimbing dan berada dalam kebenaran.
Ibrahim Al Khawas berkata: “Sabar adalah teguh diatas al Qur’an dan sunnah”.
Ada yang menyatakan juga: sabar adalah menghadapi ujian dengan adab yang baik.
Abu Ali ad Daqaq berkata: “Sabar adalah tidak menentang taqdir, adapun menampakkan bala dalam rangka menyampaikannya kepada orang lain tidak menafikan kesabaran.
Allah Ta’ala berkata tentang Ayyub:
إِنَّا وَجَدْنَهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ
“Kami dapati ia seorang yang sabar sebaik-baik hamba, dia adalah orang yang kembali” (Shaad: 44).

Padahal Nabi Ayyub pernah berkata:
أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّحِمِيْنَ
“Telah menimpaku mudharat dan Engkau adalah Dzat yang Paling Penyayang” (Al Anbiya: 83). Wallahu a’lam.
Adapun sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Al Qur’an adalah hujjahmu dan hujjah atasmu”. Maknanya sudah jelas. Engkau dapat mengambil manfaat jika membaca dan mengamalkannya, jika tidak maka akan menjadi hujjah atasmu.
Sabda beliau Shallallahu ’alaihi wasallam: “Semua manusia itu berusaha, ada yang menjual dirinya untuk membebaskannya atau mencelakakannya” maknanya: “Bahwa setiap manusia berusaha untuk dirinya, diantara mereka ada yang menjual dirinya kepada Allah dengan mentaati-Nya, dan membebaskan diri dari adzab sebagaimana firman Allah:
إِنَّ اللهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَلَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ
“Sesungguhnya Allah membeli dari kaum mukminin diri-diri mereka dan harta mereka dan bagi mereka sorga”  (At Taubah: 111). Dan ada orang yang menjual dirinya kepada syaithan dan hawa nafsu dengan mengikuti mereka hingga membinasakan dirinya.
Ya Allah berilah kami taufiq untuk mengamalkan ketaatan kepada-Mu dan jauhkanlah kami dari membinasakan diri karena menyelisihi-Mu.[45]




HADITS KEDUA PULUH EMPAT

عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ الْغِفَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ: يَاعِبَادِيْ إِنِّيْ حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِيْ وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوْا. يَاعِبَادِيْ كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُوْنِيْ أَهْدِكُمْ. يَاعِبَادِيْ كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ فَاسْتَطْعِمُوْنِيْ أَطْعِمْكُمْ. يَاعبادي كُلُّكُمْ عَارٍ إِلاَّ مَنْ كَسَوْتُهُ فَاسْتَكْسُوْنِيْ أَكْسُكُمْ. يَاعِبَادِيْ إِنَّكُمْ تُخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا فَاسْتَغْفِرُوْنِيْ أَغْفِرُلَكُمْ. يَاعِبَادِيْ إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوْا ضُرِّيْ فَتَضُرُّوْنِيْ وَلَنْ تَبْلُغُوْا نَفْعِيْ فَتَنْفَعُوْنِيْ. يَاعِبَادِيْ لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كاَنُوْا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاِحٍد مِنْكُمْ مَازَادَ ذَلِكَ فِيْ مُلْكِيْ شَيْئًا. يَاعِبَادِيْ لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كاَنُوْا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا نَقَصَ ذَلِكَ فِيْ مُلْكِيْ شَيْئًا. يَاعِبَادِيْ لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوْا فِيْ صَعِيْدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُوْنِيْ فَأَعْطَيْتُ كُلُّ إِنْسَانٍ مَسْأَلَتَهُ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِيْ إِلاَّ كَمَا يَنْقُصُ الْمِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرِ. يَاعِبَادِيْ إِنَّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيْهَا لَكُمْ، ثُمَّ أُوَفِّيْكُمْ إِيَّاهَا. فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمَدِ اللهَ. وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ. رواه مسلم.

Dari Abu Dzar Al Ghifari Radiyallahu’anhu Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika meriwayatkan dari Rabbnya, Allah berfirman: “Wahai hamba-Ku, Aku telah mengharamkan perbuatan dhalim atas diri-Ku kemudian aku jadikan perbuatan tersebut haram diantara kalian maka janganlah kalian saling berbuat dhalim. Wahai hamba-Ku kalian semua adalah sesat kecuali yang Aku beri hidayah, maka minta hidayahlah kepada-Ku. Wahai hamba-Ku kalian semua dalam keadaan lapar, kecuali orang yang Aku beri makan, maka minta makanlah kepada-Ku niscaya Aku akan memberimu makan. Wahai hamba-Ku kalian semua dalam keadaan telanjang kecuali orang yang Aku beri pakaian, maka mintalah pakaian kepada-Ku niscaya Aku akan memberinya. Wahai hamba-Ku sesungguhnya kalian berbuat salah siang dan malam dan Aku mengampuni semua dosa, minta ampunlah kepada-Ku niscaya Aku akan mengampunimu. Wahai hamba-Ku sungguh kalian tidak akan mendapat satu mudharat kemudian ditimpakkan kepada-Ku dan tidak bisa mendapatkan manfaat untuk diberikan kepada-Ku. Wahai hamba-Ku jika orang awal kalian dan akhirnya, manusia dan jinnya berada di hati seorang yang paling taqwa, hal tersebut tidak menambah kerajaan-Ku, wahai hamba-Ku jika orang awal kalian dan akhirnya, manusia dan jinnya berada di hati seorang yang paling fajir hal tersebut tidak mengurangi kerajaan-Ku sedikitpun. Wahai hamba-Ku jika orang awal kalian dan akhirnya, manusia dan jinnya berada di satu tempat meminta kepada-Ku akan Aku beri permintaan tiap orang tersebut dan hal tersebut tidak akan mengurangi apa yang ada pada-Ku kecuali seperti jarum yang dimasukkan ke lautan. Wahai hamba-Ku itulah amalan kalian aku hitungkan dan sempurnakan bagi kalian, barangsiapa yang mendapati kebaikan bertahmidlah kepada Allah dan barangsiapa yang mendapati selain itu janganlah mencerca kecuali kepada dirinya. (HR. Muslim).

Syarah:
Firman Allah: “Wahai hamba-Ku, Aku telah mengharamkan perbuatan dhalim atas diri-Ku kemudian aku jadikan perbuatan tersebut haram diantara kalian” sebagian ulama berkata: “Maknanya tidak pantas bagi-Ku dan tidak boleh atas-Ku, sebagaimana firman-Nya:
وَمَا يَنْبَغِيْ لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَّتَّخِذَ وَلَدًا
“Tidak sepantasnya Allah mempunyai anak” (Maryam: 92). Perbuatan dhalim mustahil ada pada Allah.
Sebagian ulama berkata tentang hadits ini: “Tidak boleh seorangpun minta kepada Allah dimenangkan dari musuhnya kecuali dengan haq berdasarkan firman-Nya:
إِنِّيْ حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِيْ
“Aku telah mengharamkan perbuatan dhalim atas diriku”. Allah tidak akan mendhalimi hamba-Nya, bagaimana kalau ada orang yang menyangka Allah akan mendhalimi hamba-Nya karena yang lain?. Demikian pula firman-Nya: “Maka janganlah kalian saling berbuat dhalim”.  Maknanya: “orang didhalimi minta diqisas dari orang dhalim dengan dhalim pula, pada kalimat ini dibuang salah satu huruf ta untuk meringankan bacaan asalnya (فلا تنظالم).
Firman Allah: Wahai hamba-Ku kalian semua adalah sesat kecuali yang Aku beri hidayah…. Wahai hamba-Ku kalian semua dalam keadaan lapar, kecuali orang yang Aku beri makan... . Wahai hamba-Ku kalian semua dalam keadaan telanjang kecuali orang yang Aku beri pakaian”. Peringatan atas kefaqiran dan kelemahan kita untuk mendapatkan sesuatu yang bermanfaat dan menolak sesuatu yang mudharat bagi diri kita, kecuali jika dibantu oleh Allah. Ini kembali kepada makna: “Laa haula walaa quwwata illa billah” hendaknya seorang hamba tahu ketika ia melihat bekas nikmat Allah pada dirinya bahwa itu semua adalah dari Allah. Maka dia harus mensyukurinya, setiap kali bertambah ia harus bertambah memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya. Firman Allah: “Minta hidayahlah kepada-Ku” Yakni mintalah hidayah kepada-Ku niscaya Aku akan memberimu hidayah. Kesimpulan masalah ini: “Hendaknya seorang hamba mengetahui bahwa dia minta hidayah kepada Allah kemudian diberi hidayah, kalau diberi hidayah sebelum meminta niscaya dia akan berkata: “Aku diberi hidayah dan aku sudah tahu”. Demikian pula makna: “Kalian seluruhnya lapar… “. Yakni Allah menciptakan makhluk seluruhnya butuh makan. Semua orang yang makan dulunya lapar hingga diberi makan oleh Allah dengan adanya rizki yang ia dapat, menyehatkan alat-alat yang dipersiapkan untuk cari nafkah. Maka jangan sampai ada orang kaya mengira bahwa rizqi yang ia peroleh dan dimasukkan ke mulutnya merupakan pemberian selain Allah Ta’ala. Dalam hadits ini juga ada adab bagi orang faqir, seakan Allah berfirman: “Janganlah kalian minta makan kepada selain-Ku” karena mereka yang engkau minta itu Akulah yang memberi mereka rizqi. Maka: “Minta makanlah kepada-Ku niscaya Aku akan memberimu makan”.
Demikian pula kalimat setelahnya. Firman Allah: “Wahai hamba-Ku sesungguhnya kalian berbuat salah siang dan malam”. Dalam hadits ini ada celaan yang semua mukmin malu karenanya. Demikian Allah menciptakan malam untuk berbuat taat padanya dan beribadah dengan ikhlas, karena waktu malam amalan mukmin sering jauh dari riya dan nifaq. Apakah tidak malu seorang mukmin tidak berinfaq di malam dan siang padahal Allah menjadikan manusia sebagai saksi. Seorang yang cerdas hendaknya taat kepada Allah di siang hari juga jangan menampakkan penyelisihan kepada manusia. Bagaimana disebut baik seorang mukmin yang berbuat salah ketika sendirian atau terang-terangan dihadapan manusia, padahal Allah berfirman: “Aku mengampuni dosa semuanya” menyebutkan kata (الذنوب / dosa) dengan huruf alif dan laam litta’rif dan dikuatkan dengan perkataan: “seluruhnya” sebabnya Allah menyebutkan hal tersebut sebelum memerintah untuk minta ampun adalah agar tidak ada seorangpun yang putus asa dari rahmat Allah.
Firman Allah: “Wahai hamba-Ku jika orang awal kalian dan akhirnya, manusia dan jinnya…” dalam hadits ini menunjukkan bahwa taqwanya orang yang bertaqwa adalah rahmat bagi mereka, dan tidak menambah kerajaan Allah sedikitpun. Adapun firman-Nya: “Jika orang awal kalian dan akhirnya, manusianya dan jinnya berada di satu tempat…”. Ini peringatan bagi makhluk untuk memperbesar permintaan dan luas dalam meminta kepada Allah. Seorang peminta jangan sedikit meminta, karena apa yang ada disisi Allah itu tidak akan berkurang, perbendaharaannya tidak akan habis, jangan sampai ada orang yang menyangka apa yang ada pada Allah berkurang ketika diberikan kepada hamba-Nya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits lain: “Tangan Allah selalu terbentang tidak berkurang apa yang ada padanya selalu memberi diwaktu malam dan siang, tahukah kalian apa yang Allah infakkan semenjak diciptakannya langit dan bumi, sesungguhnya tidak mengurangi apa yang ada ditangan kanan-Nya”. Rahasianya adalah kekuasaan-Nya terus dapat mencipta, tidak akan pernah lemah atau kurang, dan ciptaan Allah tidak akan bisa dihitung oleh manusia.
Firman-Nya: “Kecuali seperti jarum yang dimasukkan ke lautan” ini adalah memberikan pendekatan pemahaman dengan perkara yang bisa kita lihat.
Maknanya: “Hal tersebut tidak akan mengurangi yang ada pada-Nya sedikitpun. (المخيط) – dengan kasrah huruf mim sukun huruf kha dan fathah huruf ya – artinya jarum. Firman-Nya: “Itulah amalan kalian aku hitungkan dan disempurnakan bagi kalian, barangsiapa yang mendapati kebaikan bertahmidlah kepada Allah”. Jangan menyandarkan ketaatan dan ibadahnya kepada dirinya saja tetapi sandarkan kepada taufiq dan bertahmidlah kepada Allah karenanya. Firman-Nya: “Dan barangsiapa yang mendapati selain itu” tidak mengatakan barangsiapa mendapati kejelekan, yakni: Barangsiapa mendapati sesuatu yang tidak afdhal janganlah mencerca kecuali dirinya. Dikuatkan dengan huruf nun sebagai peringatan jangan sampai terbetik di hati orang tersebut celaan yang diberikan kepada selainnya, Wallahu a’lam.


HADITS KEDUA PULUH LIMA

عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ  رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوْا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَارَسُوْلَ اللهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُوْرِ بِاْلأُجُوْرِ، يُصَلُّوْنَ كَمَا نُصَلِّيْ، وَيَصُوْمُوْنَ كَمَا نَصُوْمُ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ بِفُضُوْلِ أَمْوَالِهِمْ. قَالَ: أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَدَّقُوْنَ؟ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَحْمِيَْةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةً، وَأَمْرٍ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةً، وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةً، وَفِيْ بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةً. قَالُوْا: يَارَسُوْلَ اللهِ أَيَأْتِيْ أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِيْ حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ. رواه مسلم.

Dari Abu Dzar Radiyallahu’anhu juga: Ada sekelompok shahabat Rasulullah berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Wahai Rasulullah telah mengungguli kami orang kaya dalam masalah pahala, mereka shalat sebagaimana kami shalat, berpuasa sebagaimana kami puasa, tapi mereka bershadaqah dengan kelebihan harta mereka”. Rasulullah bersabda: “Bukankah Allah telah menetapkan sesuatu bagi kalian untuk bershadaqah, sesungguhnya setiap tasbih adalah shadaqah, setiap takbir adalah shadaqah, setiap tahmid adalah shadaqah, setiap tahlil adalah shadaqah, amar ma’ruf adalah shadaqah, nahi munkar adalah shadaqah, dan berjima’dengan istri kalian juga shadaqah. Mereka berkata: “Ya Rasulullah, apakah jika salah seorang kami menunaikan syahwatnya termasuk shadaqah? Rasulullah menjawab: “Apa pendapatmu jika dia meletakkannya pada tempat yang haram bukankah itu dosa? Demikian pula jika ia melakukannya di tempat yang halal maka baginya pahala” (HR. Muslim).

Syarah:
(الدثور) – dengan dhamah huruf dal – jama’ kata (دثر) dengan fathah artinya yang banyak hartanya. Sabdanya: (أوليس قد جعل الله ماتصدقون) dalam riwayat dengan tasdid huruf shad dan dal, dalam satu bahasa boleh juga dengan tidak mentasdid huruf shad.
Dalam hadits ini menjelaskan keutamaan tasbih dan seluruh dzikir, amar ma’ruf nahi munkar, menghadirkan niat dalam perkara mubah. Perkara mubah menjadi ketaatan itu dengan niat yang benar. Juga menunjukkan bolehnya orang yang minta fatwa meminta dalil yang tidak ia ketahui, jika ia tahu yang ditanya tidak akan membencinya dan bertanya dengan akhlak yang baik, serta menunjukkan bahwa seorang alim menyebutkan dalil atas sebagian perkara yang masih samar.
Sabdanya: “Amar ma’ruf adalah shadaqah, nahi munkar adalah shadaqah” mengisyaratkan adanya hukum-hukum shadaqah atas seluruh macam amar ma’ruf dan nahi mungkar itu lebih kuat dibandingkan pada tasbih dan yang disebutkan setelahnya. Karena amar ma’ruf nahi mungkar adalah fardhu kifayah, kadang jadi wajib atas orang tertentu. Berbeda dengan dzikir yang merupakan amalan sunnah. Pahala melaksanakan perkara wajib lebih banyak dibandingkan pahala amalan sunnah, sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah:
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْئٍ أَحَبّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ.
“Tidaklah seorang hamba bertaqarrub kepadaku yang lebih Aku cintai selain bertaqarrub dengan perkara yang wajib”(HR. Bukhari).
Sebagian ulama berkata: “Pahala perkara wajib lebih tinggi dari perkara sunnah tujuh puluh derajat kemudian membawa satu hadits.
Adapun perkataan beliau: (فى بضع أحدكم صدقة) dengan dhammah huruf ba dipakai dengan makna jima’ dan farj. Kedua makna ini benar jika dimaknakan dalam hadits ini. Telah dijelaskan bahwa perkara mubah bisa menjadi ketaatan. Jima’ bisa menjadi ibadah jika seorang suami meniatkan untuk memenuhi hak istrinya dan bergaul bersamanya dengan baik, atau mencari anak shalih, atau menjaga kehormatan diri atau istrinya, atau tujuan baik lainnya.
Perkataaan mereka:“Ya Rasulullah, apakah jika salah seorang kami menunaikan syahwatnya termasuk shadaqah? Rasulullah menjawab: “Apa pendapatmu jika dia meletakkannya pada tempat yang haram bukankah itu dosa….”
Hadits ini menunjukkan bolehnya qiyas. Dan ini adalah madzhabnya ulama, tidak ada yang menyelisihinya kecuali ahlu dzahiri (Pengikut Daud Ad Dhahiri – red). Adapun riwayat dari kalangan tabi’in dan seperti mereka dalam rangka mencela qiyas bukanlah yang dimaksud qiyas yang dikenal oleh kalangan fuqaha mujtahid, tapi maksudnya mencela qiyas ‘aks (yang bertentangan dengan nash). Ahli ushul berselisih tentang boleh tidaknya beramal dengan qiyas, hadits ini dalil bagi orang yang beramal dengan qiyas.


HADITS KEDUA PULUH ENAM

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:كُلُّ سُلاَمَى مِنَ النَّاسِ عَلَيْهِ صَدَقَةٌ، كُلُّ يَوْمٍ تَطْلُعُ فِيْهِ الشَّمْسُ: تَعْدِلُ بَيْنَ اْلإِثْنَيْنِ صَدَقَةٌ، وَتُعِيْنُ الرَّجُلَ فِيْ دَابَّتِهِ فَتَحْمِلُهُ عَلَيْهَا أَوْ تَرْفَعُ لَهُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ، وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ، وَبِكُلِ خُطْوَةٍ تَمْشِيْهَا إِلَى الصَّلاَةِ صَدَقَةٌ، وَتُمِيْطُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ صَدَقَةٌ. رواه البخاري ومسلم.

Dari Abu Hurairah Radiyallahu’anhu: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seluruh sendi manusia setiap harinya bershadaqah. Setiap terbit matahari ia mendamaikan dua orang manusia adalah shadaqah, membantu orang lain dalam tunggangannya mengangkatkan keatasnya atau mengangkatkan barang miliknya adalah shadaqah, perkataan yang baik adalah shadaqah setiap langkah yang ia langkahkan menuju shalat adalah shadaqah, menyingkirkan gangguan dari jalan juga shadaqah” (HR. Bukhari Muslim).

