SYARAH
ARBA’IN AN-NAWAWIYAH
Karya
IBNU DAQIQIL ‘IED
Dilengkapi:
Tambahan delapan hadits dari Ibnu Rajab
Penjelasan derajat hadits dari Syaikh
Albani dan Syaikh Muqbil
Nukilan Faedah dari Ibnu Rajab, Syaikh Muhammad
bin Al Utsaimin dan Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad
Penerbit Al Mubarak
Judul
Asli:
Syarah
Arba’ina Haditsan an Nawawi
Penulis:
Ibnu
Daqiqil ‘Ied
Terbitan:
Maktabah
Darul Arqam
Edisi
Indonesia :
Syarah
Arba’in an Nawawi Ibnu Daqiqil ‘Ied
Alih
Bahasa:
Abu
Abdillah
Abdurrahman Mubarak Ata
Cetakan
Pertama: Dzul Qa’dah 1420 H. / Februari 2000 M.
Cetakan
kedua:
Penerbit:
Al-Mubarak
Cikalagan
Rt. 02/ 10 Cileungsi Bogor 16820
DAFTAR ISI
Dari Penerbit
Kata Pengantar
v
Hadits
Pertama:
Semua Amal
Tergantung Niatnya
v
Hadits
Kedua:
Islam, Iman dan
Ihsan
v
Hadits
Ketiga:
Rukun Islam
v
Hadits
Keempat:
Taqdir Manusia
v
Hadits
Kelima:
Semua yang
Bid’ah Tertolak
v
Hadits
Keenam:
Halal, Haram dan
Syubhat
v
Hadits
Ketujuh:
Agama itu
Nasehat
v
Hadits
Kedelapan:
Memerangi Orang
Kafir
v
Hadits
Kesembilan:
Jangan Terlalu
Banyak Bertanya
v
Hadits
Kesepuluh:
Allah
Memerintahkan yang Thayyib
v
Hadits
Kesebelas:
Tinggalkanlah
Semua yang Meragukan
v
Hadits
Kedua Belas:
Meninggalkan
yang Tidak Bermanfaat
v
Hadits
Ketiga Belas:
Mencintai
Saudara
v
Hadits
Keempat Belas:
Orang yang
Dihalalkan Darahnya
v
Hadits
Kelima Belas:
Berkatalah yang
Baik atau Diam
v
Hadits
Keenam Belas:
Jangan Marah
v
Hadits
Ketujuh Belas:
Menyembelih
dengan Cara yang Ihsan
v
Hadits
Kedelapan Belas:
Iringilah
Kejelekan dengan Kebaikan
v
Hadits
Kesembilan Belas:
Hanya Allah lah
yang Dapat Menolong
v
Hadits
Kedua puluh
v
Hadits
Kedua puluh satu
v
Hadits
Kedua puluh Dua
v
Hadits
Kedua puluh Tiga
v
Hadits
Kedua puluh Empat
v
Hadits
Kedua puluh Lima
v
Hadits
Kedua puluh Enam
v
Hadits
Kedua puluh Tujuh
v
Hadits
Kedua puluh Delapan
v
Hadits Kedua
puluh Sembilan
v
Hadits
Ketiga puluh
v
Hadits
Ketiga puluh Satu
v
Hadits
Ketiga puluh Dua
v
Hadits
Ketiga puluh Tiga
v
Hadits
Ketiga puluh Empat
v
Hadits
Ketiga puluh Lima
v
Hadits
Ketiga puluh Enam
v
Hadits
Ketiga puluh Tujuh
v
Hadits
Ketiga puluh Delapan
v
Hadits
Ketiga puluh Sembilan
v
Hadits Ke
empat puluh
v
Hadits Ke
empat puluh Satu
v
Hadits Ke
empat puluh Dua
v
Hadits Ke
empat puluh Tiga
v
Hadits Ke
empat puluh Empat
v
Hadits Ke
empat puluh Lima
v
Hadits Ke
empat puluh Enam
v
Hadits Ke
empat puluh Tujuh
v
Hadits Ke
empat puluh Delapan
v
Hadits Ke
empat puluh Sembilan
v
Hadits
KeLima Puluh
PENGANTAR PENERBIT
CETAKAN KEDUA (REVISI)
Alhamdulillah, Kami penerbit Al Mubarak dapat kembali
menerbitkan buku syarah Arbain karya Ibnu Daqiqil Ied ini.