Syarah:
Sabdanya: (سلامى) dengan dhammah sin dan tidak mentasdid laam, artinya: persendian dan anggota tubuh, telah shahih dalam riwayat Muslim bahwa manusia mempunyai 360 sendi.
Qadhi Ayad berkata: “Asalnya tulang telapak tangan, jari dan kaki, kemudian dipakai untuk menyatakan tulang seluruh tubuh dan sendi-sendi lainnya”.
Sebagian ulama berkata: “Yang dimaksud shadaqah targhib watarhib, bukan kewajiban dan keharusan. Perkataannya: “Mendamaikan dua orang manusia adalah shadaqah” yakni mendamaikan keduanya dengan adil.
Dalam hadits lain riwayat Muslim: “Setiap persendian dan anggota badan setiap harinya bershadaqah, setiap tasbih adalah shadaqah, setiap tahmid adalah shadaqah, setiap tahlil adalah shadaqah, setiap takbir adalah shadaqah, amar ma’ruf adalah shadaqah, nahi munkar adalah shadaqah. Mencukupi itu semua dua rakaat shalat dhuha” mencukupi shadaqah anggota tubuh ini shalat dua rakaat, karena shalat adalah amalan seluruh badan, jika shalat maka setiap anggota tubuh telah melaksanakan tugasnya, Wallahu a’lam.




HADITS KEDUA PULUH TUJUH

عَنِ النَّوَّاسِ بْنِ سَمْعَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اَلْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ، وَاْلإِثْمُ: مَا حَاكَ فِيْ صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ. رواه مسلم. وَعَنْ وَابِصَةَ بْنِ مَعْبَدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: جِئْتُ تَسْأَلُ عَنِ الْبِرِّ؟ قُلْتُ: نَعَمْ، فَقَالَ: إِسْتَفْتِ قَلْبَكَ، اَلْبِرُّ: مَااطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ، وَاْلإِثْمُ: مَاحَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ. حديث حسن رويناه في مسندي الإمام أحمد بن حنبل والدارمي بإسناد حسن.

Dari Nawas bin Sam’an Radiyallahu’anhu: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berbuat baik adalah akhlak yang baik, sedangkan dosa adalah apa yang ada didalam dirimu dan engkau takut orang lain mengetahuinya” (HR. Muslim).

Dari Wabishah bin Ma’bad Radiyallahu’anhu: “Aku datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Apakah engkau datang untuk bertanya tentang kebaikan?”, aku jawab: “Ya”. Beliau bersabda: “Mintalah fatwa kepada dirimu, kebajikan itu apa yang tentram jiwa dan hati kepadanya. Adapun dosa adalah yang ada dalam jiwa terasa bimbang walaupun manusia berfatwa” Hadits Hasan, kami riwayatkan dalam musnad dua Imam Ahmad dan Imam Ad Darimi dengan sanad yang hasan.

Syarah:
Sabdanya: “Berbuat baik adalah akhlak yang baik” yakni akhlak yang baik adalah kebajikan yang paling afdhal. Sebagaimana dalam hadits: “Haji adalah arafah”. Adapun kebajikan adalah yang membuat baik pelakunya dan menyatukannya dengan abrar yakni mereka yang taat kepada Allah ‘azza wajalla.
Yang dimaksud akhlak baik adalah: adil dalam bermuamalah, lemah lembut dalam berusaha, adil dalam berhukum, berkorban untuk berbuat baik, dan sifat-sifat mukmin lainnya yang telah Allah sifati dalam ayat-Nya yakni dalam Surat Al Anfaal:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَنًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ. الَّذِيْنَ يُقِيْمُوْنَ الصَّلَوةَ وَمِمَّا رَزَقْنَهُمْ يُنْفِقُوْنَ.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.  (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka” (Al Anfaal: 2-3).

Allah berfirman:
التَّئِبُوْنَ الْعَبِدُوْنَ الْحَمِدُوْنَ ... وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِيْنَ
“Orang-orang yang bertaubat, beribadah dan suka bertahmid”, sampai firman-Nya “Berilah kabar gembira kepada kaum mukmin” (At Taubah: 112).
Allah berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ ... أُولَئِكَ هُمُ الْوَرِثُوْنَ
“Telah sukses orang yang beriman” sampai firman-Nya: Merekalah ahli waris” (Al Mu’minun: 1-10).
Firman-Nya:
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ عَلَى اْلأَرْضِ هَوْنًا
“Hamba-hamba Allah adalah yang berjalan diatas bumi dengan tenang” (Al Furqan: 63). Sampai akhir surat.
Barangsiapa yang sulit mengerti keadaannya hendaknya ia timbang-timbang dirinya dengan ayat-ayat diatas. Jika semua sudah ada pada dirinya maka itu pertanda baik akhlaknya. Dan jika tidak ada semuanya menunjukkan jelek akhlaknya. Jika ada sebagian dan tidak ada sebagian menunjukkan bahwa dirinya mempunyai sebagian akhlak yang baik, hendaknya ia sibuk menjaga yang sudah baik dan mendapatkan yang sebagiannya lagi.
Jangan sampai ada orang yang menyangka baik budi itu artinya lemah lembut dan meninggalkan perbuatan kotor dan maksiat saja. Bahwa barangsiapa yang telah berbuat demikian telah baik akhlaknya. Bahkan yang dimaksud baik budi adalah sifat mukmin yang sudah disebutkan dalam ayat-ayat diatas, dan berakhlak dengan akhlak mereka. Diantara baik budi adalah menanggung gangguan orang lain.
Dalam hadits Bukhari Muslim:
أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَذَبَ بُرْدَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى أثرت حَاشِيَتَهُ فِي عاتق النبي صلى الله عليه وسلم وَقَالَ: يَامُحَمَّد، مُرْلِيْ مِنْ مَالِ اللهَِ الَّذِيْ عِنْدَكَ، فَالْتَفَتَ إِلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ ضَحِِكَ وَأَمَرَ لَهُ بِعَطَاءٍ.
“Seorang Arab gunung datang kepada Rasulullah dan menarik burdah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sampai ujungnya berada di pundak Rasulullah, orang tersebut berkata: “Wahai Muhammad, suruhlah agar aku diberi harta Allah yang ada padamu, Rasulullah menoleh padanya kemudian tertawa dan menyuruh untuk memberi dia harta.
Perkataannya: “Sedangkan dosa adalah apa yang ada di dalam dirimu dan engkau takut orang lain mengetahuimnya”. Yakni dosa itu yang menyebabkan kegundahan dalam hati, ini adalah pokok untuk mengetahui perkara dosa dari yang baik, dosa adalah yang terus beredar dalam dada dan pelakunya tidak senang diketahui manusia, yang dimaksud manusia dalam hadits ini – wallahu a’lam – orang cerdik dan terpandang, bukan manusia yang bodoh, inilah dosa yang harus ia tinggalkan, wallahu a’lam.




HADITS KEDUA PULUH DELAPAN

عَنْ أَبِيْ نُجَيْحِ الْعِرْبَاضِيِّ بْنِ سَارِيَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: وَعَظَنَارَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظَةَ مُوَدِّعٍ وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ وَذَرفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ، فَقُلْنَا: يَارَسُوْلَ الله، كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا، قَالَ: أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اِخْتِلاَفاً كَثِيْراً، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ خُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ، عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحَدَّثَاِت اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ". رواه أبو داود والترمذي وقال: حديث حسن صحيح.

Dari Abu Najih ‘Irbad bin Sariyah Radiyallahu’anhu: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberi nasehat kepada kami yang menggetarkan hati dan mengeluarkan air mata, kami katakana: “Wahai Rasulullah ini seperti nasehat orang yang akan berpisah, berilah kami wasiat wahai Rasulullah, beliau bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, dengar dan taatlah walau yang memerintah kalian adalah hamba habasyi, karena barangsiapa yang hidup diantara kalian setelahku akan melihat perpecahan yang banyak, berpeganglah dengan sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang diberi petunjuk, gigitlah dengan gigi geraham kalian, dan hati-hati kalian dari perkara yang diada-adakan karena semua bid’ah adalah sesat” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud, Tirmidzi berkata: Hadits Hasan Shahih).

Syarah:
Dalam sebagian riwayat: “Ini adalah wasiat perpisahan apa yang engkau perintahkan untuk kami lakukan? Beliau menjawab: “Aku tinggalkan kalian diatas jalan yang putih, malamnya seperti siangnya, tidak ada yang menyeleweng darinya kecuali orang yang binasa”. Perkataannya: “Nasehat yang tinggi”  yakni sampai dengan jelas dan mempengaruhi hati kami, tergetar hati karenanya yakni takut dan berlinang air mata. Seperti nasehat tersebut menduduki temopat sebagai ancaman dan peringatan.
Sabdanya: “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, dengar dan taatlah” yakni kepada pemerintah (walau yang memerintah kalian adalah hamba habasyi) dalam sebagian riwayat (hamba habasyi).
Sebagian ulama berkata: “Seorang hamba tidak bisa menjadi pemimpin, tapi Rasulullah memberikan contoh permasalahan walaupun hal tersebut tak akan terjadi. Seperti sabdanya: “Barangsiapa yang membangun mesjid karena Allah walaupun sebesar kandang burung, Allah akan membangunkan untuknya rumah di sorga”. Kandang burung tidak bisa dijadikan mesjid, tapi Rasulullah membuat permisalan demikian.
Mungkin juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan rusaknya masalah pemerintahan ini dan diberikan bukan kepada ahlinya, hingga diberikan kepemimpinan kepada budak, jika terjadi demikian dengarlah dan taatlah untuk mengamalkan mudharat yang paling ringan yakni sabar mengikuti orang yang sebetulnya tidak boleh menjadi pemimpin, agar tidak menimbulkan fitnah yang besar.
Sabdanya: “Karena barangsiapa yang hidup diantara kalian setelahku akan melihat perpecahan yang banyak” ini adalah salah satu mukjizat Rasulullah Shallallahu  ‘alaihi wasallam. Beliau mengabarkan kepada shahabatnya perselisihan yang akan terjadi dan adanya kemungkaran yang banyak. Beliau tahu secara rinci, tapi tidak diterangkan kepada semua orang, beliau hanya mengingatkan secara umum, dan beliau menerangkan masalah ini secara rinci kepada sebagian shahabatnya seperti Hudzaifah dan Abu Hurairah. Ini menunjukkan besarnya kedudukan orang tersebut.
Sabdanya: “Atas kalian untuk berpegang dengan sunnahku” sunnah adalah jalan yang lurus yang ada diatas alur. Dan ini adalah jalan yang jelas. “Sunnah khulafaur rasyidin” yakni mereka yang mendapatkan petunjuk, mereka adalah empat orang yang berdasarkan ijma’ yakni: Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Rasulullah menyuruh agar berada diatas sunnah khulafaur rasyidin karena dua hal: Pertama, Taqlid bagi orang yang tidak mampu meneliti. Kedua. Menguatkan pendapat mereka ketika ada ikhtilaf dikalangan shahabat.
Sabdanya: “Hati-hati kalian dari perkara yang diada-adakan”  Ketahuilah perkara yang diada-adakan itu ada dua: yang baru dan tidak mempunyai dasar dalam syariat, ini batil dan tercela. Dan yang kedua baru tapi ada dasarnya dari syariat ini tidak tercela. Karena lafadz “muhdats” dan lafadz “bid’ah” tidak dicela hanya semata namanya akan tetap dicela karena menyelisihi sunnah dan menyeru kepada kesesatan. Tidak dicela secara mutlak. Allah berfirman:
مَا يَأْتِيْهِمْ مِّنْ ذِكْرٍ مِّنْ رَّبِّهِمْ مُّحْدَثٍ
“Tidak datang kepada mereka suatu ayat al Qur’an pun yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka” (Al Anbiya: 2). Umar Radiyallahu ‘anhu berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, yakni tarawih. Adapun (النواجذ) gigi seri yang paling akhir, Wallahu a’lam.


HADITS KEDUA PULUH SEMBILAN

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قُلْتُ: يَارَسُوْلَ اللهِ، أَخْبِرْنِيْ بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِيْ الْجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِيْ عَنِ النَّارِ، قَالَ: لَقَدْ سَأَلْتَ  عَنْ عَظِيْمٍ، وَإِنَّهُ لَيَسِيْرٌ عَلَى مَنْ يَسَّرَهُ اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِ: تَعْبُدُ اللهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَتَصُوْمُ رَمَضَانَ وَتَحُجُّ الْبَيْتَ. ثم قال: أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ؟ اَلصَّوْمُ جُنَّةٌ، وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ، وَصَلاَةُ الرَّجُلِ فِيْ جَوْفِ اللَّيْلِ. ثُمَّ تَلاَ- تَتَجَافَى جُنُوْبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ - حَتَّى بَلَغَ - يَعْمَلُوْنَ - ثُمَّ قَالَ: أَلاَ أُخْبِرُكَ بِرَأْسِ اْلأَمْرِ وَعَمُوْدِهِ وَذِرْوَةِ سَنَامِهِ؟ قُلْتُ: بَلَى يَارَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: رَأْسُ اْلأَمْرِ اْلإِسْلاَمُ، وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةَ، وَذَرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ، ثُمَّ قَالَ: أَلاَ أُخْبِرُكَ بِمَلاَكِ ذَلِكَ كُلِّهِ؟ قُلْتُ: بَلَى يَارَسُوْلَ اللهِ، فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ وَقَالَ: كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا. قُلْتُ: يَانَبِيَّ اللهِ، وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُوْنَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ؟ فَقَالَ: ثَكِلَتْكَ أَمُّكَ، وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسُ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ – أَوْ: عَلَى مَنَاخِرِهِمْ – إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ. رواه الترمذي وقال: حسن صحيح.

Dari Muadz bin Jabal Radiyallahu’anhu telah berkata: “Aku telah berkata: “Ya Rasulullah beritahukanlah padaku suatu amalan yang dapat memasukkanku ke surga dan menjauhkanku dari neraka”. Nabi menjawab: “Engkau telah bertanya tentang perkara yang besar, dan sesungguhnya itu adalah ringan bagi orang yang dimudahkan oleh Allah; Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatupun, mengerjakan shalat, membayar zakat, berpuasa Ramadhan, dan haji ke Baitullah, kemudian beliau berkata: “Maukah ketunjukkan pintu-pintu kebaikan?” puasa adalah perisai, shadaqah dapat menghapuskan kesalahan sebagaimana air dapat memadamkan api, dan seseorang yang shalat di tengah malam, kemudian membaca ayat: “(Lambung-lambung mereka jauh dari tempat tidur…hingga ayat… mereka mengamalkan)” Rasulullah kemudian bersabda: “Maukah aku kabarkan kepalanya urusan, tiang dan puncaknya” Aku katakan: “Ya, wahai Rasulullah”, beliau bersabda: “Kepalanya satu urusan adalah Islam (syahadatain), tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad fi sabilillah”, kemudian berkata lagi: “Maukah aku kabarkan inti dari semua itu? Aku katakan: “Ya, wahai Rasulullah”, beliau memegang lisannya dan berkata: “Tahanlah lisanmu”, aku katakan: “Wahai Rasulullah apakah kita akan diadzab karena ucapan yang kita ucapkan, Rasulullah menjawab: “Tsakilatka umuk, bukankah manusia tersungkur ke neraka diatas hidung mereka tidak lain karena hasil dari ucapan mereka, (HR. Tirmidzi beliau berkata: Hadits Hasan Shahih).

Syarah:
Sabda Rasulullah: “Engkau telah bertanya tentang perkara yang besar, dan sesungguhnya itu adalah ringan bagi orang yang dimudahkan oleh Allah” yakni mudah bagi penerima taufiq, membimbingnya untuk beribadah kepada-Nya dengan mengikhlaskan agama: beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan Allah dengan makhluk-Nya. Kemudian: “menegakkan shalat”, yakni mengerjakannya walau bagaimanapun keadaannya. Kemudian beliau menyebutkan rukun-rukun Islam lainnya zakat, puasa dan haji. Kemudian berkata: “Maukah kutunjukkan pintu-pintu kebaikan?” berpuasa adalah perisai”. Maksud hadits ini bukan puasa Ramadhan, karena puasa Ramadhan telah dibahas dalam hadits lain, maksud hadits ini adalah anjuran memperbanyak puasa sunnah. (الجنة) yakni puasa adalah penutup dan pelindungmu dari neraka. Kemudian berkata: “shadaqah dapat menghapuskan kesalahan” maksudnya shadaqah yang sunnah bukan zakat.
Sabdanya: “Dan shalatnya seseorang di tengah malam”, kemudian membaca ayat: “Lambung lambung mereka jauh dari tempat tidur berdo’a kepada Rabb mereka dengan rasa takut dan harap dan menginfakkan harta anak yatim, satu jiwa tidak tahu apa yang dipersiapkan bagi mereka dari qurrata a’yun sebagai balasan apa yang mereka amalkan”. Maknanya: “Barangsiapa yang berdiri shalat malam meninggalkan tidur dan kelezatannya lebih mengutamakan apa yang ia harapkan dari Rabbnya maka balasannya apa yang ada didalam ayat: “Satu jiwa tidak tahu apa yang dipersiapkan bagi mereka dari qurrata a’yun sebagai balasan atas apa yang telah mereka amalkan”. Terdapat dalam sebagian khabar bahwasanya Allah berbangga dengan hambanya yang shalat lail, Allah berfirman: “Lihatlah hamba-hamba-Ku yang shalat di gelapnya malam, sehingga tidak ada yang melihatnya selain Aku. Aku persaksikan pada kalian bahwasanya Aku telah menghalalkan negeri kemuliaan-Ku bagi mereka.
Kemudian Rasulullah bersabda: “Maukah kukabarkan tentang kepalanya urusan…”. Rasulullah mengumpamakan urusan seperti unta jantan. Mengumpamakan Islam seperti kepalanya. Hewan tidak bisa hidup tanpa kepala.
Kemudian sabdanya: “Tiangnya shalat” tiang sesuatu adalah yang menegakkannya. Yang menurut kebiasaan apabila tidak ada tiang, sesuatu tersebut tidak bisa tegak.
Sabdanya: “Puncaknya adalah jihad” Jirwah sesuatu adalah bagian yang paling tinggi darinya. Jirwah punuk unta berarti puncak dari punuknya. Jihad adalah amalan yang tidak bisa ditandingi oleh amalan apapun. Sebagaimana diriwayatkan bahwa seseorang pernah datang kepada Rasulullah dan berkata: “Tunjukkanlah amalan yang sebanding dengan jihad!, Rasulullah menjawab: “Aku tidak mendapatkannya”. Kemudian beliau berkata: “Apakah engkau mampu jika seorang mujahid keluar berjihad kemudian engkau masuk ke mesjid untuk shalat tanpa henti dan berpuasa tanpa berhenti? Rasulullah melanjutkan: “Siapa yang mampu melakukannya”.
Sabdanya: “Maukah aku kabarkan inti semua itu?” Aku katakan: “Ya, wahai Rasulullah”. Rasulullah kemudian memegang lisannya dan berkata: Tahanlah olehmu ini…!”.  Rasulullah menganjurkan untuk berjihad melawan orang kafir kemudian mengajari pula jihad yang besar yaitu jihad melawan hawa nafsu serta menahannya dari ucapan yang mengganggu dan menjelekkannya. Karena beliau terangkan bahwa banyak orang yang masuk neraka dengan sebab lisannya, beliau berkata: “Tsakilatka ammuk, bukankah manusia tersungkur ke neraka dengan wajah hidung-hidung mereka tidak lain karena sebab lisan mereka”. Telah disebutkan dalam hadits yang shahih:
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya berkata yang baik atau diam”.
Dalam hadits lain:
“Barangsiapa yang bisa menjamin bagiku untuk menjaga apa yang ada diantara dua jenggotnya (yakni lisannya), dan apa yang ada diantara dua kakinya (yakni farjnya) maka aku jamin dia dengan sorga.