Ilmu hadits adalah ilmu yang mulia. Dengannya
seorang mengetahui tafsir Al Qur’an yang benar, aqidah yang shahih, ibadah yang
sesuai sunnah Rosululloh sholAllahu 'alaihi wasallam dan akhlaq yang
mulia.diantara kitab terbaik dalam masalah hadts yang dianjurkan oleh para
ulama dibaca dan dihafal serta memahami makna dan kandungan faedahnya adalah
kitab Arba’in Nawawi yang ditulis oleh Imam Nawawi rahimahulloh.
Diantara bukti Kitab ini adalah kitab yang
bagus dan barokah
adalah kitab-kitab syarah kitab ini yang ditulis oleh para ulama.
Diantara para ulama yang menulis syarah
kitab ini adalah:
1.
Imam
Nawawi
2.
Ibnu Rojab
dalam kitabnya “Jami’ul ‘ulum wal hikam”
3.
Ibnu
Daqiqil ‘Ied
4.
Syaikh
Muhammad bin Sholih Utsaimin
5.
Syaikh
Abdul Muhsin Al Abad
6.
Syaikh
Hamad Al Anshory
Serta banyak lagi ahlul ilmi yang
mensyarah kitab ini.
Namun tak ada kitab yang sempurna selain
kitabulloh, dalam kitab Arbain Nawawi ini ada beberapa hadits yang
dilemahkan/diperbincangkan para ulama tentang keshohihannya.hadits-hadits yang
dilemahkan/diperbincangkan tersebut adalah:
1.
Hadits
Kedua belas
2.
Hadits
Kedelapan belas
3.
Hadits
Kedua puluh sembilan
4.
Hadits
Ketiga puluh
5.
Hadits
Ketiga puluh Satu
6.
Hadits
ketiga puluh sembilan
7.
Hadits
Keempatpuluh satu
Sebagai nasihat bagi kaum muslimin kami
berusaha membawakan keterangn para ulama
yang menerangkan hadits-hadits dalam kitab ini.kami khususkan nukilan
kami dari tiga orang ulama hadits:Ibnu rojab alhambali, Syaikh Al albani dan
syaikh muqbil.kami pun akan berusaha menukil faedah-faedah penting dari ulama
ahlus sunnah.
Dalam penyusunan buku ini kami mengambil
fawaid dari guru kami Abul Hasan Ali Ar Rojihi dalam tahqiq beliau terhadap
kitab Arbain Nawawi juga kami ambil fawaid dari tahqiq Muhamad bin Abdillah bin
Abdurahman Bajmal (salah seorang murid Syaikh Yahya hafidhahulloh).
Diantara kelebihan cetakan kedua ini dari
cetakan sebelumnya:
1.
buku ini
kami jadikan satu setelah sebelumnya menjadi dua buku
2.
kami
berusaha menyebutkan surat
dan no ayat yang disebutkan oleh Ibnu Daqiqil ‘Ied
3.
takhrij
hadits dan keterangan dari para ulama
4.
kami
nukilkan beberapa ketarangan penting para ulama ahlussunnah berkaitan dengan
kandungan kitab Arba’in An Nawawi
Sebagai penutup tak lupa kami ucapkan
terima kasih kepada guru-guru kami yang menjadi sebab kami cinta ilmu hadits
ini. Terutama kepada Syaikh Yahya bin Ali Alhajury, Syaikh Abdurahman Mar’i,
Syaikh Ali Ar Rojihi serta guru kami yang terus membimbing kami Ustadz Muhamad
Umar Sawed. Mudah-mudahan
Allah membalas kebaikan mereka dan orang tua serta orang-orang yang membantu
kami dalam menuntut ilmu terkhsus akhil kabir Abu Khodijah hafidzahullah.