HADITS KETIGA PULUH

عَنْ أَبِيْ ثَعْلَبَةَ الْخُشْنِيِّ جُرْثُوْمِ بْنِ نَاشِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ اللهَ تَعَالَى فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوْهَا، وَحَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ تَعْتَدُوْهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوْهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ – رَحْمَةً لَّكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ – فَلاَ تَبْحَثُوْا عَنْهَا. حديث حسن رواه الدارقطني وغيره.

Dari Abu Tsa’labah Al Khusyani Jursyum bin Nashir Radiyallahu’anhu: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah menetapkan kewajiban maka janganlah disia-siakan, menetapkan had maka janganlah melampauinya, mengharamkan beberapa perkara maka jangan melanggarnya, mendiamkan beberapa masalah – sebagai rahmat bagi kalian bukan karena lupa – maka jangan membahasnya” (HR. Daruqutni dan lainnya).

Syarah:
Sabdanya (فرض) yakni mewajibkan dan mengharuskan. Sabdanya (فلا تنتهكوها) yakni kalian jangan melakukannya. Adapun larangan membahas sesuatu yang didiamkan oleh syariat cocok dengan perkataannya dalam hadits lain:
“Biarkanlah, sesungguhnya sebab kebinasaan umat sebelum kalian adalah karena banyak bertanya dan menyelisihi nabi-nabi mereka”. Sebagian ulama berkata: “Duluy Bani Israil bertanya dan dijawab kemudian diberikan apa yang mereka minta hingga menjadi fitnah bagi mereka, sehingga menggiring kepada kebinasaan.
Para shahabat Radiyallahu’anhum telah paham masalah tersebut sehingga mereka tidak bertanya kecuali dalam hal yang mesti ditanyakan. Mereka senang jika ada orang gunung yang datang  untuk bertanya kepada Rasulullah hingga mereka bisa mendengar dan memahaminya.
Hingga sebagian kaum berkata: Tidak boleh bertanya kepada ulma hal-hal yang belum terjadi. Salafus shalih juga berkata seperti itu. mereka berkata: “Biarkanlah hingga terjadi dulu”. Hanya saja para ulama khawatir hilangnya ilmu hingga mereka membuat ushul dan menguraikannya, memperluas dalam pembahasan dan ditulis (untuk diketahui oleh orang setelah mereka-pent).
Para ulama berselisih tentang satu perkara sebelum syariat menghukuminy, apakah dilarang, mubah atau tawaquf? Ada tiga madzhab, ini disebutkan dalam kitab Ushul.


HADITS KETIGA PULUH SATU

عَنْ أَبِيْ الْعَبَّاسِ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَارَسُوْلَ اللهِ، دُلَّنِيْ عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِي اللهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ، فَقَالَ: إِزْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللهُ وَازْهَدْ فِيْمَاعِنْدَ النَّاس يُحِبُّكَ النَّاسُ. حديث حسن رواه إبن هاجه وغيره بأسانيد حسنة.
Dari Abul Abbas Shl bin Sa’ad As Sai’di Radiyallahu Ta’ala’anhu: Seseorang datang kepada Rasulullah berkata: “Tunjukkanlah kepadaku satu amalan jika aku mengamalkannya aku akan dicintai Allah dan manusia, Rasulullah menjawab: “Zuhudlah di dunia niscaya engkau dicintai Allah, dan zuhudlah pada apa yang dimiliki manusia, niscaya akan dicintai manusia” (Hadits Hasan, Riwayat Ibnu Majah dan lainnya dengan sanad-sanad yang hasan).

Syarah:
Ketahuilah Rasulullah talah menganjutrkan untuk sederhana dan zuhud di dunia, beliau berkata:
“Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang numpang lewat”
Dan bersabda:
“Cinta dunia adalah pokok semua kesalahan”
Dalam hadits lain:
“Orang yang zuhud di dunia hatinya akan tenang. Orang yang mengharapkan dunia akan susah di dunia dan di akhirat”.

Ketahuilah manusia di dunia ini adalah tamu dan apa yang ada di tangannya hanyalah pinjaman, dan barang pinjaman itu akan dikembalikan.
Dunia adalah harta yang dimakan oleh orang baik dan orang fajir, dibenci oleh wali Allah dan dicintai oleh ahli dunia. Maka barangsiapa yang bergabung dengan ahli dunia dalam perkara yang mereka cintai niscaya mereka akan membencinya.
Rasulullah telah membimbing untuk meninggalkan dunia dan zuhud padanya, serta menjanjikan kecintaan Allah dan ridha-Nya bagi orang yang melakukannya, sesungguhnya kecintaaan Allah kepada makhluk-Nya adalah keridhaan-Nya. Rasulullah juga membimbing manusia untuk zuhud dalam perkara yang dimiliki manusia bila menginginkan kecintaan manusia dan juga meninggalkan sifat cinta dunia. Karena tidak ada yang di tangan manusia yang dijadikan sebab saling benci dan berlomba selain dunia.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمُّهُ جَمَعَ اللهُ شمْلَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ، وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمُّهُ شَتَّتَ اللهُ شمْلَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قَدَّرَ لَهُ.
“Barangsiapa yang akhirat sebagai tujuannya maka Allah akan mengumpulkan seluruh isi dunia baginya menjadikan dirinya merasa cukup, dunia datang kepadanya padahal dia benci. Dan barangsiapa dunia sebagai tujuannya Allah akan mencerai beraikan seluruh isi dunia darinya, dan menjadikan kafaqiran dihadapan matanya tidak datang dunia kepadanya kecuali yang ditaqdirkan oleh Allah.

Orang bahagia lebih memilih sesuatu yang kekal dan terus menerus menikmatinya daripada memilih bencana yang tidak akan berhenti adzabnya.


HADITS KETIGA PULUH DUA

عَنْ أَبِيْ سَعَيْدٍ سَعْدِ بْنِ مَالِكٍ بْنِ سِنَانٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَضَرَرَ وَلاَضِرَارَ. حديث حسن رواه إبن ماجه والدارقطني وغيرهما مسندا، ورواه مالك في المؤطا مرسلا عن عمرو بن يحيى عن أبيه عن النبي صلى الله عليه وسلم فأسقط أبا سعيد وله طرق يقوي بعضها بعضا.

Dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinan Al Khudri Radiyallahu Ta’ala’anhum: Rasulullah bersabda: “Jangan berbuat mudharat dan jangan membalas mudharat orang lain” Hadits Hasan, (HR. Ibnu Majah, Ad Daruqutni, dan selain keduanya dengan musnad, diriwayatkan Malik dalam Muwatha’ dengan mursal dari ‘Amr bin Yahya dari bapaknya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau tidak menyebut Abu Sa’id, dan hadits ini banyak jalannya yang saling menguatkan).

Syarah:
Ketahuilah orang yang mencelakakan saudaranya berarti telah mendhaliminya, padahal perbuatan dhalim itu haram berdasarkan hadits Abu Dzar:
“Wahai hamba-Ku, Aku telah mengharamkan perbuatan dhalim atas diri-Ku kemudian aku jadikan perbuatan tersebut haram diantara kalian, maka janganlah kalian saling berbuat dhalim”.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
إِنَّ دِمَائَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ.
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian haram atas kalian”.

Adapun sabdanya: “Jangan berbuat mudharat dan jangan membalas mudharat orang lain” Sebagian ulama berkata: “Ini adalah dua kata yang satu makna, keduanya diucapkan sebagai ta’kid (penegas)”.
Ibnu Hubaib berkata: (الضرر) menurut ahli bahasa Arab adalah isim (kata benda/sifat). Sedangkan (الضرار) adalah fi’il (kata kerja). Maka makna (لاضرر) adalah jangan seseorang memberikan satu mudharat kepada temannya yang tidak pernah dilakukan oleh orang tersebut kepada dirinya. Dan (لاضرار) adalah jangan balas perbuatan jelek orang lain dengan perbuatan mudharat lain.
Al Muhasini berkata: (الضرر) adalah sesuatu yang engkau mendapat manfaat darinya tapi temanmu dapat mudharat. Ini penafsiran yang baik.
Sebagian ulam berkata juga: (الضرر) dan (الضرار) seperti kata (القتل) dan (القتال). Maka (الضرر) ialah engkau menyakiti orang yang tidak menyakitimu. Dan (الضرار) adalah membalas perlakuan jelek orang lain tidak dengan yang semisalnya atau tidak dengan hak, ini seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
أَدَّ اْلأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
“Tunaikanlah amanah kepada orang yang memberimu amanah dan jangan mengkhianati orang yang pernah mengkhianatimu”.

Makna hadits ini menurut sebagian ulama: “Jangan kau khianati orang yang mengkhianatimu setelah engkau membela diri ketika ia mengkhianatimu. Sepertinya larangan berlaku bagi yang lebih dahulu berkhianat, adapun orang yang membalas seseorang yang salah dan mengambil hak darinya tidak teranggap orang yang khianat. Yang namanya orang khianat adalah yang mengambil sesuatu bukan haknya atau lebih dari haknya.
Para fuqaha ikhtilaf (berselisih) tentang orang yang menentang hak orang lain yang ada padanya, kemudian orang tersebut memberi amanah hartanya kepada orang yang pernah diingkari haknya oleh dia, atau yang seperti itu, sebagian mereka berkata: Dia tidak boleh mengambil barang yang diamanahkan berdasarkan hadits:
أَدَّ اْلأَمَانَةَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
“Tunaikan amanah dan  jangan berkhianat”.

Sebagian mereka berkata: “Dia boleh membela haknya dan mengambil hak yang ada ditangannya”. Berdalil dengan hadits Aisyah tentang hubungan Hindun dan Abu Sufyan. Dalam masalah ini fuqaha mempunyai banyak pendapat dan alas an-alasan yang tempat pembahasannya bukan dalam kitab ini.
Yang benar menurut penelitian: “Tidak boleh seorangpun merugikan temannya, baik temannya pernah merugikan dia atau belum. Tapi dia punya hak untuk membela dan membalas jika mampu dengan sesuatu yang dibolehkan alhaq. Hal tersebut bukanlah dhalim bukan pula dharar jika dalam bentuk yang dibolehkan sunnah.
Syaikh Abu “Amr bin Shalah berkata: “Daruqutni memusnadkan hadits ini, dari berbagai jalan sehingga kuat dan menghasankan hadits ini, telah dinukil hal ini oleh jumhur ahlul ilmi dan mereka berhujjah dengannya. Abu Dawud berkata: Fiqih bersumber dalam lima hadits dan beliau menyebutkan salah satu dari hadits ini.
Syaikh berkata: Abu Dawud menganggapnya termasuk dari lima hadits, perkataannya: “Mengesankan tidak dhaif disisinya, perkataannya tentang hadits ini:  seperti misal (ضرار) dan (قتال) itulah menurut lisan banak fuqaha dan muhadditsin (لاضرر ولاضرار) dengan huruf hamzah yang dikasrah sebelum dha, tapi itu benar.


HADITS KETIGA PULUH TIGA

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لاَدَّعَى رِجَالٌ أَمْوَالَ قَوْمٍ وَدِمَاءَهُمْ، وَلَكِنَّ الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِيْ وَالْيَمِيْنُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ). حديث حسن رواه البيهقي وغيره هكذا وبعضه في الصحيحين.

Dari Ibnu Abbas Radiyallahu’anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seandainya manusia diberi (dipenuhi) setiap tuntutannya niscaya akan ada orang-orang yang menuntut darah dan harta orang lain, akan tetapi bukti (saksi) harus dibawa oleh orang yang menuntut dan sumpah (bisa dilakukan) oleh orang yang mengingkari tuntutannya”. (Hadits Hasan, Diriwayatkan oleh Baihaqi dan lainnya demikian pula, dan sebagiannya dalam shahihain)

Syarah:
Dalam shahihain dari hadits ini: Ibnu Abi Malikah telah berkata: “Ibnu Abbas Radiyallahu’anhuma telah menetapkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menentukan sumpah bagi orang yang menuntut, dan dalam satu riwayat: “Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:
لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لاَدَّعَى رِجَالٌ دِمَاءَ رِجَالٍ وَأَمْوَالِهِمْ وَلَكِنَّ الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِيْ عَلَيْهِ.
“Seandainya manusia diberikan tiap tuntutannya pasti akan ada orang-orang yang menuntut darah dan harta orang lain, akan tetapi harus ada sumpah bagi orang yang dituntut”.

Pengarang Al Arba’in telah berkata: hadits ini telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam shahih keduanyasecara marfu’ dari Ibnu Abbas.
Demikian pula pengarang kitab As Sunan dan selain mereka telah meriwayatkannya.
Al Ushaili berkata: “Tidak shahih rafa’nya, ini hanya perkataan Ibnu Abbas.
Pengarang berkata: “Jika telah shahih rafa’nya dengan persaksian dua imam, maka tidak tercacati oleh pendapat yang menyatakan mauqufnya, tidak menjadikan hadits ini idtirab atau bertentangan.
Hadits ini adalah salah satu pokok hukum, rujukan yang paling besar ketika terjadi pertentangan dan perselisihan, mengharuskan tidak ada hukum bagi seseorang dengan pengakuannya semata.
Sabdanya: “Akan ada orag-orang yang menuntut darah dan harta orang lain” Sebagian orang berdalil dengan hadits atas batilnya perkataan Imam Malik dalam masalah mendengar perkataan orang yang terbunuh: “Dia membunuhku” atau perkataan terbunuh “Darahku pada si fulan”.
Karena jika (Imam Malik) tidak bisa menerima (secara syar’i) perkataan orang sakit: “Bahwa dia punya piutang satu dinar atau satu dirham”, maka tidak menerima ucapan orang terbunuh: “Darahku pada si fulan” lebih utama lagi.
Tidak ada hujjah bagi mereka dalam membantah pendapat Imam Malik, karena beliau tidak menyandarkan qishas dan diyat kepada perkataan penuntut, akan tetapi kepada bab Qasamah, beliau menjadikan perkataan yang terbunuh (دمي عند فلان)”Darahku pada si fulan” sebagai penguat bukti penuntut, hingga yang dituntut haus melepaskan diri dari tuntutan dengan sumpah, seperti halnya seluruh macam lauts.
Sabdanya: (ولكن اليمين على المدعي عليه) “Sumpah (bisa dilakukan) oleh orang yang mengingkari tuntutannya” para ulama telah ijma’ untuk mengambil sumpah orang yang dituntut dalam masalah harta, dan berselisih dalam masalah lain.
Sebagian ulama berpendapat wajibnya minta sumpah kepada orang yang dituntut dalam masalah hak, thalaq, nikah atau pembebasan budak, mereka mengambil keumuman hadits ini. Jika tidak mau bersumpah maka tuntutanya terpenuhi.
Abu Hanifah Rahimahullah berkata:”Bersumpah dalam masalah thalaq, nikah dan pembebasan budak, jika tidak mau tuntutannya berarti benar. Beliau berkata: “Dalam masalah hukum had tidak diambil sumpah”.


HADITS KETIGA PULUH EMPAT

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ. رواه مسلم.

Dari Abi Sa’id Al Khudry Radiyallahu’anhu ia berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang diantara kalian melihat satu kemungkaran hendaklah merubah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya Iman” (HR. Muslim).


Syarah:
Imam Muslim meriwayatkan hadits ini dari jalan Thariq bin Syahab, ia berkata: “Orang yang pertama khutbah Ied sebelum shalat adalah Marwan, kemudian berdirilah seseorang dan berkata: “Shalat sebelum khutbah! Lalu ia berkata: “Sesungguhnya telah ditinggalkan apa yang ada disini. Abu Sa’id berkata: “Sesungguhnya hal ini telah ditetapkan: aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Barangsiapa diantara kalian melihat satu kemungkaran hendaklah merubahnya….  hingga akhir hadits” dalam hadits ini terdapat dalil bahwa sebelum Marwan tidak ada yang melakukan hal itu.
Jika dikatakan mengapa Abu Sa’id terlambat mengingkari kemungkaran tersebut sehingga didahului seorang laki-laki? Jawabnya: “Hal itu dimungkinkan Abu Sa’id belum hadir ketika Marwan mendahulukan khutbahnya, sehingga seorang laki-laki mengingkarinya setelah itu barulah Abu Sa’id datang dalam keadaan keduanya dalam perdebatan. Dimungkinkan juga ia telah hadir namun mengkhawatirkan dirinya jika mengingkari sehingga mengakibatkan fitnah dengan sebab pengingkarannya, sehingga jatuhlah kewajiban pengingkaran tersebut darinya. Kemungkinan juga Abu Sa’id ingin mengingkarinya tetapi orang tadi mencegahnya sehingga Abu Sa’id membantu orang tersebut. Allahu A’lam.
Telah ada pula dalam hadits lain yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim dan dikeluarkan oleh keduanya pada bab tentang shalat Ied: “Abu Sa’id adalah orang yang menarik tangan Marwan ketika datang untuk naik mimbar, keduanya bersama-sama, Abu Sa’id juga mencegah Marwan sebagaimana laki-laki tersebut.
Adapun perkataannya: “Hendaknya ia merubahnya” adalah perkara wajib menurut ijma’ umat. Sesungguhnya al Qur’an dan as Sunnah menegaskan kewajiban untuk memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Hal ini juga termasuk nasehat yang mana nasehat itu adalah agama.
Adapun firman Allah Ta’ala: “Atas kalian diri kalian tidak memudhartkan kalian orang yang sesat setelah kalian dapat petunjuk” tidaklah bertentangan dengan yang telah kami paparkan, karena madzhab yang shahih disisi para muhaqqiq tentang ayat yang mulia ini adalah jika telah mengetahui perkara yang dibebankan kepada kalian maka tidak membahayakan kalian pengurangan dari orang lain seperti firmannya: “Seseorang tidak akan menanggung dosa yang dilakukan orang lain”.
Jika demikian tiap muslim dibebani untuk beramar ma’ruf nahi munkar, dan bukan ‘aib jika orang yang menyampaikan tidak diikuti, karena kewajibannya hanya beramar ma’ruf nahi munkar bukan penerimaan (dari orang yang dida’wahi). Allahu A’lam.
Amar ma’ruf nahi munkar adalah fardu kifayah, jika sebagian orang telah melaksanakan maka gugurlah dosa dari orang yang lainnya. Jika semua meninggalkannya berdosalah orang yang punya kemampuan untuk melaksanakannya tanpa udzur. Kemudian kadang menjadi fardhu ‘ain atas seseorang seperti apabila tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia, atau tidak mampu melaksanakannya kecuali dia, seperti orang yang melihat  istri, anak atau budaknya melakukan kemungkaran atau kurang dalam melaksanakan kewajiban.
Para ulama berkata: “Kewajiban amar ma’ruf nahi munkar tidak gugur hanya semata karena diperkirakan tidak akan diterima, bahkan tetap harus dilakukan. Allah berfirman:
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ
“Peringatkanlah karena peringatan itu bermanfaat bagi kaum mukminin”

Telah dijelaskan bahwa kewajiban dia adalah amar ma’ruf nahi munkar bukan harus diterima oleh orang lain. Allah berfirman:
مَا عَلَى الرَّسُوْلِ إِلاَّ الْبَلاَغُ
“Tidak ada kewajiban rasul itu selain menyampaikan”

Para ulama berkata: “Tidak disyaratkan orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar itu harus sempurna keadaannya, mengamalkan apa yang dia perintahkan dan menjauhi apa yang dia larang. Bahkan ia harus melakukan amar ma’ruf walaupun kadang menyelisihinya. Karena kewajiban atasnya ada dua: Melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada dirinya sendiri, dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada orang lain, jika melakukan salah satunya tidak menggugurkan yang lainnya.
Mereka berkata: “Amar ma’ruf nahi munkar tidak khusus dilakukan oleh pemerintah, tapi oleh setiap individu muslim. Yang melakukan amar ma’ruf adalah yang mengerti perkara yang ia suruh atau larang untuk diperintahkan. Apabila perkara-perkara yang jelas seperti masalah shalat, puasa, zina, minum khamar dan lainnya, maka semua muslim dianggap alim (berhak untuk amar ma’ruf nahi munkar) dalam masalah ini. Apabila dalam masalah yang rumit, masalah perkataan atu perbuatan, atau masalah ijtihadiyah, yang tidak mungkin diketahui orang awam, maka mereka tidak boleh mengingkarinya, bahkan yang melakukannya haruslah ulama. Dan ulama pun mengingkari perkara yang sudah disepakati, adapun dalam masalah yang masih diperselisihkan tidak boleh mengingkarinya. Karena menurut salah satru pendapat: setiap mujtahid dapat pahala, inilah pendapat yang terpilih disisi mayoritas muhaqqiqin. Dan menurut pendapat lain: yang benar itu satu dan yang salah tidak jelas atas kita. Dosa gugur darinya, tapi jika hanya sekedar nasehat untuk keluar dari khilaf, maka itu bagus untuk dilakukan dengan lemah lembut.
Syaikh Muhyidin berkata: “Ketahuilah bab amar ma’ruf nahi munkar telah disia-siakan dalam waktu yang lama. Tidak tersisa pada zaman ini kecuali rambu-rambu yang kecil sekali. Inilah bab yang agung, dengan inilah tegak urusan, apabila banyak kerusakan di bumi maka adzab akan menimpa orang shalih dan thalih. Jika orang shalih tidak menghentikan perbuatan orang dhalim sebentar lagi Allah akan menimpakan adzab yang merata, Allah berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُوْنَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
“Hendaknya takut orang yang menyelisihi perintahnya akan tertimpa fitnah atau terkena adzab yang pedih”  (An Nur: 63).

Maka orang yang mencari akhirat dan memperoleh ridha Allah seyogyanya memperhatikan bab ini, karena manfaatnya besar. Apalagi sebagian besarnya telah hilang, jangan segan terhadap orang yang diingkari hanya karena tingginya kedudukan kita, Karena Allah berfirman:
وَلَيَنْصُرَنَّ اللهُ مَنْ يَّنْصُرُهُ
“Sungguh Allah akan membela orang yang membela agama-Nya” (Al Hajj: 40).

Ketahuilah pahala  itu sesuai amalan, jangan meninggalkan amar ma’ruf karena teman dan orang yang ia cintai, karena yang namanya teman adalah yang berusaha memakmurkan akhiratnya walaupun menyebabkan kurang dunianya, dan musuh itu adalah yang berusaha menghilangkan atau menghurangi akhiratnya walau kemudian memberi manfaat dalam dunianya.
Seyogyanya bagi orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar melakukannya dengan lemah lembut hingga bisa lebih mendekati tujuan yang dimaksud. Imam Syafi’I pernah berkata: “Barangsiapa yang menasehati saudaranya secara diam-diam (tidak dihadapan manusia) sungguh telah menasehati dan memperbaikinya, dan barangsiapa yang menasehatinya dihadapan manusia sungguh telah mencela dan menjelekkannya.
Diantara perkara yang diremehkan manusia dalam bab ini adalah: Jika mereka melihat seseorang menjual barang atau hewan yang ada ‘aibnyaia tidak menjelaskan ‘aib tersebut, mereka tidak mengingkarinya dan tidak memberitahu pembeli keadaan barang tersebut. Padahal mereka akan ditanya tentang masalah tersebut, karena agama ini adalah nasehat, barangsiapa yang tidak memberi nasehat berarti telah menipu.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Hendaklah merubah dengan tangannya, jik atidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya” maknanya: Ingkarilah dengan hatinya. Itu bukanlah menghilangkan atau meruah akan tetapi ini yang bisa ia lakukan.
Sabdanya: “Dan itulah selemah-lemahnya Iman” maknanya – wallahu a’lam – yang paling sedikit buahnya.
Orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar tidak punya hak untuk mencari-cari, meneliti, memata-matai, dan penuh curiga kepada orang, tapi jika ada yang terfgelincir baru ia ingkari. Al Mawardi berkata: “Dia tidak punya hak untuk mencurigai dan memata-matai kecuali jika ada yang mengabari bahwa seseorang berkhalwat dengan temannya untuk membunuhnya, atau dengan perempuan untuk berzina. Karena itu dibolehkan baginya untuk mengintai dan mencari tahu agar tidak luput apa yang tidak mungkin ia dapati lagi.
Sabdanya: “Dan itulah selemah-lemahnya Iman” telah disebutkan maknanya adalah yang paling sedikit buahnya. Dalam riwayat lain:
“Tidak ada setelah itu keimanan sebutir debupun” yakni tidak ada setelah itu tingkatan yang lain. Iman dalam hadits ini maknanya Islam.
Hadits ini sebagai daliul bahwa barangsiapa yang khawtir dibunuh atau dicambuk gugur darinya kewajiban mengingkari kemungkaran, ini adalah madzhab muhaqqiqin dari kalangan salaf dan orang yang mengikuti mereka. Sekelompok orang yang ekstrim berpendapat: “Tetap tidak gugur kewajiban tersebut walaupun khawatir dibunuh”.


HADITS KETIGA PULUH LIMA

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ:قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ تَحَاسَدُوْا، وَلاَ تَنَاجَشُوْا، وَلاَ تَبَاغَضُوْا، وَلاَ تَدَابَرُوْا، وَلاَ يَبِيْعُ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَاًنا. اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ يَكْذِبُهُ، وَلاَ يَحْقِرُهُ. التَّقْوَى هَهُنَا – وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ –  بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ. كُلُّ الْمُسْلِم عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ: دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ. رواه مسلم.

Dari Abi Hurairah Radiyallahu’anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian saling hasad, janganlah saling menipu, saling menjauhi, dan janganlah membeli (barang) yang hendak dibeli orang lain, jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersudara, seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, tidak boleh ia mendzoliminya, enggan membelanya, tidak boleh mendustai dan menghinanya. Taqwa itu disini, beliau mengisyaratkan ke dadanya tiga kali. Cukup dianggap sebagai kejahatan seseorang jika ia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim bagi muslim yang lain adalah haram darahnya, harta dan kehormatannya” (HR. Muslim).



Syarah:
Sabdanya: “Janganlah kalian saling hasad” Hasad adalah berangan-angan hilangnya nikmat (yang dimiliki orang lain). Ini adalah perbuatan haram. Dalam hadits lain:
“Hati-hati kalian dari hasad karena hasad itu memakan kebaikan sebagaimana api menghabiskan kayu bakar dan kayu” adapun ghibthah adalah ia ingin mendapatkan nikmat yang ada pada orang lain tapi tidak mengharap hilangnya nikmat dari saudaranya tersebut.
Kata hasad kadang dipakai dengan makna ghibthah karena hampir samanya makna kedua kata tersebut seperti dalam hadits:
“Tidak ada hasad kecuali dalam dua perkara” maksud hasad disini adalah ghibthah.
Sabdanya: “Janganlah saling menipu” asal kata (النجش) adalah (الختل) yakni penipuan, oleh karena itu pemburu dinamakan (ناجش) karena dia menipu atau ditipu buruannya.
Sabdanya: “Janganlah saling membenci”. Maknanya jangan melakukan sebab saling benci. Karena cinta dan benci adalah perbendaharaan hati yang manusia tidak punya kemampuan mendapatkannya, tidak bisa berbuat padanya, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:
هَذَا قِسْمِيْ فِيْمَا أَمْلِكُ فَلاَ تُؤَاخِذْنِيْ فِيْمَا تَمْلِكُ وَلاَ أَمْلِكُ.
“Inilah bagianku janganlah Engkau mengazabku dalam perkara yang Engkau miliki dan aku tidak memilikinya” yakni cinta dan benci.
Kata (التدابر) adalah permusuhan, ada yang mengatakan: memutuskan hubungan, karena keduanya membelakangi temannya.
Sabdanya: “Dan janganlah membeli (barang) yang hendak dibeli orang lain” maknanya ia berkata kepada orang yang akan membeli satu barang ketika sudah waktu khira: “Batalkan saja perdagangan ini aku akan jual semisalnya atau lebih bagus harganya, atau penjual dan pembeli telah setuju dengan harga tertentu dan sudah ridha hanya tinggal aqadnya, (orang tersebut menyuruh membatalkan dengan – pent-) menambah atau menguranginya.
Perbuatan ini haram setelah ditetapkannya harga, adapun sebelum ada keridhaan tidaklah haram.
Makna: “Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara” bergaullah seperti pergaulan dengan saudara,  bergaul bersama mereka dengan kasih sayang, lemah lembut, saling menolong dalam kebaikan dengan hati yang bersih dan ikhlas dalam segala keadaan.
Sabdanya: “Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, tidak boleh ia mendzaliminya, enggan membelanya, mendustainya, dan menghinanya”.
Kata (الخدلان) yakni tidak membantu dan menolong. Maknanya: “Jika ia minta tolong padamu untuk menolak orang dzalim dan semisalnya ia harus membantunya jika memungkinkan dan tidak ada udzur syar’i.
Sabdanya: (ولا يحقره) dengan huruf  ha dan qaf yakni: Jangan bersombong dihadapannya dan meremehkannya. Demikian dikatakan oleh Qadhi Ayadh. Sebagian mereka meriwayatkan dengan dhammah huruf ya dan kha dan huruf fa yakni jangan mengingkari janjinya, jangan membatalkan sumpahnya.
Tapi yang benar dan ma’ruf adalah makna yang pertama.
Sabdanya: “Taqwa itu disini, beliau mengisyaratkan ke dadanya tiga kali”, dalam  satu riwayat: “Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk dan rupa kalian akan tetapi melihat hati kalian” maknanya bahwa amalan dhahir tidak menghasilkan taqwa, tapi taqwa dihasilkan dengan apa yang ada dalam hati yaitu mengagungkan Allah, takut dan merasa diawasi oleh-Nya, meyakini bahwa pandangan Allah meliputi segala sesuatu.
Makna hadits – wallahu a’lam – yang akan dibalas dan dihisab dari manusia: bahwasanya yang teranggap untuk dihisab dan dibalas adalah sesuai dengan baik buruknya hati.
Sabdanya: “Cukup dianggap sebagai kejahatan seseorang jika ia menghina saudaranya yang muslim” ini adalah peringatan dari perbuatan demikian., karena Allah tidak menghinanya ketika menciptakan dan memberinya rizki, kemudian membaguskan penciptaannya, menundukkan apa yang ada dalam langit dan bumi kepadanya, dia tetap punya bagian walaupun orang lain mendapat bagian, kemudian Allah menamakannya muslim, mukmin dan hamba. Sampai akhirnya Allah mengutus kepadanya rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka barangsiapa yang menghinakan seorang muslim berarti telah menghinakan sesuatu yang dimuliakan dan dicukupi oleh Allah.
Termasuk penghinaan seorang muslim kepada muslim lainnya: tidak mengucapkan salam ketika melewatinya, tidak menjawab salamnya ketika ia mengucapkan salam. Diantaranya juga, menganggap saudaranya yang muslim bukan termasuk orang yang akan dimasukkan sorga atau dijauhkan dari neraka oleh Allah. Adapun orang alim marah kepada orang jahil, orang shaleh marah kepada orang fasiq bukan termasuk meremehkan muslim. Bahkan karena ada sifat jahil dari orang jahil dan ada sifat fasiq pada orang fasiq maka memisahkan diri darinya berarti mengembalikannya kepada ketinggian derajat.


HADITS TIGA PULUH ENAM

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِيْ عَوْنِ أَخِيْهِ. وَمَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ. وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِيْ بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ، إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ، وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرَعْ بِهِ نَسَبُهُ. رواه مسلم بهذا اللفظ.

Dari Abu Hurairah Radiyallahu’anhu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ia bersabda: “Barangsiapa yang melepaskan dari orang mukmin satu kesulitan dari kesulitan-kesulitan dunia, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesulitan dari kesulitan-kesulitan hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan orang yang kesukaran pasti Allah akan memudahkan (urusannya) di dunia dan akhirat. Dan siapa yang menutupi aib saudaranya pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat, Allah akan menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya. Barangsiapa menempuh satu jalan untuk menuntut ilmu pasti Allah akan memudahkan baginya jalan menuju sorga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di suatu rumah dari rumah-rumah Allah membaca dan mempelajari kitab Allah diantara mereka, kecuali turun kepada mereka sakinah dan mereka diliputi rahmat dan dinaungi malaikat, Allah menyebut mereka di majlis-Nya. Barangsiapa yang lambat amalannya tidak akan cepat bagiannya” (HR. Muslim).

Syarah:
Ini adalah hadits yang agung, mencakup berbagai macam ilmu dan qa’idah serta adab. Dalam hadits ini diterangkan keutamaan memenuhi kebutuhan kaum muslimin, memberi manfaat kepada mereka dengan sesuatu yang memudahkan mereka baik berupa ilmu, harta ataupun pertolongan, serta mengisyaratkan kepada maslahah, nasihat dan lainnya. Makna (تنقير الكربة) adalah menghilangkannya. Sabdanya: (من ستر مسلما) yakni menutupi ketergelincirannya, maksudnya menutupi aib orang yang terhormat dan seperti mereka yang tidak dikenal kerusakannya. Maksudnya menutupi perbuatan maksiat yang sudah terjadi dan selesai, adapun jika mengetahuinya ketika masih dilakukan maka wajib bersegera mengingkari dan mencegahnya berbuat demikian, jika tidak mampu ia harus melaporkannya kepada pemerintah, bila tidak menimbulkan kerusakan. Hal yang ma’ruf ketika itu tidak ditutupi perbuatannya karena kalau ditutup-tutupi mendorongnya membuat kerusakan, gangguan, melanggar keharaman-keharaman, serta orang yang selainnya akan berani berbuat demikian, bahkan disunnahkan dilaporkan kepada imam jika takut ada mafsadah (kerusakan). Demikian pula mengucapkan jarah (kritikan) terhadap perawi, saksi, orang-orang yang diberi amanah untuk shadaqah, waqaf dan anak yatim serta selain mereka, wajib mengkritik mereka ketika dibutuhkan, tidak halal menutup-nutupi mereka jika tampak dari mereka sesuatu yang mencela keahlian mereka, dan ini bukan ghibah yang diharamkan, tapi termasuk nasehat yang wajib.
Sabdanya: (والله في عون العبد مادام العبد في عون أخيه) “Allah akan menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya” kalimat global ini tidak cukup tafsirnya dalam buku ini, tapi diantara tafsirnya: “Seorang hamba jika berniat menolong temannya jangan takut untuk mengucapkan atau mengumandangkan alhaq, tetapi harus yakin bahwa Allah pasti menolongnya”.
Dalam hadits ini terdapat keutamaan memudahkan orang yang kesulitan, dan keutamaan berusaha menuntut ilmu, juga keutamaan orang yang sibuk dengan ilmu, maksudnya ilmu syar’i. dan disyaratkan harus diniatkan mencarinya wajah Allah, walaupun memang itu syarat dalam seluruh ibadah. Sabdanya:
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِيْ بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ .
“Tidaklah suatu kaum berkumpul di suatu rumah dari rumah-rumah Allah membaca dan mempelajari kitab Allah diantara mereka”.
Ini dalil keutamaan berkumpul untuk membaca Al Qur’an di mesjid. “Sakinah” dalam hadits ini ada yang mengatakan maknanya adalah rahmat, ini pendapat yang lemah, karena digandengkannya kata “rahmah” dengan kata tersebut dalam hadits ini. Sebagian lagi menyatakan maknanya: Tuma’ninah dan ini makna yang lebih baik.
Dalam perkataannya: (ومااجتمع قوم) nakirah yang mencakup seluruh jenisnya, sepertinya beliau berkata: “Orang-orang manapun yang berkumpul dan mengamalkan amalan tersebut maka mereka mendapatkan keutamaan yang disebutkan, karena dalam hadits ini Allah tidak mensyaratkan harus ulama, zuhud atau orang yang punya kedudukan.
Sabdanya: (حفتهم الملائكة) yakni malaikat mengelilingi mereka, seperti firman Allah: “(Malikat) berkeliling (mengelilingi) di dekat Arsy”, yakni meliputi dan mengelilinginya di setiap sisi. Sepertinya, malaikat dekat dengan mereka meliputi hingga tidak meninggalkan ruang buat syaithan.
Perkataannya: (غشيتهم الرحمة) kata (غشي) tidak dipakai kecuali untuk sesuatu yang meliputi seluruh bagian yang ditutup. Syaikh Syihabuddin bin Farj berkata: “Maknanya yang aku tahu meliputinya rahmah, maknanya memenuhi (menghapus) segala dosa yang telah lalu.
Sabdanya: (وذكرهم الله فيمن عنده) menghendaki Allah menyebut mereka dihadapan para nabi dan malaikat yang dimuliakan. Wallahu a’lam.


HADITS KETIGA PULUH TUJUH

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ: إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ: فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً وَاحِدَةً، وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَ اللهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيْرَةٍ، وَإِنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً. رواه البخاري ومسلم في صحيحيهما بهذه الحروف.

Dari Ibnu Abbas Radiyallahu’anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, meriwayatkan dari Rabbnya Tabarak wa Ta’ala: “Sesungguhnya Allah menetapkan kebaikan dan kesalahan kemudian menerangkannya, barangsiapa yang ingin melakukan amalan baik dan ia tidak melakukannya Allah menulis untuknya sebagai satu kebaikan, dan jika ia berniat kemudian mengamalkannya Allah akan menuliskan untuknya sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus kali lipat dan sampai kelipatan yang banyak. Jika berniat kejelekan dan tidak melakukannya Allah tuliskan baginya sebagai satu kebaikan yang sempurna, dan jika berniat jelek dan ia melakukannya Allah tuliskan sebagai satu kejelekan untuknya” (HR. Bukhari Muslim dalam shahih keduanya dengan lafadz seperti ini).

Lihatlah wahai saudaraku – mudah-mudahan Allah memberi taufiq kepada kita – besarnya kelembutan Allah Ta’ala dan perhatikanlah kata-kata dalam hadits ini, Firman Allah: “disisinya” isyarat akan perhatian-Nya kepada masalah tersebut. Firman-Nya: “sempurna” sebagai ta’kid (penekanan) dan perhatian Allah dalam masalah tersebut. Allah tentang orang yang niat berbuat jelek tapi tidak mengamalkannya: “Allah tuliskan baginya sebagai satu kebaikan yang sempurna” Allah memberikan penekanan dengan kata “ كاملة / sempurna”, jika mengamalkannya ditulis sebagai satu kesalahan, Allah menekankan akan sedikitnya dengan kata: (واحدة) satu”. Tidak dita’kid dengan kata “ كاملة / sempurna”. Milik Allah lah pujian dan anugerah, kita tidak bisa menghitung pujian atas-Nya, wabillahit taufiq.