Mudah-mudahan ini buku ini bermanfaat bagi
kaum muslimin, ikhlas karena Allah dan menjadi tambahan timbangan kebaikan
kami.
Kami minta kepada para pembaca yang
melihat kekurangan dalam cetakan kami ini untuk memberikan masukan dan
nasehatnya, Insya Allah anda akan menerima nasihatnya. Akhiru da’wana
anilhamdulillahirobil’alamin.
Cileungsi 22 Jumadil Awal 1428 H
Abu Abdillah Abdurahman Mubarak
DARI PENERBIT
CETAKAN PERTAMA
Alhamdulillah,
kami penerbit Al Mubarak dapat kembali menerbitkan buku yang Insya Allah
bermanfaat bagi kaum muslimin.
Kami
terjemah dan terbitkan buku ini karena para ulama Ahlus Sunnah menganjurkan
para penuntut ilmu untuk mempelajari hadits-hadits Rasulullah, dan diantara
kitab yang ringkas dalam masalah ini adalah Syarah Arba’in Nawawi karya Al
Allamah Ibnu Daqiqil ‘Ied.
Buku ini kami terbitkan menjadi dua buku,
pada buku ini baru kami sajikan terjemah hadits pertama sampai hadits kedua
puluh, hadits kedua puluh satu sampai keempat puluh Insya Allah kami sajikan
pada buku berikutnya.
Akhirnya mudah-mudahan Allah menjadikan
buku ini bermanfaat bagi pembaca khususnya dan kaum muslimin pada umumnya dan
juga menjadikannya sebagai salah satu amal shalih kami dalam menyebarkan ilmu
dan sunnah dengan pemahaman salafus shalih. Amiin.
Tak lupa segala kritik dan saran tetap kami
harapkan demi kesempurnaan risalah ini, karena kami yakin kami adalah orang
yang dha’if, semoga Allah meridhai kita semua.
Penerbit Al-Mubarak
KATA PENGANTAR
Kitab Arba’in An Nawawi ini disusun oleh Al
Imam Al Faqih Muhyiddin Abu Zakariya bin Syarif An Nawawi Ad Dimasyqi, beliau
lahir di Nawa Qaidah Al Jaulan bagian negeri Hauran di bawah pemerintahan
Damasqus, lahir 10 Muharram 631 H. dan wafat tahun 676 H. di tempat
kelahirannya.
Dan kitab syarah ini adalah karya Al
Imam Al Allamah Muhammad bin Ali bin Wahb bin Muthi’ yang dikenal dengan nama
Ibnu Daqiqil ‘Ied.
Beliau lahir di kota Yanbu’ hari sabtu 15
Sya’ban 625 H. dan wafat pada hari Jum’at 11 Shafar 702 H., beliau dimakamkan
di Shafil Muqtham pada hari sabtu, dimana saat itu orang jarang melakukannya.
Orang-orang bersegera untuk melihat jenazahnya, dan tentara Mesir berdiri
menunggu dishalatkannya jenazah beliau Rahimahullahu Ta’ala.
Segala puji bagi Allah Penegak bumi dan
langit, Pengatur seluruh makhluk, yang mengutus para rasul – shalawatullah
wasallamu ‘alaihim – kepada orang-orang yang sudah mukallaf (Baligh
dan berakal) untuk membimbing dan menjelaskan syariat-syariat agama kepada
mereka dengan dalil-dalil qath’i dan penjelasan-penjelasan yang penuh
bukti, aku memuji-Nya atas semua nikmat yang diberikan oleh-Nya, dan aku
meminta tambahan karunia dan keutamaan dari-Nya.
Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak
untuk diibadahi kecuali Allah, Dialah Dzat Yang Maha Perkasa, Pemurah dan Maha
Pengampun. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, habib
dan khalil-Nya dan beliau adalah makhluk yang paling mulia, dimuliakan dengan
Al Qur’anul Aziz sebagai mukjizat yang senantiasa ada sepanjang masa, dan juga
dimuliakan dengan sunnah yang menerangi orang yang mencari bimbingan, beliau
juga dikhususkan dengan memiliki Jawami’ul Kalim dan agama yang mudah. Shalatullahi
alaihi wa’ala saairin Nabiyyin wal mursalin wa aali kullin wa saarish shalihin.