Syarah:
Para pensyarah hadits ini menyatakan: “Ini adalah hadits yang agung. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan dalam hadits ini besarnya karunia Allah kepada hambanya, dengan menjadikan niat hamba berbuat baik jika tidak diamalkannya dianggap sebagai satu kebaikan, menjadikan niatnya berbuat jelek jika tidak dilakukan dianggap sebagai satu kebaikan pula. Ini adalah keutamaan yang besar karena Allah melipat gandakan kebaikan dan tidak melipat gandakan kejelekan. Sebabnya menjadikan niat berbuat baik sebagai kebaikan karena keinginan berbuat baik adalah amalan hati, hati sudah terikat untuk berbuat itu.
Jika ada yang mengatakan: “Kalau demikian maka mengharuskan ditulisnya kejelekan orang yang berbuat jelek walaupun tidak melakukannya, karena keinginan berbuat sesuatu adalah termasuk amalan hati.
Kita jawab: “Tidaklah seperti yang kau katakan, karena barangsiapa yang menahan diri dari perbuatan jelek berarti telah mengganti keinginan berbuat jelek dengan keinginan berbuat baik. Dia melawan hawa nafsunya yang ingin berbuat jelek, sehingga dia diberi pahala atas perbuatan ini.
Dalam hadits lain:
إِنَّمَا تَرَكَهَا مِنْ جَرَائِيْ
“Sesungguhnya ia meninggalkannya karena takut kepada-Ku” yakni karena Aku, ini seperti perkataan Rasulullah:
“Atas setiap muslim shadaqah” Mereka bertanya: “Jika tidak dilakukan? Beliau berkata: “Hendaknya menahan diri dari berbuat jelek, karena itu juga shadaqah” diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitabul adab. Adapun jika meninggalkan perbuatan jelek tersebut karena terpaksa atau karena tidak mampu melakukannya tidaklah ditulis sebagai satu kebaikan, dan tidak masuk dalam makna hadits ini.
Imam Thabari berkata: “Hadits ini membenarkan perkataan orang yang mengatakan: “Bahwa malaikat pencatat mencatat apa yang diniatkan hamba yang baik atau yang jelek, mengetahui keinginannya untuk berbuat demikian, serta membantah perkataan orang yang berkata: “Malaikat hanya mencatat yang tampak dari amalan hamba atas pendengaran. Maknanya: dua malaikat yang diutus oleh Allah tersebut mengetahui apa yang diinginkan seorang hamba. Bisa jadi Allah menjadikan bagi mereka jalan untuk mengetahuinya sebagaimana Allah menjadikan banyak nabinya mengetahui perkara ghaib.
Allah berfirman tentang nabi Isa alaihissalam, beliau berkata kepada Bani Israil:
وَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا تَأْكُلُوْنَ وَمَا تَدَّخِرُوْنَ فِيْ بُيُوْتِكُمْ
“Aku kabarkan kepada kalian apa yang kalian makan dan apa yang kalian simpan…” (Ali Imran: 49).
Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wasallam telah banyak mengabarkan perkara ghaib, sehingga bisa jadi Allah menjadikan jalan bagi dua malaikat tersebut untuk mengetahui apa yang ada dalam hati hamba dari kebaikan atau kejelekan kemudian menulisnya ketika hamba sudah ber’azam untuk melakukannya.
Ada yang menyatakan: hal ini karena ada angin yang datang dari hati.
Salaf berselisih mengenai dzikir mana yang lebih afdhal: dzikir hati atau dzikir dengan dikeluarkan suaranya? Dan ini seluruhnya pendapat Ibnu Khalaf yang ma’ruf dengan Ibnu Batthal.
Pengarang Al Ifshah berkata: “Sesungguhnya Allah ketika membinasakan umat ini dan diiringi oleh kurangnya amal dengan melipat gandakan amalan mereka. Maka barangsiapa yang berniat berbuat baik Allah menganggapnya sebagai kebaikan sempurna, karena keinginannya satu, menjadikannya sempurna agar jangan ada orang yang menyangka bahwa keberadaannya hanya semata niat itu akan mengurangi atau menghancurkannya. Maka Allah terangkan dengan perkataan-Nya: “Kebaikan yang sempurna”, jika berniat beramal baik dan mengamalkannya mengeluarkannya dari niat menjadi catatan amal, dicatat untuknya sebagai kabaikan kemudian dilipat gandakan. Yakni hal tersebut sesuai dengan kadar keikhlasan niat yang melakukannya sesuai tempatnya. Kemudian berfirman: “sampai kelipatan yang banyak” dengan lafadz nakirah, yang lebih mencakup dari ma’rifah. Ini menghendaki menghitung yang banyak dengan kadar hitungan banyak yang terbesar, janji Allah ini, dikatakan: jika seorang manusia bershadaqah dengan satu butir gandum maka dihitung dalam karunia Allah. Seperti engkau menaburkannya di tanah yang halus, kemudian ia menjaga dan memeliharanya dan melakukan sesuatu yang diperlukan untuk kebaikan tanamannya. Ketika hari panen nampaklah hasilnya, kemudian ditentukan dari hasil tersebut untuk ditaburkan kembali di tanah, dan menjaganya seperti tadi. Demikianlah di tahun yang kedua, kemudian ketiga, keempat dan setelahnya terus berlangsung sampai hari kiamat, datanglah sebutir gandum seperti gunung yang kokoh. Jika seseorang bershadaqah satu butir atom dengan keimanan, maka dilihat untungnya jika dibelikan sesuatu kemudian dinilai dengan harga jika ia menjualnya di pasar yang paling banyak mendapatkan untung. Kemudian dilipat gandakan, dan terus berulang sampai hari kiamat, satu biji atom itu akan datang sebesar dunia seluruhnya.
Termasuk hal itu juga: Sesungguhnya karunia Allah itu berlipat ganda dengan adanya perpindahan seperti seorang yang bershadaqah kepada orang faqir satu dirham, kemudian orang faqir tersebut memberikan kepada orang yang lebih faqir darinya, kemudian orang tersebut memberikan kepada orang faqir yang ketiga, ketiga diberikan ke yang keempat, keempat diberikan kepada orang yang seterusnya. Maka Allah mencatat bagi orang yang shadaqah sepuluh kebaikan. Jika diberikan kepada orang faqir yang kedua maka untuk orang faqir yang pertama sepuluh kebaikan dan bagi yang bershadaqah seratus kebaikan. Jika orang faqir yang kedua menshadaqahkannya lagi, maka orang faqir pertama mendapat seratus kebaikan dan bagi yang bershadaqah mendapat seribu kebaikan, jika dishadaqahkan lagi, orang faqir pertama mendapat seribu dan yang bershadaqah sepuluh ribu, kemudian dilipat gandakan dalam hitungan yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala..
Diantara karunia-Nya juga: “Allah jika menghisab hamba-Nya yang muslim di hari kiamat, dan dia mempunyai kebaikan yang berbeda ada yang tinggi dan ada yang dibawah itu. Maka Allah dengan kedermaan-Nya dan karunia-Nya menganggap seluruh amalan tersebut sebagai kebaikan yang bernilai tinggi, karena kedermaa-Nya Allah hingga Allah yang Maha Agung tidak akan menanyai hamba yang diridhainya tentang perbedaan tingkat kebaikan. Allah berfirman:
“Kami akan balas pahala mereka dengan nilai amalan yang paling baik yang mereka lakukan” sebagaimana jika seorang hamba mengucapkan do’a: (لاإله إلاالله وحده لاشريك له) ketika berada di salah satu pasar muslimin dengan mengeraskan suara, Allah akan mencatat untuknya dua juta seribu amalan, dan menghapus darinya dua juta seribu kesalahan, dan membangunkan untuknya satu rumah di sorga sebagaimana terdapat dalam hadits.
Yang kita sebutkan disini adalah menurut kadar pengetahuan kita bukan kadar karunia Allah, karena karunia Allah itu besar tidak bisa dihitng oleh makhluk-Nya.




HADITS KETIGA PULUH DELAPAN

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ: مَنْ عَادَى لِيْ وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْئٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبَ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبَتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِيْ أَعْطَيْتُهُ وَلَئِن اسْتَعَاذَنِيْ لأُعِيْذَنَّهُ. رواه البخاري.

Dari Abu Hurairah Radiyallahu’anhu: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: “Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku maka Aku telah mengumumkan perang dengannya. Tidaklah seorang hamba bertaqarrub (mendekatkan diri) kepadaku yang lebih Aku cintai selain bertaqarrub dengan perkara yang wajib. Terus menerus seorang hamba bertaqarrub kepada-Ku dengan perkara-perkara sunnah hingga Aku mencintainya. Kalau Aku sudah cinta kepadanya maka Aku adalah pendengarannya yang mendengar dengannya, pandangannya yang dengannya ia memandang, tangannya yang dengannya ia memukul dan kakinya yang dengannya ia berjalan, kalau meminta niscaya Aku akan memberinya dan jika minta perlindungan niscaya Aku akan melindunginya” (HR. Bukhari).

Syarah:
Pengarang Al Ifshah berkata: didalam hadits ini ada fiqih: bahwasanya Allah Ta’ala memberikan peringatan atas setiap orang yang memusuhi wali Allah: Bahwa dia telah mengumumkan peperangan karena sebab permusuhan orang tersebut kepada wali Allah, wali Allah adalah orang yang mengikuti syariat-Nya.
Maka hati-hatilah seorang muslim jangan sampai menyakiti hati wali-wali Allah.
Makna permusuhan adalah menjadikannya sebagai musuh, dan aku berpendapat maknanya adalah memusuhi karena kedudukannya sebagai wali Allah.
Adapun jika karena satu hal yang menyebabkan terjadinya perselisihan antara dua wali untuk memperjelas hak yang masih tersembunyi tidaklah masuk dalam hadits ini, karena perselisihan seperti ini terjadi antara Abu Bakar dan Umar Radiyallahu’anhuma, juga antara Abbas dan Ali Radiyallahu’anhuma dan banyak diantara shahabat lainnya. Mereka semua adalah wali Allah.
Perkataan dalam hadits: “Tidaklah seorang hamba bertaqarrub kepadaku yang lebih Aku cintai selain bertaqarrub dengan perkara yang wajib” ini merupakan isyarat tidak bolehnya mendahulukan perkara sunnah dari yang wajib, perkara sunnah dinamakan nafilah apabila telah melakukan perkara yang wajib.
Ditunjukkan pula oleh perkataan-Nya: “Terus menerus seorang hamba bertaqarrub kepada-Ku dengan perkara-perkara sunnah hingga Aku mencintainya” karena bertaqarrub dengan perkara nafilah itu setelah melakukan perkara yang wajib.
Apabila seorang hamba merutini amalan nafilah akan menyebabkan ia dicintai oleh Allah Azza wajalla.
Kemudian perkataannya: “Kalau Aku sudah cinta kepadanya maka Aku adalah pendengarannya yang mendengar dengannya, pandangannya yang dengannya ia memandang…”dst. Ini adalah tanda wali Allah yang sudah dicintai oleh-Nya. Maknanya adalah ia tidak pernah mendengarkan sesuatu yang tidak diijinkan syariat untuk didengar, tidak melihat sesuatu yang dilarang oleh syariat untuk dilihat, tidak pernah mengulurkan tangan dalam perkara yang tidak diijinkan oleh syari’at, tidak berjalan kecuali berjalan menuju sesuatu yang diijinkan syariat, inilah hukum asalnya. Kadang telah dominan atas seorang hamba dzikrullah hingga ia dikenal demikian, ketika diajak bicara orang lain hamper tidak mau mendengarnya. Demikian pula dalam masalah pandangan,makanan dan berjalan. Kita minta kepada Allah agar kita dijadikan orang yang demikian.
Perkataannya: “Jika minta perlindungan niscaya akan AKu lindungi” menunjukkan apabila seorang hamba sudah menjadi orang yang dicintai Allah tidak akan tertolak ketika ia meminta kebutuhan atau ketika ia minta perlindungan kepada Allah dari orang yang ia takutkan. Allah Maha kuasa untuk memberinya sebelum ia meminta, melindunginya sebelum ia minta perlindungan, akan tetapi Allah menjadikan sarana bertaqarrub hambanya dengan memberi orang yang meminta dan melindungi orang yang minta perlindungan”.
Perkataannya: (استعاذني) ditulis dengan nun dan ya keduanya benar, perkataannya diawal hadits: (فقد آذنته بالحرب) dengan hamzah mamdudah : yakni Aku umumkan bahwa sesungguhnya ia sedang berperang melawan-Ku.


HADITS KETIGA PULUH SEMBILAN

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِيْ عَنْ أُمَّتِيْ: اَلْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ. حديث حسن رواه ابن ماجة والبيهقي وغيرهما.

Dari Ibnu Abbas Radiyallahu’anhuma: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersbda: “Allah akan memaafkan kesalahan seorang hamba karena keliru, lupa, atau dipaksa” (Hadits Hasan riwayat Ibnu Majah dan Baihaqi serta selain keduanya).

Telah ada penjelasan dalam menafsirkan ayat Allah:
وَإِنْ تُبْدُوْا مَا فِيْ أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوْهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللهُ
“Jika kalian tampakkan yang ada pada hati kalian atau tidak kalian tampakkan Allah tetap menghisab kalian” (Al Baqarah: 284).
Ketika turun ayat ini para shahabat Radiyallahu’anhum merasa berat, maka Abu Bakar, Umar, Abdurrahman bin Auf dan Muadz bin Jabal mendatangi Rasulullah bersama sekelompok orang yang berkata:
كَلَّفَنَا مِنَ الْعَمَلِ مَالاَنُطِيْقُ، إِنَّ أَحَدَنَا لَيُحَدِّثَ نَفْسَهُ بِمَا لاَ يَجِبُ أَنْ يَثْبُت فِيْ قَلْبِهِ وَأَنَّ لَهُ الدُّنْيَا.
“Allah membebani kami dengan sesuatu yang tidak mampu kami  lakukan, sungguh seseorang kami terbetik dalam hatinya perkara yang tidak ia inginkan hal tersebut ada dalam hatinya walau diberi dunia seisinya”.
Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَعَلَّكُمْ تَقُوْلُوْنَ كَمَا قَالَتْ بَنُوْا إِسْرَائِيْل: سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا. قُوْلُوْا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا.
“Mungkin kalian seperti bani Israil yang berkata: “kami dengar dan kami bermaksiat”, katakanlah kami dengar dan kami taat”.
Jawaban tersebut terasa berat bagi para shahabat hingga mereka pun diam beberapa lama, akhirnya Allah menurunkan ayat sebagai jalan keluar dan rahmat bagi hamba-Nya:
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَآ إِنْ نَسِيْنَآ أَوْ أَخْطَأْنَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan yang ia mampu, baginya pa yang ia amalkan dan atasnya apa yang ia perbuat,"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami keliru” (Al Baqarah: 284). Allah berfirman: “Telah Aku lakukan…” sampai akhir kisah. Turunlah ayat yang meringankan  dan dimansukhlah (dihapus hukum) ayat yang pertama.
Imam Baihaqi berkata: “Telah berkata Imam Syafi’I: Allah Ta’ala berfirman:
إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِاْلإِيْمَنِ
“Kecuali orang yang dipaksa dan hatinya masih tentram dengan keimanan” (An Nahl: 106).    
Dalam masalah kekafiran ada banyak hukum, tapi karena Allah menegaskan tidak kafirnya orang yang dipaksa maka gugurlah hukum-hukum lainnya dari seseorang karena dipaksa. Karena jika perkara yang paling besar gugur maka gugur pula masalah-masalah yang kecil, kemudian beliau meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Allah akan memaafkan kesalahan seorang hamba karena keliru, lupa atau dipaksa”, juga meriwayatkan dari Aisyah Radiyallahu’anha Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لا طلاق ولاعتاف في إغلاق
“Tidak ada thalaq dan pembebasan budak jika dalam keadaan tidak sadar” ini adalah madzhabnya Umar bin Khatthab, Ibnu Umar dan Ibnu Zubair. Tsabit bin Ahnaf pernah menikahi ummu walad milik Abdurrahman bin Zaid bin Khattab. Kemudian Abdurrahman bin Zaid memaksanya dengan cambuk dan ancaman agar ia mentalaq ummu walad ketika masa khalifah Ibnu Zubair, Ibnu Umar berkata kepadanya: “Belum jatuh thalaq atasmu, kembalilah kekelargamu ketika itu Ibnu Zubair ada di Mekkah, ia pun menyusulnya kemudian Ibnu Zubair menulis surat kepada pegawainya di Madinah, untuk mengembalikan istri Tsabit kepadanya, dan perintah untuk menghukum Abdurrahman bin Zaid. Kemudian Shafiyah bintu Abi Ubaid istri Abdullah bin Umar menyiapkan istri Tsabit, Abdullah bin Umar bahkan menghadiri pernikahannya, wallahu a’lam.



HADITS KEEMPAT PULUH

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: أَخَذَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَنْكِبِيْ فَقَالَ: كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَقُوْلُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ. رواه البخاري.

Dari Ibnu Umar Radiyallahu’anhuma: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memegang dua pundakku dan berkata: “Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang numpang lewat”. Ibnu Umar berkata: “Apabila di sore hari janganlah menunggu pagi hari (untuk beramal shalih), dan ketika pagi hari janganlah menunggu sore hari. Ambillah kesempatan masa sehatmu sebelum sakitmu, dan ambil kesempatan waktu hidupmu sebelum datang waktu matimu” (HR. Bukhari).



Syarah:
Imam Abul Hasan Ali bin Khalaf berkata dalam syarah Bukhari: “Makna hadits ini adalah menganjurkan untuk sedikit bergaul dan untuk qana’ah, serta zuhud di dunia.
Abul Hasan berkata: “Penjelasannya karena orang asing sedikit sekali mau berkumpul dengan manusia, karena dia hampir tidak menemukan orang yang dikenal untuk dijadikan sebagai teman, dia menjadi rendah dan takut. Demikian pula orang yang sedang numpang lewat tidak bisa melanjutkan safarnya kecuali dengan kekuatan yang ia miliki untuk safar dan sedikitnya barang bawaan, tidak menyibukkan diri dengan sesuatu yang akan menghalangi safarnya. Ia tidak membawa sesuatu kecuali bekal dan kendaraan yang akan menyampaikannya hingga akhir tujuannya. Ini menunjukkan mengutamakan zuhud di dunia untuk mengambil bekal dan kecukupan, sebagaimana orang musafir tidak membutuhkan banyak harta kecuali yang bisa menyampaikan ke tujuannya.
‘Iz ‘Alauddin bin Yahya bin Hubairah berkata: “Dalam hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah menganjurkan untuk menyerupai orang asing, karena orang asing apabila masuk ke satu negeri tidak berlomba dengan penduduk asli di majlis mereka. Tidak pernah merasa gundah ketika melihat orang lain berbeda dengan dirinya dalam masalah pakaian. Tidak pernah saling bermusuhan bersama mereka.
Demikian pula orang yang sedang numpang lewat tidak menjadikan negeri tempat ia singgahi seperti negerinya. Tidak pernah mau berdebat dengan manusia, karena merasa bahwa ia hanya sebentar saja bersama mereka. Keadaan orang asing dan yang numpang lewat  disunnahkan ada pada seorang mukmin di dunia ini, karena dunia ini bukan tempat tinggalnya, bahkan menghalangi dari negerinya, menghalangi dirinya untuk tinggal di negerinya.
Adapun perkataan Ibnu Umar: “Apabila sedang di waktu sore jangan menunggu waktu pagi” itu adalah anjuran darinya agar seorang mukmin selalu siap untuk mati, bersiap menghadapi mati tentunya dengan beramal shalih. Beliau juga menganjurkan untuk tidak penjang angan-angan yakni jangan menunggu pagi untuk mengamalkan amalan-malam. Bahkan seharusnya bersegera untuk beramal, demikian pula ketika pagi hari jangan bisikkan kepada dirimu untuk menunggu waktu sore mengakhirkan amalan hingga sore hari.
Perkataan beliau: “Ambillah kesempatan sehatmu sebelum sakit”, anjuran untuk menggunakan waktu sehat, hendaknya bersemangat beramal shalih ketika sehat karena khawatir datangnya sakit yang akan menghalanginya dari beramal shalih.
Demikian pula perkataannya: “Ambillah kesempatan waktu hidupmu untuk matimu”, peringatan untuk menggunakan hari-hari hidupya, karena barangsiapa yang mati telah putus amalannya dan hilang angan-angannya, besar rasa sesalnya atas apa yang luput darinya. Hendaknya tahu bahwa akan datang padanya jaman yang panjang dalam keadaan ia dibawah tanah tidak bisa berbuat apa-apa, tidak mungkin berdzikir kepada Allah. Maka hendaknya ia bersegera di waktu sehatnya. Betapa mencakupnya hadits ini akan makna-makna yang baik dan mulia.
Sebagian ulama berkata: “Allah mencerca panjang angan-angan dalam Firmannya:
ذَرْهُمْ يَأْكُلُوْا وَيَتَمَتَّعُوْا وَيُلْهِهِمُ اْلأَمَلُ فَسَوْفَ يَعْلَمُوْنَ
“Biarkanlah mereka makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan, nanti mereka akan mengetahuinya” (Al Hijr: 3).
Ali Radiyallahu’anhu berkata: “Dunia berjalan untuk meninggalkan kita sedangkan akhirat berjalan untuk mendatangi kita, keduanya mempunyai anak, jadilah kalian anak akhirat jangan menjadi budak dunia, karena sekarang adalah waktu beramal dan tidak ada hisab adapun di akhirat adalah waktu hisab tidak ada waktu untuk beramal.
Anas Radiyallah’anhu berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menggaris beberapa garis, dan berkata: “Ini adalah manusia, ini angan-angannya, dan ini ajalnya, ketika ia sedang berangan tiba-tiba datang kepadanya garis yang lebih dekat” yakni ajal yang selalu meliputi dirinya. Ini merupakan peringatan untuk tidak panjang angan. Dan menganggap sudah dekat waktu datangnya ajal, karena khawatir datang tiba-tiba.
Barangsiapa yang merasa tidak bisa menebak ajal, harus merasa khawatir dalam menunggunya, khawatir datangnya ajal ketika ia lalai dan tertipu oleh dunia. Hendaknya seorang mukmin ridha untuk menggunakan sesuatu yang bisa mengingatkannya dan harus melawan angan dan hawa nafsunya, karena manusia memang dipenuhi angan-angan.
Abdullah bin Umar berkata: “Rasulullah melihatku ketika aku menembok kebun kami, beliau berkata: “Apa ini wahai Abdullah?” aku jawab: “wahai Rasulullah tembok ini telah lemah kami ingin membetulkannya”, beliau bersabda: “urusan lebih dari itu”.
Kita minta kepada Allah agar memberikan kelembutannya kepada kita, menjadikan kita zuhud di dunia, menjadikan keinginan kita adalah yang ada disisi-Nya, dan waktu istirahat kita adalah hari kiamat. Dia adalah Dzat yang Maha Derma Pemurah Pengampun dan Penyayang.





HADITS KEEMPAT PULUH SATU
عَنْ أَبِيْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللهِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ. حديث صحيح رويناه في كتاب الحجة بإسناد صحيح.

Dari Abu Muhammad Abdullah bin Amr bin Ash Radhiallahu ‘anhuma: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah sempurna iman salah seorang kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang dibawa olehku” (Hadits Hasan Shahih, diriwayatkan dalam kitabul hujjah dengan sanad yang shahih)[46].

Hadits ini semakna dengan firman Allah Ta’ala:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ حَتَّى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوْا فِيْ أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
“… Demi Rabbmu sekali-kali tidaklah mereka beriman hingga menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan dan tidak ada ganjalan di hati mereka terhadap apa yang engkau putusklan dan mereka berserah diri” (An Nisa: 65).

Sebab turunnya ayat ini adalah Zubair Radiyallahu’anhu berselisih dengan seorang anshar dalam masalah air, keduanya kemudian berhakim kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Ambillah wahai Zubair dan alirkanlah air tersebut kepada tetanggamu” beliau menganjurkan Zubair untuk toleran dan memberikan kemudahan kepada temannya. Orang anshar tersebut berkata: ”Itu karena Zubair adalah anak pamanmu?”, raut muka Rasulullah pun berubah dan beliau berkata: “Ya Zubair tahanlah air hingga sampai tembok, kemudian alirkanlah” hal ini dikarenakan Rasulullah mengisyaratkan kepada Zubair sesuatu yang mengandung maslahat bagi orang anshar tersebut, ketika orang anshar membuatnya marah akhirnya iapun memberikan kepada Zubair seluruh yang wajib baginya, kemudian turunlah ayat ini.
Telah shahih bahwa Rasulullah bersabda:
وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
“Demi dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya tidaklah sempurna iman salah seorang kalian hingga aku lebih ia cintai dibandingkan orang tua anaknya dan manusia seluruhnya”.

Abu zinad berkata: “Ini adalah termasuk jawami’ul kalim Rasulullah, karena lafadz yang pendek ini mengandung makna yang banyak sekali, karena mahabbah itu terbagi menjadi tiga: Pertama: Mahabbah kemuliaan dan pengagungan seperti mahabbah kepada orang tua, Kedua: Mahabbah kasih sayang dan rahmat seperti mahabbah kepada anak, Ketiga: Mahabbah istihsan dan bercocokan yakni seperti mahabbahnya manusia, terbatasilah golongan mahabbah.
Ibnu Batthal berkata: “Makna hadits – wallahu a’lam – Barangsiapa yang telah sempurna keimanannya dia akan tahu bahwa haq Rasulullah dan keutamaannya lebih wajib atasnya dari pada haq bapa dan anaknya serta haq seluruh manusia. Karena dengan sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam Allah menyelamatkan dia dari neraka dan membimbingnya dari kesesatan. Yang dimaksud oleh hadits adalah mencurahkan seluruh kemampuan diri untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Para Shahabat Radiyallahu’anhum memerangi bapak-bapak, anak-anak dan saudara mereka bersama Rasulullah. Abu Ubaidah membunuh bapaknya karena bapaknya menyakiti Rasulullah, Abu Bakar mau membunuh anaknya yang bernama Abdurrahman ketika perang Badar, beliau hampir dapat membunuhnya.
Maka barangsiapa yang sudah mendapatkan dirinya seperti ini telah benar bahwa hawa nafsunya telah mengikuti apa yang dibawa oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.




HADITS KEEMPAT PULUH DUA

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: قَالَ تَعَالَى: يَاابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ مَادَعَوْتَنِيْ وَرَجَوْتَنِيْ غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ مِنْكَ وَلاَ أُبَالِيْ، يَاابْنَ آدَمَ، لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوْبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِيْ غَفَرْتُ لَكَ. يَاابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِيْ بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِيْ لاَتُشْرِكُ بِيْ شَيْئًا َلأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً. رواه الترمذي وقال: حديث حسن صحيح.

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu berkata: “Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Allah ‘Azza wajalla berfirman: “Wahai Ibnu Adam selama engkau berdo’a dan berharap kepada-Ku akan Aku ampuni dosamu walau bagaimanapun (besarnya) Aku tidak peduli.
Wahai Ibnu Adam kalau dosamu mencapai puncak bumi kemudian engkau minta ampun kepada-Ku niscaya akan Aku ampuni.
Wahai Ibnu Adam jika engkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa hampir sepenuh bumi tapi engkau berjumpa kepada-Ku dalam keadaan tidak berbuat syirik niscaya akan Aku berikan ampunan semisalnya” (HR. Tirmidzi beliau berkata: Hadits Hasan Shahih)[47].


Syarah:
Dalam hadits ini terdapat kabar yang agung, pemaafan dan kemurahan yang agung, serta berbagai macam karunia, kebaikan, kasing sayang dan anugerah yang tidak terhitung, hadits ini seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
لله أَفْرَح بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ بِضَالَّتِهِ لَوْ وَجَدَهَا
“Allah lebih merasa gembira dengan taubatnya seorang hamba dari gembiranya salah seorang kalian yang dapat menemukan kambali binatangnya yang hilang”.

Dari Abu Ayyub Radiyallahu’anhu ketika beliau menjelang sakaratul maut: “Aku telah menyembunyikan atas kalian satu hadits yang pernah aku dengar dari Rasulullah:
لَوْلاَ أَنَّكُمْ تذْنبُوْنَ لِخَلْقِ اللهِ خَلْقًا يذْنبُوْنَ فَيَغْفِرُ لَهُمْ
“Kalaulah kalian tidak berdosa niscaya Allah akan menciptakan makhluk yang menggantikan kalian dan kemudian mereka berbuat dosa kemudian Allah mengampuni dosa mereka” dan banyak lagi hadits yang semakna dengan hadits ini.
Perkataan dalam hadits: “Wahai Ibnu Adam selama engkau berdo’a dan berharap kepada-Ku” hadits ini sesuai dengan sabda Rasulullah:
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ فَلِيَظُنّ بِيْ مَا شَاءَ
“Aku sesuai dengan sangkaan hamba-Ku silahkan mereka mempunyai sangkaan semau mereka”, telah ada riwayat bahwasanya seorang hamba apabila berdosa kemudian menyesal dengan berkata: “Wahai Rabb aku melakukan dosa ampunilah aku, tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau, maka Allah berfirman: “Hamba-Ku telah tahu bahwa dia punya Rabb yang mengampuni dosa, mengadzab karena dosa, Aku persaksikan kepada kalian bahwa Aku telah mengampuninya, kemudian hamba tersebut melakukan dosa yang kedua ketiga dan Allah berfirman sama dengan yang pertama, kemudian berfirman: “Amalkanlah apa yang engkau kehendaki sungguh Aku telah mengampuni kalian”, yakni apabila berbuat dosa kemudian beristighfar.
Ketahuilah taubat mempunyai tiga syarat: Pertama: berhenti dari perbuatan maksiatnya, Kedua: menyesal atas apa yang ia sia-siakan, Ketiga: berazam untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut. Apabila dosanya berkaitan dengan haq hamba maka ia harus menunaikan haq saudaranya dan minta dihalalkan. Kalau dosanya antara ia dengan Allah tapi ada kifarat maka hendaknya ia melaksanakan kifarat, ini adalah syarat keempat. Kalau seorang hamba melaksanakan tiap harinya seperti ini dan bertaubat dengan syarat-syarat lainnya karena Allah, sungguh Allah akan mengampuninya.
Perkataan dalam hadits: “Walau bagaimanapun” yakni walau berulang kali engkau melakukan maksiat, perkataan dalam hadits: “aku tidak peduli” yakni aku tidak peduli dengan dosamu.
Perkataan dalam hadits: “Wahai Ibnu Adam kalau dosamu mencapai puncak bumi kemudian engkau minta ampun kepada-Ku niscaya akan Aku ampuni” yakni kalau dosa berupa benda yang memenuhi bumi dan langit, ini adalah puncak banyaknya dosa akan tetapi karena kemurahan dan kebijakan Allah serta pemaafannya yang lebih besar dan agung, tidak ada diantara keduanya kesesuaian dan tidak ada kemuliaan yang lain, maka hancurlah dosa alam di sisi kebijakan dan pemaafan Allah Subhanahu wata’ala.
Perkataan dalam hadits: “Wahai Ibnu Adam jika engkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa hampir sepenuh bumi tapi engkau berjumpa kepadaku dalam keadaan tidak berbuat syirik niscaya akan Aku berikan ampunan semisalnya” yakni datang kepada-Ku dengan dosa hampir sepenuh bumi.
Perkataan dalam hadits: “Kemudian bertemu dengan-Ku” yakni engkau mati dalam keadaan beriman tidak berbuat syirik kepada Allah. Tidak ada ketenangan bagi seorang mukmin selain bertemu dengan Rabbnya, Allah telah berfirman:
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَآءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيْمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan akan mengampuni dosa yang selainnya bagi orang yang dikehendaki” (An Nisa: 48), dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:  “Tidaklah seorang hamba dianggap terus menerus melakukan dosa jika beristighfar walau dalam sehari melakukan dosa sembilan puluh kali”, Abu Hurairah berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Baik sangka kepada Allah termasuk ibadah kepada Allah yang paling baik”.


TAMBAHAN DARI
IBNU RAJAB


HADITS KEEMPAT PULUH  TIGA

عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم: "أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا، فَمَا أَبْقَتِ الفَرَائِضُ، فَلأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ". رواه البخاري ومسلم.
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhuma: "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Berikanlah warisan kepada yang berhak. Jika masih ada tersisa maka yang paling didahulukan dalam mendapatkannya adalah laki-laki yang paling utama (paling dekat dengan mayit)”[48]


HADITS KEEMPAT PULUH  EMPAT

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ:  "الرَّضَاعَةُ تُحَرِّمُ مَا تُحَرِّمُ الْوِلاَدَةُ". رواه البخاري ومسلم.
Dari Aisyah Radhiallahu ‘anha Dari nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Susuan bisa mengharamkan seperti halnya kelahiran”[49]

HADITS KEEMPAT PULUH  LIMA

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللّهِ أَنّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللّهِ صلى الله عليه وسلم عَامَ الْفَتْحِ وَهُوَ بِمَكَّةَ يَقُولُ: "إنّ اللّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ" فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ، فَإِنَّهُ يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ، وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ، وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النّاسُ؟ قَالَ: "لاَ. هُوَ حَرَامٌ" ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم عِنْدَ ذَلِكَ: "قَاتَلَ اللّهُ الْيَهُودَ، إنَّ اللّهَ حَرَّمَ عَلَيْهِمُ الشُّحُومَ، فأَجْمَلُوهُ، ثُمَّ بَاعُوهُ، فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ". رواه البخاري ومسلم.
Dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu anhu, beliau mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata di Mekkah ketika tahun Fathu Mekkah: “Sesungguhnya Allah dan RasulNya telah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi dan berhala”.
Dikatakan kepada beliau: Wahai Rasulullah, kabarkan kepadaku tentang lemak bangkai karena perahu-perahu telah dilumuri dengannya, diminyaki dengannya pula kulit (yang mau disamak) dan manusia menjadikannya untuk minyak lentera ?”
Rasulullah berkata: “Tidak, menjual bangkai itu haram”.
Kemudian beliau berkata: "Allah memerangi Yahudi, sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas mereka lemak bangkai kemudian mereka cairkan serta mereka jual dan mereka memakan hasil penjualannya”[50]


HADITS KEEMPAT PULUH ENAM

عَنْ أَبِي بُرْدَةَ، عن أبيه أَبِي مُوسى الأَشعَريِّ أنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم بَعَثَهُ إِلَى اليَمَنِ، فسأَلَهُ عَن أَشربةٍ تُصنَعُ بِها، فقال:"وَمَا هِيَ؟" قَالَ: البِتْعُ وَالمِرْزُ، فقِيلَ لأبي بُردَةَ: وما البِتْعُ؟ قال: نَبيذُ العسل، والمِرْزُ نْبيذُ الشَّعير، فقال:"كُلُّ مُسكرٍ حَرامٌ". رواه البخاري ومسلم.
Dari Abu Burdah dari bapaknya yakni Abu Musa Al Asy’ary Radhiallahu anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusnya ke Yaman dan bertanya kepadanya tentang minuman yang dibuat di Yaman.
Beliau bertanya: “Apa itu? “
Abu Musa berkata: “al Bit’u dan al Mizru”.
Ditanyakan kepada Abu Musa: “Apa itu al Bit’u?”
Beliau jawab: “Saripati madu adapun al Mizru adalah saripati gandum”.
Maka Rasulullah berkata: “Semua yang memabukkan adalah haram”[51]


HADITS KEEMPAT PULUH TUJUH

عَنِ المِقْدَامِ بنِ مَعدِ يَكْرِب قال: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: "مَا مَلأَ آدَمِيٌّ وِعاءً شَرًا مِنْ بَطْنٍ، بِحَسْبِ ابنِ آدَمَ أَكَلاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ، فَإِنْ كَانَ لا مَحَالَةَ، فَثُلثٌ لِطَعَامِهِ، وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ، وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ". رواه الترمذي.
Dari Miqdam bin Ma’di Karib Radhiallahu anhu: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Tidaklah seorang anak adam memenuhi satu tempat yang lebih jelek dari (memenuhi) perutnya.
Cukuplah bagi anak adam makanan yang bisa menegakkan tulang punggungnya, jika harus (lebih dari itu) maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumnya dan sepertiga untuk nafasnya”[52]

HADITS KEEMPAT PULUH DELAPAN

عَنْ عَبْدِاللهِ بن عمرٍو رضي الله عنهما عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: "أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا {خَالِصًا}، وَإِنْ كَانَتْ خَصْلةٌ مِنْهُنَّ فِيهِ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا: مَنْ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ ". رواه ومسلم.
Dari Abdullah bin Amr Radhiallahu anhu dari nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Empat perkara, barangsiapa yang ada padanya keempat perkara tersebut maka ia munafiq tulen, jika ada padanya satu diantara perangai tersebut berarti ada padanya satu perangai kenifakan sampai meninggalkannya: (1)Yaitu seorang jika bicara dusta, (2)jika membuat janji tidak menepatinya, (3)jika berselisih melampui batas dan (4)jika melakukan perjanjian mengkhianatinya”[53]


HADITS KEEMPAT PULUH SEMBILAN

عَنْ عُمرَ بنِ الخَطَّابِ رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: "لَوْ أنَّكُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيرَ، تَغدُو خِمَاصًا، وَتَرُوحُ بِطَانًا". . رواه الترمذي.
Dari  Umar bin Khaththab Radhiallahu anhu Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata: “Jika kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal niscaya Allah akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana memberi rezeki kepada burung. Keluar di pagi hari dalam keadaan lapar dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang[54]

HADITS KELIMA PULUH

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُسْرٍ قَالَ: أَتَى النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم رَجُلٌ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ شَرَائِعَ الإِسْلاَمِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيْنَا، فَبَابٌ نَتَمَسَّكُ بِهِ جَامِعٌ؟ قَالَ: "لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ".   رواه أحمد.
Dari Abdullah bin Busr: Datang seorang laki-laki kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya syariat Islam itu terasa banyak bagiku, maka (ajarilah aku) satu bab (ilmu) yang aku akan berpegang teguh dengannya?.
Rasulullah menjawab: Hendaknya lisanmu terus menerus berdzikir kepada Allah”[55]


Edit baru sampai hal:118 (18/4/11) Mubarak




[1] Syaikh Muhammad Nashiruddin Albani – rahimahullah – berkata: “Telah masyhur dikalangan banyak ahlul ilmi dan thalibul ilmi bahwa hadits dhaif boleh dipakai dalam masalah fadhailul amal. Mereka menyangka tidak ada ikhtilaf dalam masalah tersebut, bagaimana tidak menyangka demikian jika Imam Nawawi sendiri telah menyebutkan kesepakatan ulama dalam masalah ini dibanyak tempat dalam kitab-kitabnya. Apa yang ia kemukakan itu harus dikritik, karena perselisihan dalam masalah ini sudah ma’ruf, sebagian ulama muhaqqiqin menegaskan bahwa hadits dhaif tidak boleh digunakan secara mutlak, tidak boleh digunakan dalam masalah ahkam ataupun fadhailul amal. Syaikh Alqasimi rahimahullah berkata didalam kitab “Qawa’idut Tahdits” (Hal: 94): “Ibnu Sayidinnas meriwayatkan dalam “Uyunul Atsar” yang berpendapat demikian adalah Yahya bin Ma’in, beliau menisbatkan juga dalam “Fathul Mughits”yang berpendapat demikian Abu Bakar ibnul Arabi, pendapat Bukhari dan Muslim juga menyatakan demikian… dan juga madzhabnya Ibnu Hazm …” Aku katakan (Syaikh Albani): “Inilah yang benar karena beberapa hal …”(Dinukil dari kitab “Tamamul Minnah” hal: 34 . Barang siapa yang ingin lebih jelas silahkan merujuk ke kitab tersebut-pent.)