Amma ba’du: Telah diriwayatkan kepada kita
dari Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Abu Darda, Ibnu
Umar, Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu
Ta’ala anhum dari banyak jalan dengan beragam riwayat, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam pernah bersabda:
“Barangsiapa yang menghapal untuk umatku empat puluh hadits dalam
masalah agamanya Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat termasuk golongan
fuqaha dan ulama”.
Dalam satu riwayat: “Allah akan membangkitkannya dikalangan orang
faqih dan orang alim”.
Dalam satu riwayat: “Allah akan membangkitkannya dalam keadaan
sebagai seorang yang faqih dan alim.”
Dalam riwayat Abu Darda “dan aku akan menjadi pemberi syafa’at
dan saksi baginya.” Dalam riwayat Ibnu Mas’ud: “Akan dikatakan
kepadanya: ”Masuklah dari pintu surga yang manapun yang kau mau”, dalam
riwayat Ibnu Umar: “Ditulis termasuk golongan ulama dan dikumpulkan pada
golongan syuhada”.
Banyak para ulama yang telah mengarang
kitab untuk membahas masalah ini. Dan sepengetahuanku yang pertama kali
menulisnya adalah Abdullah bin Mubarak, Muhammad bin Aslam at Thusi al ‘Alim
Rabbani, kemudian Al Hasan bin Sufyan al Ashbahani, Ad Daruquthni, Al Hakim,
Abu Nu’aim, Abu Utsman ash Shabuni, Abdullah bin Muhammad al Anshari, Abu Bakar
al Baihaqi, dan masih banyak yang lainnya.
Aku telah beristikharah (minta
petunjuk) kepada Allah untuk mengumpulkan hadits-hadits dalam rangka mengikuti
para imam dan para ulama dalam memelihara sumber ajaran Islam ini.
ليبلغ الشاهد منكم الغائب
Artinya:“Hendaknya orang yang hadir menyampaikan kepada orang
yang tidak hadir,”[2]
dalam hadits lain beliau bersabda:
نضرالله امرء سمع مقالاتي فأداها كما
سمع
Artinya: “Mudah-mudahan Allah memberi cahaya kepada orang yang
mendengar perkataanku kemudian memahaminya, kemudian dia menyampaikannya
sebagaimana ia mendengar.”[3]
Diantara para ulama itu ada yang
mengumpulkan empat puluh hadits dalam masalah ushuluddin, ada yang dalam
masalah furu’, masalah jihad, masalah zuhud, masalah adab dan khutbah,
semuanya mempunyai tujuan yang baik, mudah-mudahan Allah meridhai pengarangnya.
Akan tetapi aku punya pandangan untuk mengumpulkan empat puluh hadits yang
lebih penting dari itu semua, yaitu empat puluh hadits yang mencakup seluruh
masalah diatas, setiap haditsnya merupakan kaidah yang agung dari kaidah agama
ini, dan para ulama telah menyatakan bahwa sumber agama terpusat pada
hadits-hadits tersebut, ada pula yang menyatakan hadits-hadits tersebut
mengandung setengah atau sepertiga Islam dan pernyataan-pernyataan yang
semisalnya.
Kemudian aku berusaha agar dalam Arba’in
ini memuat hadits-hadits yang shahih, dan sebagian besarnya terdapat dalam
shahih Bukhari dan Muslim, aku sebutkan dengan tanpa sanad untuk memudahkan
menghafalnya, dan manfaatnya lebih merata Insya Allah Ta’ala, juga aku sertai
dengan bab dalam menjelaskan lafadz yang samar. Seyogyanya kita mengetahui
hadits-hadits ini karena mencakup perkara-perkara penting dan mengandung
peringatan untuk ta’at kepada Allah. Hal ini akan jelas bagi orang yang
memahaminya, Allahlah tempatku bersandar, kepada-Nya aku berserah diri,
bagi-Nya lah pujian dan nikmat, dan dengan-Nya lah bimbingan dan perlindungan.