[2] HR Bukhari dan lainnya
[3] HR Tirmidzi (2666) dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi.
[4] HR Bukhari (6689) Muslim (1907)
Faedah: Teks hadits yang disebutkan oleh Imam Nawawi adalah gabungan dari beberapa riwayat

[5] Ibnu Rajab menyatakan dalam kitabnya “Jami’ul Ulum Wal Hikam”: “Telah masyhur bahwa kisah muhajir Ummu Qais adalah sebab diucapkannya hadits: “Barangsiapa hijrah untuk dunia yang ia dapatkan atau wanita yang ia nikahi …”. Banyak muta’akhirin yang menyebutkan hal ini dalam kitab-kitab mereka, tapi kami tidak dapatkan keterangan ini dalam hadits yang sanadnya sahih. Wallahu A’lam.
[6] Syaikh Muhamad bin Shalih Al Utsaimin berkata:
Diambil faidah dari perkataan Nabi:
v  Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya” bahwa tidak ada satu amalan pun kecuali disertai niat, karena orang yang berakal dan berbuat dengan pilihannya tidak mungkin melakukan amalan tanpa niat. Hingga sebagian ulama berkata: “Kalaulah Allah membebankan kepada kita untuk mengamalkan suatu amalan tanpa niat niscaya itu adalah beban yang tidak mampu dilakukan”. Bercabang dari faidah ini:
v  Bantahan terhadap orang yang was-was, yang mengamalkan amalan beberapa kali, kemudian setan berkata kepadanya: “Kamu belum niat”. Kita katakan kepada mereka: “Tidak, tidak mungkin kalian mengamalkan amalan kecuali dengan niat. Janganlah memberat-beratkan diri dan tinggalkanlah was-was!”
v  Bahwasanya manusia diberi pahala atau dosa atau tidak mendapatkan kebaikan, semuanya dengan niat, berdasarkan sabda nabi: “Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya maka hjrahnya kepada Allah dan rasul-Nya.
v  Bahwa amalan sesuai dengan tujuannya. Kadang suatu perkara yang mubah menjadi suatu ketaatan jika diniatkan untuk kebaikan. Misalnya makan dan minum dengan niat untuk taat kepada Allah. Nabi bersabda:
تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ.
Artinya: “Makan sahurlah kalian karena dalam makan sahur itu ada barakah”

Diantara faidah hadits ini: Seorang pengajar seyogyanya membuat permisalan yang menjelaskan hukum. Nabi telah membuat permisalan dengan hijrah, yaitu berpindah dari negeri syirik ke negeri Islam dan menjelaskan bahwa amalan hijrah kadang mendatangkan pahala bagi seseorang tapi bagi yang lainnya tidak mendatangkan pahala. Orang yang berhijrah dengan niatan hijrah karena Allah dan rasul-Nya akan mendapatkan pahala dan mendapatkan apa yang ia maksud. Adapun orang yang hijrah karena dunia yang akan didapat atau wanita yang akan dinikahi tidak akan mendapatkan pahala (Lihat Ta’liqat Arbain karya Syaikh Ibnu Utsaimin)

[7] HR Muslim (1)

[8] HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Salim Alhilai ‘Iqadhul Himam. Lihat penjelasan hadits ini di no: sembilan belas.
[9] (Jami’us Shahih: 4442 sebagaimana dalam “Qawaid wal fawaid”)
[10] HR Bukhari (8) Muslim (16)

[11] Syaikh Ibnu Utsaimin menyebutkan beberapa faedah hadits ini diantaranya:
[12] HR Bukhari (8) Muslim (16)

[13] HR. Bukhari dari hadits Sahl bin Sa’ad, lihat Iqadhul Himam hal: 31.
[14] Syaikh Ibnu Utsaimin menyebutkan beberapa faedah hadits ini:
1        Penjelasan tentang fase penciptaannya manusia dalam perut ibunya ada empat tahapan. Pertama: tahapan Nutfah selama empat puluh hari, kedua: tahapan ‘Alaqah selama empat puluh hari, ketiga: tahapan Mudghah selama empat puluh hari dan keempat: tahapan terakhir setelah ditiup ruh padanya. Janin tumbuh dalam perut ibunya dalam tahapan ini.
2        Diantara faidah hadits ini adalah: jika janin belum berumur empat bulan maka belum dihukumi sebagai manusia yang sudah hidup, dengan demikian jika (kandungan) keguguran kurang dari empat bulan tidak dimandikan, tidak dikafani dan juga tidak dishalati karena dia belum teranggap manusia.
3        Diantara faidah hadits ini adalah: setelah empat bulan ditiup padanya ruh dan dihukumi sebagai manusia yang hidup, jika keguguran sudah berumur empat bulan harus dimandikan, dikafani dan dishalati sebagaimana bayi berumur sempurna sembilan bulan.
4        Diantara faidah hadits ini adalah: bagi rahim ada malaikat yang ditugaskan, berdasarkan perkataan Rasulullah: “Diutus kepadanya malaikat “ yakni malaikat yang ditugaskan di rahim.
5        Diantara faidah hadits ini adalah: keadaan manusia ditulis ketika masih diperut ibunya (yaitu tentang) rezekinya, amalannya, ajalnya, celaka atau bahagianya.
6        Diantara faidah hadits ini adalah: penjelasan hikmah Allah ‘azza wa jalla, bahwa segala sesuatu disisinya itu dengan ajal yang ditentukan dengan kitab, yang tidak dimajukan dan tidak akan diakhirkan.
7        Diantara faidah hadits ini adalah: seseorang harus dalam keadaan takut dan khawatir, karena Rasulullah bersabda: “Sungguh salah seorang dari kalian mengamalkan suatu amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak yang memisahkan dia dari surga kecuali satu hasta, tapi catatan (ketentuan Allah) telah mendahuluinya, kemudian dia mengamalakan amalan ahli neraka sehingga dia pun masuk kedalam neraka.
Diantara faidah hadits ini adalah: seseorang jangan memutuskan Raja’nya (harapan) karena kadang ada orang yang lama melakukan maksiat kemudian Allah memberikan karunia hidayah hingga dia mendapat hidayah diakhir umurnya
[15] HR Bukhari (2697) Muslim (1718)

[16] Muslim (1718)
[17] Ibnu Rajab Rahimahullah berkata: “Hadits ini adalah salah satu pokok Islam yang agung, jika hadits “Innamal a’malu binniyat” adalah timbangan amal batin, maka hadits ini adalah timbangan amal dalam dhahir, sebagaimana orang yang beramal tidak ikhlas karena Allah tidak ada pahalanya, demikian pula semua amalan yang tidak ada syariatnya dari Allah dan rasul-Nya adalah tertolak… (‘Iqadhul Himam: 96).
[18] Faedah-faedah hadits yang disebutkan Syaikh Ibnu Utsaimin:
1.          Barangsiapa yang mengada-adakan satu perkara dalam Islam yang tidak disyariatkan maka tertolak walaupun niatnya baik. Berdasarkan faidah ini maka semua bid’ah tertolak tidak diterima dari yang mengamalkannya walaupun baik niatnya.
2.          Diantara faidah hadits ini: barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan walaupun disyariatkan tapi dilakukan tidak sesuai bentuk yang disyariatkan maka amalan tersebut tertolak berdasarkan riwayat yang kedua dalam riwayat Muslim. Atas dasar ini barangsiapa yang jual beli barang yang haram maka jual belinya batil, barangsiapa shalat sunnah tanpa ada sebab di waktu yang terlarang maka shalatnya batil, barangsiapa yang berpuasa di hari ‘ied (hari raya) maka puasanya batil, dan seterusnya. Karena semua ini bukan dari perintah Allah dan rasul-Nya sehingga menjadi batil dan tertolak.

[19] HR. Tirmidzi dan lainnya dan dishahihkan oleh

[20] Faedah dari Syaikh Ibnu Utsaimin:
Dari hadits ini ada beberapa faedah:
1.      Syariat Islam perkara halalnya jelas dan perkara haramnyapun jelas, adapun perkara yang mutasyabih diketahui oleh sebagian manusia.
2.      Seyogyanya bagi seorang muslim ketika samar atasnya satu perkara apakah halal ataukah haram hendaknya dia menjauhinya hingga jelas halalnya.
3.      Diantara faedah hadits ini: Jika seseorang terjatuh kepada perkara syubhat akan ringan baginya terjatuh pada perkara-perkara yang jelas haram. Jika sudah terbiasa melakukan perkara yang syubhat maka jiwanya akan mengajak dia melakukan perkara yang jelas haramnya maka ketika itulah ia binasa.
4.      Diantara faedah hadits ini: Bolehnya membuat pemisalan agar menjadi jelas perkara maknawi dengan perkara yang bisa diindera yakni memberi gambaran yang abstrak dengan yang bisa diindera hingga mudah memahaminya.
5.      Diantara faedah hadits ini: Bagusnya metode pengajaran Rasulullah dengan memberikan pemislan dan menjelaskannya.
6.      Diantara faedah hadits ini: Sumber kebaikan dan kejelekan adalah hati. Berdasar qaidah ini ada satu faedah bahwasanya wajib atas seorang muslim terus memperhatikan hatinya hingga istiqamah diatas kewajibannya.
7.      Diantara faedah hadits ini: Rusaknya dhahir adalah petunjuk rusaknya batin, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam “Jika hati baik baiklah seluruh badannya dan jika hati jelek jeleklah seluruh badannya” maka kerusakan dhahir menunjukkan rusaknya batin.

[21] Ibnu Rajab berkata: “Diantara macam nasihat yang paling besar adalah memberi nasihat kepada orang yang memusyawarahkan urusannya sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Jika ada saudaramu yang muslim minta nasihat kepadamu maka nasihatilah” (‘Iqadhul Himam: 129).
[22] Syaikh Ibnu Utsaimin menyebutkan faedah-faedah hadits ini:
1.       Tercakupnya agama dalam nasehat berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Agama adalah nasehat”
2.       Tempat nasehat ada lima: Bagi Allah, bagi kitab-Nya, Rasul-Nya, bagi pemimpin muslimin dan bagi seluruh muslimin.
3.       Diantara faedah hadits ini: Anjuran untuk memberi nasehat di lima perkara ini. Karena jika ini adalah perkara agama maka tidak diragukan lagi seorang manusia harus menjaga dan berpegang teguh dengan agamanya, oleh karena itu Nabi menjadikan nasehat di lima tempat tersebut.
4.       Diantara faedah hadits ini: Haramnya menipu, karena nasehat adalah agama adapun menipu adalah lawannya nasehat hingga menipu adalah menyelisihi agama. Telah shahih dari Nabi: “Barangsiapa yang menipu kami bukanlah golongan kami”.

[23] Ibnu Rajab berkata:  Sabda Rasulullah: “Dan hisabnya atas Allah” yakni dua kalimah syahadat jika disertai dengan melaksanakan shalat dan mengeluarkan zakat akan terjaga darah orang yang mengamalkannya, kcuali kalau dia melakukan perbuatan yang menghalalkan darahnya. Adapun di akhirat hisabnya atas Allah, jika dia jujur maka Allah akan masukkan ia ke surga dan jika dusta berarti ia termasuk kelompok munafik yang akan berada di neraka paling bawah. (‘Iqadhul Himam: 136).

[24] Faedah-faedah hadits dari syaikh Ibnu Utsaimin:
1.       Diantara faedah hadits ini: Wajibnya memerangi manusia hingga masuk agama Allah atau membayar jizyah, berdasarkan hadits ini dan dalil-dalil lain yang telah kami sebutkan.
2.       Diantara faedah hadits ini: Barangsiapa yang tidak mau mengeluarkan zakat boleh diperangi, karena Abu Bakar Radiyallahu’anhu dulu memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat.
3.       Diantara faedah hadits ini: Jika seseorang masuk Islam secara dhahir maka batinnya diserahkan kepada Allah, dengan adanya perkataan: “Jika mereka melakukan itu terjaga darah dan hartanya dariku adapun hisabnya atas Allah”.
4.       Diantara faedah hadits ini: Menetapkan adanya hisab yakni manusia akan dihisab amalannya, kalau baik akan dibalas dengan kebaikan kalau jelek dibalas dengan kejelekan, Allah berfirman:
`yJsù ö@yJ÷ètƒ tA$s)÷WÏB >o§sŒ #\øyz ¼çnttƒ. `tBur ö@yJ÷ètƒ tA$s)÷WÏB ;o§sŒ #vx© ¼çnttƒ.
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula” (Al Zalzalah: 7-8).

[25] Lafadz haditsnya: Dari Ibnu Abbas Radiyallahu’anhuma: “Rasulullah telah berkhutbah kepada kami, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah mewajibkan haji atas kalian”, maka Aqra bin Habis berkata: “Apakah setiap tahun ya Rasulullah, Rasulullah bersabda: “Jika aku katakan ya niscaya akan wajib tiap tahun, haji wajib satu kali sedangkan yang lebih dari sekali adalah sunnah” (HR. Tirmidzi dan lainnya, dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam shahih Abu Dawud: 1514).
[26] Faedah hadits dari syaikh Ibnu Utsaimin:
1.          Wajibnya menjauhi perkara yang dilarang Rasulullah, tentunya terlebih lagi yang dilarang oleh Allah, ini selama tidak ada dalil yang menunjukkan larangan tersebut adalah makruh.
2.          Diantara faedah hadits ini: Tidak boleh melakukan sebagian perkara yang dilarang akan tetapi wajib menjauhi semuanya, itu semua jika tidak ada perkara darurat yang membolehkan melakukannya.
3.          Diantara faedah hadits ini: Wajib mengamalkan perkara yang diperintahnya ini apabila tidak ada dalil yang menunjukkan perintah tersebut adalah sunnah.
4.          Diantara faedah hadits ini: Seseorang tidak wajib melakukan perkara yang lebih dari kemampuannya.
5.          Diantara faedah hadits ini: mudahnya agama Islam, ini karena tidak mewajibkan atas seseorang kecuali yang mampu ia kerjakan.
6.          Barangsiapa yang tidak mampu mengerjakan sebagian perkara yang diperintahkan cukup melakukan yang mampu ia lakukan. Barangsiapa yang tidak mampu shalat dengan berdiri boleh shalat dengan duduk, barangsiapa yang tidak bisa duduk boleh dengan berbaring. Barangsiapa yang bisa ruku’ maka ruku’lah dengan sempurna, jika tidak mampu maka ruku’lah dengan isyarat. Demikianlah ibadah yang lainnya seseorang melakukan sesuai dengan kadar kemampuannya.
7.          Diantara faedah hadits ini: Seseorang tidak boleh banyak bertanya. Karena banyak bertanya terutama di zaman masih turunnya wahyu kadang menyebabkan diharamkannya satu perkara yang tidak haram atau diwajibkannya satu perkara yang tidak wajib. Seseorang boleh bertanya sebatas yang ia butuhkan saja.
8.          Diantara faedah hadits ini: Banyak berselisih dan banyak bertanya adalah sebab kebinasaan, sebagaimana umat sebelum kita binasa dengan sebab itu.
Diantara faedah hadits ini: Peringatan agar jangan banyak tanya dan berselisih, karena hal tersebut telah membinasakan umat sebelum kita. Jika kita melakukannya sebentar lagi kita akan binasa seperti mereka.
[27] Dalam riwayat Tirmidzi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah tidak akan menerima shalat seseorang jika tidak bersuci, dan Allah tidak akan menerima shadaqah dari hasil korupsi (curian). (Dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi).
[28] Faedah dari syaikh Ibnu Utsaimin:
1.          Mensifati Allah dengan Thayib (baik) Dzat-Nya, sifat-Nya dan perbuatan-Nya.
2.          Mensucikan Allah dari semua sifat kurang.
3.          Amalan ada yang Allah terima dan ada yang tidak diterima.
4.          Allah menyuruh rasul dan umatnya untuk memakan makanan yang baik dan bersyukur kepada Allah.
5.          Bersyukur adalah amalan shalih berdasarkan firman Allah:
$pkšr'¯»tƒ ã@ߍ9$# (#qè=ä. z`ÏB ÏM»t6Íh©Ü9$# (#qè=uHùå$#ur $·sÎ=»|¹ (
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh” (Al Mu’minun: 51).
Dan Allah berfirman kepada orang beriman:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=à2 `ÏB ÏM»t6ÍhŠsÛ $tB öNä3»oYø%yu (#rãä3ô©$#ur ¬! bÎ) óOçFZà2 çn$­ƒÎ) šcrßç7÷ès? .
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah” (Al Baqarah: 172).
Ini menunjukkan bahwa bersyukur adalah amalan shalih.
6.          Diantara syarat dikabulkannya do’a adalah menjauhi makanan yang haram, berdasarkan sabda Nabi tentang orang yang makanannya haram, pakaiannya haram, diberi makanan yang haram: “Bagaimana bisa diterima do’anya”.
7.          Diantara sebab dikabulkannya do’a adalah ketika seseorang dalam safar.
8.          Diantara sebab dikabulkannya do’a adalah mengangkat dua tangan ketika berdo’a kepada Allah.
9.          Diantara sebab dikabulkannya do’a adalah tawassul kepada Allah dengan rububiyah-Nya karena dengannya penciptaan dan pengaturan.
10.       Para rasul dibebani untuk beribadah sebagaimana halnya orang beriman.
11.       Wajibnya bersyukur kepada Allah atas nikmat-Nya, berdasarkan firman-Nya: “Bersyukurlah kepada Allah”.
12.       Seyogyanya bahkan wajib atas seseorang untuk melakukan sebab yang akan menyampaikan ke tujuannya serta menjauhi sebab yang akan menghalangi tujuannya.

[29] Faedah hadits:
1.          Yang ditunjukkan oleh konteks hadits adalah meninggalkan perkara yang meragukan kemudian melakukan yang tidak meragukan.
2.          Seorang diperintah untuk menjauhi perkara yang akan menyebabkab kebimbangan.

[30] Faedah hadits:
1.          Keislaman seseorang berbeda-beda ada yang baik ada yang tidak, berdasarkan sabda Rasulullah: “Diantara bagusnya keislaman seseorang”.
2.          Diantara faedah hadits ini: seorang muslim hendaknya meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat dalam urusan dunia ataupun agamanya, karena itu akan lebih menjaga waktunya dan lebih menyelamatkan agamanya dan lebih mudah menguranginya, kalau dia masuk mengurusi urusan manusia yang tidak bermanfaat niscaya akan capai, akan tetapi jika dia berpaling darinya dan tidak sibuk kecuali dengan perkara yang bermanfaat akan menjadi ketentraman dan ketenangan baginya.
3.          Seorang muslim jangan menyia-nyiakan perkara yang bermanfaat bagi dirinya yakni yang penting baginya dalam masalah agama ataupun dunia, bahkan seharusnya dia menekuni dan sibuk dengannya dan melakukan cara yang lebih dekat untuk mendapatkan yang dimaksud.