HADITS PERTAMA
عَنْ أَمِيْرِ
الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفص عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ تَعَالىَ عَنْهُ قاَلَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهُِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يَقُوْلُ: إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ. وَإِنَّمَا
لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ،
فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ. وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ ِلدُنْيَا يُصِيْبُهَا
أَوِ أمْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلىَ مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ. رواه
البخاري ومسلم.
Dari Amirul mukminin Abi Hafs Umar bin Khattab
Radiyallahu ‘anhu: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya, dan sesungguhnya setiap
orang mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkan, barangsiapa yang hijrahnya
kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, dan
barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang akan didapatkan atau wanita yang
akan dinikahi, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari Muslim[4])
Syarah:
Hadits ini telah disepakati keshahihannya,
dan kedudukan hadits ini telah disepakati keagungannya dalam Islam. Hadits ini
sangat banyak faedahnya. Diriwayatkan oleh Abu Abdillah Al Bukhari dalam banyak
tempat di dalam kitabnya, dan Imam Abul Hasan Muslim bin Hajjaj meriwayatkan
diakhir kitabul jihad. Hadits ini merupakan salah satu sumber ajaran Islam.
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berkata: “Telah ada dalam hadits ini sepertiga
ilmu, ucapan ini diriwayatkan oleh Bukhari dan lainnya, dikatakan demikian
karena perbuatan hamba terjadi dengan hati, lisan dan anggota badannya. Dan
niat adalah salah satu dari tiga bagian ini. Juga telah diriwayatkan bahwa Imam
Syafi’i pernah berkata: “Hadits ini masuk dalam tujuh puluh bab masalah fiqih”.
Sekelompok ulama ada yang berkata: “Hadits ini sepertiga ilmu”.
Abdurrahman bin Mahdi berkata: “Semua
pengarang buku hendaknya memulai kitabnya dengan hadits ini, untuk mengingatkan
thalibul ilmi agar membenarkan niatnya.
Hadits ini jika dilihat dari akhir sanadnya
adalah hadits masyhur, tapi jika dilihat dari awal sanadnya adalah
hadits gharib, karena tidak ada yang meriwayatkan dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam kecuali Umar bin Khattab, tidak ada yang meriwayatkan dari
Umar kecuali Alqamah bin Abi Waqas, dan tidak ada yang meriwayatkan dari
Alqamah kecuali Muhammad bin Ibrahim attaimi, dan tidak ada yang meriwayatkan
dari Muhammad bin Ibrahim kecuali Yahya bin Sa’ad al Anshari. Kemudian setelah
itu menjadi masyhur diriwayatkan oleh lebih dari dua ratus orang dan sebagian
besar mereka adalah para imam.
Lafadz إنما untuk hashr (pembatasan):
menetapkan yang disebutkan dalam konteks hadits dan menafikan yang selainnya,
lafadz ini sebagai pembatas yang mutlaq kadang sebagai pembatas yang khusus,
hal ini dipahami dengan adanya qarinah, seperti firman Allah:
إِنَّمَا
أَنْتَ مُنْذِرُ مَنْ يَخْشَهَا
“Engkau hanyalah
seorang pemberi peringatan” (An Nazi’at: 45).
Dhahir ayat ini menunjukkan pembatasan
tugas Rasulullah hanya sebagai pemberi peringatan, padahal Rasulullah sifatnya
tidaklah terbatas itu saja, bahkan dia mempunyai sifat yang banyak dan bagus,
seperti pembawa kabar gembira dan lainnya.
Demikian pula firman Allah:
اعْلَمُوْا أَنَّمَا
الْحَيَوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ
“Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan suatu yang melalaikan”
(Al Hadid: 20).
Dhahir ayat ini menunjukkan pembatasan jika
dilihat dari pengaruhnya, adapun jika dilihat dari hakikat dunia itu sendiri,
kadang dunia menjadi satu kebaikan. Ayat ini hanya menunjukkan salah satu
pengaruh dunia terhadap mayoritas manusia.