[31] Faedah hadits:
1.          Iman bertingkat-tingkat, ada yang sempurna dan ada yang kurang, ini adalah madzhab ahlus sunnah waljama’ah bahwasanya iman bertambah dan berkurang.
2.          Diantara faedah hadits ini: Anjuran untuk mencintai kebaikan pada kaum mukminin, berdasarkan: “Hingga senang saudaranya mendapatkan apa yang ia cintai”.
3.          Diantara faedah hadits ini: peringatan mencintai bagi mukmin apa yang tidak ia senangi bagi dirinya, karena dengan berbuat itu berkurang imannya sampai-sampai Rasulullah menafikan iman yang menunjukkan pentingnya seorang senang saudara-saudaranya mendapatkan apa yang ia cintai.
4.          Diantara faedah hadits ini: Memperkuat ikatan diantara mukminin.
5.          Diantara faedah hadits ini: Baangsiapa yang mempunyai sifat seperti ini tidak akan mendhalimi seorang mukmin dalam harta, kehormatan atau keluarganya, karena ia tidak senang orang lain mendhaliminya maka tidak mungkin ia ingin mendhalimi orang lain.
6.          Diantara faedah hadits ini: Umat Islam adalah satu tangan dan satu hati, ini diambil dari makna kesempurnaan iman adalah senang saudaranya mendapatkan apa yang ia cintai untuk dirinya.
7.          Diantara faedah hadits ini: Menggunakan apa yang menyentuh perasaan dalam perkataan, dalam sabdanya: “Bagi saudaranya” kalau mau beliau bisa bersabda: “Tidak beriman seseorang kalian hingga senang orang mukmin mendapatkan apa yang ia cintai tapi beliau berkata: “Saudaranya” menumbuhkan perasaan seseorang untuk senang jika saudaranya mendapatkan apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.

[32] HR. Bukhari Muslim dan sudah dibahas pada hadits kedelapan.

[33] Faedah hadits:
1.        Menghormati seorang muslim, seorang muslim terjaga darahnya berdasarkan sabdanya: “Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan tiga sebab” diantara yang menyebabkan halalnya darah muslim adalah “Pezina yang sudah menikah” yaitu orang yang berzina setelah nikah yang benar dan menjimai istrinya, orang ini dirajam sampai mati. “Jiwa dibalas jiwa” yakni jika membunuh seseorang dan sempurna syarat qishash maka dibunuh, berdasarkan firman Allah:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNä3øn=tæ ÞÉ$|ÁÉ)ø9$# Îû n=÷Fs)ø9$# .
“Wahai orang-orang yang beriman, telah ditetapkan atas kalian qishash dalam pembunuhan” (Al Baqarah: 178).
Allah berfirman:
$oYö;tFx.ur öNÍköŽn=tã !$pkŽÏù ¨br& }§øÿ¨Z9$# ħøÿ¨Z9$$Î/
“Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa” (Al Maidah: 45).
Yang ketiga “Orang yang meninggalkan agamanya memisahkan diri dari jama’ah” yakni murtad, jika murtad setelah Islam halal darahnya karena berarti sudah tidak terlindungi lagi darahnya.
2.        Diantara faedah hadits ini: Wajib merajam pezina berdasarkan sabdanya: “Pezina yang sudah menikah”
3.        Diantara faedah hadits ini: Bolehnya qishash akan tetapi seseorang boleh memilih – yakni yang berhak mengqishash bisa memilih – antara mengqishash dan memaafkan dengan diyat (denda) atau memaafkan tanpa diyat.
4.        Diantara faedah hadits ini: Wajibnya membunuh orang murtad jika tidak bertaubat.

[34] HR. Tirmidzi dan akan dibahas pada hadits no. 29.
[35] Faedah hadits:
1.       Wajibnya memuliakan tetangga yaitu dengan cara menghilangkan gangguan kepadanya serta memberikan perbuatan baik kepadanya. Barangsiapa yang tidak berusaha menghilangkan gangguan pada tetangganya bukanlah seorang mukmin, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:
            
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: وَاللهِ لاَيُؤْمِنُ وَاللهِ لاَيُؤْمِنُ وَاللهِ لاَيُؤْمِنُ قَالُوْا: مَنْ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَنْ لاَيَأْمَنُ جَارَهُ بِوَائقه.
            “Demi Allah tidaklah beriman, Demi Allah tidaklah beriman, Demi Allah tidaklah beriman” Para shahabat bertanya: Siapa wahai Rasulullah?Beliau menjawab: “Orang yang tetangganya tidak aman dari gangguan dia” (HR. Bukhari).
2.       Diantara faedah hadits ini: Wajibnya menghormati tamu, berdasarkan sabda Rasulullah: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya memuliakan tamunya”. Termasuk memuliakan tamu adalah dengan mebaguskan jamuannya. Jamuan yang wajib adalah sehari semalam, adapun selebihnya adalah sunnah. Seorang yang bertamu tidak sepatutnya berlama-lama akan tetapi singgah sekedar kebutuhannya, dan jika melebihi tiga hari hendaknya minta ijin kepada tuan rumah dan jangan meberatkannya.
3.       Diantara faedah hadits ini: Islam menjaga tetangga dan tamu, ini menunjukkan sempurnanya Islam dan bahwasanya Islam mengandung pemenuhan hak Allah dan hak manusia.
4.       Diantara faedah hadits ini: Boleh menafikan iman dalam artian menafikan kesempurnaannya, berdasarkan sabda Rasulullah: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir” menafikan iman ada dua bagian: Pertama: Penafian mutlak yang dengannya seseorang menjadi kafir keluar dari Islam. Kedua: Mutlak naïf yaitu yang dengannya seseorang kufur dalam perkara yang dia remehkan akan tetapi bersamanya masih ada iman, inilah manhaj ahlus sunnah wal jama’ah bahwasanya pada seseorang kadang terkumpul perangai iman dan perangai kekufuran.

[36] HR. Abu Dawud dan Tirmidzi,
[37] Faedah dari syaikh Ibnu Utsaimin:
Diambil faedah dari hadits ini seorang mufti dan pengajar seyogyanya mengetahui keadaan orang yang minta fatwa dan orang yang belajar, serta menjawabnya sesuai keadaan yang dibutuhkan, walaupun jika bicara dengan yang lain akan menjawab dengan jawaban yang berbeda.

[38] Faedah dari syaikh Ibnu Utsaimin:
1.       Allah menetapkan berbuat baik pada segala sesuatu sampaipun dalam menyembelih karena Allah memerintahkan berbuat baik padanya.
2.       Diantara faedah hadits ini: Wajib berbuat baik dalam membunuh yaitu dengan cara yang termudah untuk menghilangkan nyawanya dan juga wajib berbuat baik ketika menyembelih yaitu dengan melakukan cara terbaik dalam usaha menghilangkan ruhnya, akan tetapi tentunya dengan cara yang disyariatkan.
3.       Diantara faedah hadits ini: Dituntut untuk meneliti alat untuk menyembelih berdasarkan sabdanya: “Hendaknya salah seorang kalian menajamkan pisaunya”
4.       Diantara faedah hadits ini: berusaha untuk menenangkan binatang sembelihan ketika menyembelih diantaranya dengan membaringkannya dengan lemah lembut tidak kasar dalam membaringkannya, juga dengan meletakkan kaki penyembelih pada leher binatang sembelihan tersebut dan membiarkan dua kaki dan dua tangannya tanpa diikat karena itu akan lebih menenangkannya dan membuatnya bebas dalam bergerak dan juga akan lebih mudah keluarnya darah.

[39] HR. Tirmidzi,

[40] Faedah dari syaikh Ibnu Utsaimin:
1.         Semangatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam membimbing umatnya dan mengarahkan mereka kepada kebaikan dan kemaslahatan, diantaranya dengan mewajibkan bertaqwa kepada Allah dimanapun berada dan mewajibkan bertaqwa kepada Allah dalam keadaan sendiri ataupun kelihatan orang lain, berdasarkan sabdanya: “Bertaqwalah dimanapun kamu berada”
2.         Diantara faedah hadits ini: Isyarat bahwa kejelekan jika diiringi oleh kebaikan, maka kebaikan tersebut akan menghapuskan dan menghilangkannya secara total, ini umum mencakup semua kebaikan dan kejelekan. Jika kebaikan disini maksudnya adalah taubat karena memang taubat akan menghapus dosa sebelumnya. Adapun jika yang dimaksud selain taubat yaitu seorang melakukan kejelekan kemudian melakukan perbuatan baik maka ini akan ditimbang jika ternyata amal baiknya lebih unggul dari kejelekan hilanglah pengaruh kejelekan itu, sebagaimana firman Allah:
ßìŸÒtRur tûïκuqyJø9$# xÝó¡É)ø9$# ÏQöquÏ9 ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# Ÿxsù ãNn=ôàè? Ó§øÿtR $\«øx© ( bÎ)ur šc%Ÿ2 tA$s)÷WÏB 7p¬6ym ô`ÏiB @AyŠöyz $oY÷s?r& $pkÍ5 3 4s"x.ur $oYÎ/ šúüÎ7Å¡»ym  .
           “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, Maka tiadalah dirugikan seseorang sedikitpun, walau seberat biji sawipun pasti kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah kami sebagai pembuat perhitungan” (Al Anbiya:47).
          
           Kemudian Rasulullah bersabda: “Bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik, Nabi tidak menyebut dengan khusus cara akhlak yang baik karena akhlak baik berbeda-beda sesuai dengan keadaan manusianya. Kadang baik menurut seseorang tapi orang lain tidak berpendapat demikian. Orang berakal akan tahu dan bisa menimbang.

[41] Faedah dari syaikh Ibnu Utsaimin:
1.         Nabi bergaul dengan lemah lembut dengan orang yang dibawah derajatnya dimana beliau berkata: “Ya ghulam, aku ajari kamu beberapa kalimat”
2.         Diantara faedah hadits ini: Seorang yang akan menyampaikan ucapan penting seyogyanya mendahului dengan ucapan yang menggugah perhatian, dimana beliau berkata: “Ya ghulam, aku ajari engaku beberapa kalimat”
3.         Diantara faedah hadits ini: Barangsiapa yang menjaga Allah maka Allah akan menjaganya. Berdasarkan sabdanya: “Jagalah Allah niscaya Allah akan menjagamu”. Telah dijelaskan makna jagalah Allah niscaya Allah akan menjagamu.
4.         Diantara faedah hadits ini: Barangsiapa yang menyia-nyiakan Allah – yakni menyia-nyakan agama-Nya – maka Allah akan menyia-nyiakannya dan tak akan menjaganya. Allah berfirman:
Ÿwur (#qçRqä3s? tûïÏ%©!$%x. (#qÝ¡nS ©!$# öNßg9|¡Sr'sù öNåk|¦àÿRr& 4 šÍ´¯»s9'ré& ãNèd šcqà)Å¡»xÿø9$# .
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka Itulah orang-orang yang fasik” (Al Hasyr: 19).


5.         Diantara faedah hadits ini: Barangsiapa yang menjaga Allah, maka Allah akan membimbing dan menunjukinya kepada kebaikan dan barangsiapa yang menjaga Allah, Allah akan menolak kejelekan darinya, karena sabdanya: “Jagalah Allah niscaya kamu dapati Dia ada dihadapanmu” seperti sabdanya dalam lafadz lain: “Akan kamu dapati dihadapanmu”.
6.         Diantara faedah hadits ini: Jika seseorang butuh bantuan hendaknya minta bantuan kepada Allah, akan tetapi tidak dilarang minta bantuan kepada selain Allah yakni kepada manusia yang mungkin bisa menolongnya berdasarkan sabda Nabi: “Engkau membantu seseorang dalam tunggangannya, engkau bawakan kepadanya atau engkau angkatkan barangnya keatas kendaraannya adalah shadaqah.
7.         Umat tidak bisa memberi manfaat kepada seseorang kecuali jika Allah telah menetapkannya dan juga tidak bisa memberi mudharat kepada seseorang kecuali Allah telah menetapkan atasnya.
8.         Seorang hamba hendaknya menggantungkan harapannya kepada Allah dan jangan berpaling kepada makhluk karena makhluk tidaklah memiliki manfaat ataupun mudharat.
9.         bahwasanya segala sesuatu telah dicataat dan telah selesai pencatatannya, telah ada riwayat yang shahih dari Rasulullah bahwasanya Allah telah mencatat takdir makhluk lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.
10.      Dalam riwayat lain bahwasanya jika seorang hamba mengenal Allah dengan mentaati-Nya ketika sehat dan lapang, niscaya Allah akan mengenalnya ketika dia dalam keadaan kesulitan, Allah akan berlemah lembut kepadanya dengan menolongnya serta menghilangkan kesulitannya.
11.      Jika Allah telah menetapkan sesuatu atas manusia maka tidak akan meleset darinya, dan jika Allah tidak menetapkan sesuatu atas hamba maka tidak akan mengenainya.
12.      Kabar gembira yang agung bagi orang-orang sabar yaitu bahwasanya pertolongan beriringan dengan kesabaran.
13.      Kabar gembira yang besar juga bahwasanya hilangnya kesulitan dan kesusahan beriringan dengan adanya kesulitan, setiapkali kesulitan menimpa seorang hamba maka Allah akan memberinya jalan keluar.
14.      Kabar gembira yang besar yaitu jika seseorang tertimpa kesulitan tunggulah datangnya kemudahan, Allah telah menyebutkan hal ini dalam Al Qur’an:
¨bÎ*sù yìtB ÎŽô£ãèø9$# #·Žô£ç  . ¨bÎ) yìtB ÎŽô£ãèø9$# #ZŽô£ç .
Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan,  sungguh bersama kesulitan ada kemudahan” (Al Insyirah: 5-6).  

Ketika terasa sulit satu perkara atasmu maka bersegeralah menghadap Allah menunggu kemudahan dari-Nya dan membenarkan janji-Nya.

[42] Faedah dari syaikh Ibnu Utsaimin:
Dari hadits ini bisa diaimbil faedah: Bahwa sifat malu termasuk perkara yang ada dalam syariat terdahulu. Seseorang hendaknya tegas. Jika satu perkara tidak membuatnya malu lakukanlah, kemutlakan ini dibatasi selama melakukannya tidak menimbulkan kerusakan, jika menimbulkan kerusakan kerusakan jangan dilakukan karena khawatir terjadinya kerusakan ini.

[43] Faedah dari Syaikh Ibnu Utsaimin:
1.       Semangat para shahabat untuk bertanya tentang perkara yang bermanfaat bagi agama dan dunia mereka.
2.       Pemahaman Abu ‘Amr atau Abu Amrah dimana beliau bertanya dengan pertanyaan yang agung ini, yang merupakan perkara tertinggi, tidak butuh lagi bertanya kepada yang lainnya. Ketika beliau berkata: “Katakanlah kepadaku dalam Islam satu perkataan yang tidak akan aku tanyakan lagi kepada seorangpun selainmu”
3.       Wasiat yang paling baik dan paling mencakup adalah yang terkandung dalam hadits ini, iman kepada Alloh kemudian istiqamah diatasnya berdasar sabda Rasululloh: “Aku beriman kepada Alloh kemudian istiqamahlah”
4.       Diantara faedah hadits ini: Iman kepada Alloh bukan berarti tidak butuh istiqamah bahkan harus beriman kepada Alloh dan istiqamah diatas agama-Nya.
5.     Agama Islam dibangun di atas dua perkara ini, iman tempatnya di hati dan istiqamah tempatnya pada anggota badan walaupun hati ada bagiannya namun asalnya adalah anggota badan, wallohu a’lam.

[44] Faedah dari syaikh Ibnu Utsaimin:
Semangat para shahabat dalam bertanya kepada nabi
2.Tujuan hidup ini adalah masuk syurga
3.Pentingnya shalat lima waktu merupakan masuk syurga beserta amalan lain yang disebutkan dalam hadits
4.Pentingnya puasa
5.Wajibnya menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram yakni seseorang melakukan yang halal dengan meyakini halalnya, menjauhi yang haram dengan meyakini haramnya. Akan tetapi  dalam perkara yang halal seorang punya pilihan untuk melakukannya atau tidak,sedangkan peerkara yang haram dia harus menjauhinya dengan diiringi keyakinan haramnya.

[45] Faedah :
1.          Anjuran untuk bersuci dan menjelaskan kedudukannya dalam agama,setengah dari iman.
2.          Anjuran untuk bertahmid dan bertasbih,karena dapat memenuhi timbangan,sedangkan mengumpulkan antara tasbih dan tahmid akan memenuhi apa yang ada diantara langit dan bumi.
3.          Anjuran untuk shalat yang merupakan cahaya dan dari faidah ini akan bercabang faidah lain yaitu membuka pintu ilmu dan pemahaman bagi manusia.
4.          Anjuran untuk bershodaqah dan penjelasan bahwa shodaqah adalah burhan dan dalil atas kebenaran iman orang yang bershodaqah tersebut.
5.          Anjuran untuk sabar yang merupakan cahaya karena sabar itu sulit bagi manusia sebagaimana sulit nya karena terik matahari.
6.          Alqur’an adalah hujah bagi atau atas manusia dan tidak ada yang tengah-tengah yang tidak menjadi hujah bagi atau atas manusia,akan tetapi [hanya ada dua] apakah ini[hujah bagi manusia]ataukah itu[hujah atas manusia].Kita meminta kepada Allah agar menjadikannya sebagai hujah bagi kita dan bermanfaat bagi kita.
·              Diantara faidah hadits ini juga :setiap manusia pasti beramal berdasarkan sabdanya:”Setiap manusia berpagi-pagi….” Dan telah tsabit bahwa beliau berkata: Nama-nama yang paling benar adalah harits dan hamam karena setiap manusia  itu harits[….] dan hamam[….]
·              Faidah hadits ini juga bagi orang yang beramal hanya ada dua pilihan apakah ia akan membebaskan dirinya ataukan membinasakan dirinya.jika ia melakukan ket aatan kepada Allah dan menjauhi maksiat  beerarti telah membebaskan dan memerdekakan dirinya dari bujukan syaiton ,jika sebaliknya berarti telah membinasakannya.


[46] HR Ibnu Abi ‘Ashim dalam As sunnah (15) Dan didhaifkan oleh Syaikh Albani dalam Dhilalul Jannah (15) juga oleh Syaikh Muqbil dalam Muqadimah Al Muqtarah hal 15-16.
[47] HR Tirmidzi (3540). Dibawakan oleh Syaikh Albani dalam As Shahihah (127)
[48] HR Bukhari (6732) Muslim (1615)
[49] HR Bukhari (3105) Muslim (1444)
[50] HR Bukhari (2236) Muslim (1581)
[51] HR Bukhari (6124) Muslim (2001)
[52] HR Tirmidzi (2380) Di shahihkan Syaikh Albani dalam Irwaul ghalil (1983) As Shahihah (2265).
[53] HR Muslim (58)
[54] HR Tirmidzi (2344) Disebutkan oleh Syaikh Albani dalam Ash shahihah (310) Syaikh Muqbil dalam Shahihul Musnad (986)
[55] HR Ahmad (17611) Sanad hadits ini dhaif. Syaikh Muqbil Memasukkan hadits ini dalam Shahihul Musnad dengan lafadz: “Kabarkan kepadaku satu perkara yang aku berpegang teguh dengannya..”