Jika ada lafadz إنما perhatikanlah! Apabila konteks
dan maksud pembicaraan menunjukkan pembatasan yang khusus katakanlah demikian, jika tidak
maknakanlah dengan pembatasan yang mutlaq. Diantaranya sabda Rasulullah: “Amalan
itu tergantung niatnya” yang
dimaksud amalan dalam hadits ini adalah amalan syari’ah.
Maknanya: amalan tidak teranggap jika tanpa
niat, seperti wudhu, mandi, tayammum demikian pula shalat, zakat, puasa, haji, i’tikaf
dan seluruh ibadah. Adapun menghilangkan najis tidak butuh kepada niat karena
itu termasuk bab ترك dan bab tark tidak butuh
pada niat. Ada
juga sekelompok ulama berpendapat sahnya wudhu dan mandi tanpa niat.
Dalam sabda Rasulullah: ”Amalan itu
tergantung niat” ada kata yang mahdzuf (dihilangkan). Para ulama ikhtilaf dalam menentukan lafadz yang mahdzuf
tersebut, ulama yang mensyaratkan
niat dalam ibadah menyatakan: “Sahnya amalan itu dengan niat”, ulama
yang tidak mensyaratkan niat menyatakan: “Sesungguhnya sempurna tidaknya
amalan itu tergantung niat”.
Sabda beliau: “Sesungguhnya setiap orang
mendapatkan apa yang ia niatkan” Al Khattabi berkata “kalimat ini
memberikan makna khusus berbeda dengan kalimat yang pertama yaitu menentukan
amalan dengan niat. Syaikh Muhyidin menyebutkan faidah yang ia sebutkan:
“Bahwasanya menentukan amalan dengan niat adalah syarat, kalau seseorang
mempunyai kewajiban shalat qadha, dia tidak cukup meniatkan shalat yang
terluput, tapi disyaratkan untuk menentukan apakah shalat tersebut shalat
dhuhur, ashar atau selain keduanya. Kalaulah tidak ada kalimat kedua (yakni:
Sesungguhnya setiap orang mendapatkan apa yang ia niatkan) maka kalimat pertama
hanya menunjukkan bahwa sahnya amalan itu dengan niat tanpa mewajibkan untuk
menentukan niat, atau akan mengesankan demikian. Wallahu A’lam.
Sabdanya: “Barangsiapa hijrahnya kepada Allah
dan rasul-Nya maka hijranya kepada Allah dan rasul-Nya.” Yang telah
disepakati oleh ahli bahasa Arab: syarat dan jaza (syarat dan
jawab syarat) serta mubtada dan khabar haruslah berbeda. Jawabnya
adalah: “Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya” dalam
niat dan tujuannya “Maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya” dalam
hukum dan syari’at.
Hadits ini diriwayatkan karena ada sebab,
para ulama menukilkan bahwa ada seorang yang hijrah dari Mekkah ke Madinah
untuk menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Qais, dia tidak menginginkan
keutamaan hijrah, hingga iapun dijuluki “Muhajir Ummu Qais”.[5]
Wallahu A’lam.[6]
HADITS KEDUA
عَنْ عُمَرَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضًا قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ، إِذَ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ
شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ
السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ
عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالََ: يَامُحَمَّدُ أَخْبِرْنِيْ عَنِ الْإِسْلاَمِ، فَقَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ
أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهَ وَأَنَّّّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ،
وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ
إِلَيْهِ سَبِيْلاً" قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ فَعَجَبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ.
قَالَ: فَأَخْبَِرْنِيْ عَنِ اْلإِيْمَانِ. قَالَ: "أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلاَئِكَتِهِ،
وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ"
قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: "أَنْ تَعْبُدَ
اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ". قَالَ:
فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: "مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ
مِنَ السَّائِلِ" قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنْ أَمَارَتِهَا، قَالَ: "أَنْ
تَلِدَ اْلأََمَةُ رَبَّتَهَا. وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ
الشَّاءِ، يَتَطَاوَلُوْنَ فِيْ الْبُنْيَانِ". ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا
ثُمَّ قَالَ لِي: "يَا عُمَرُ! أَتَدْرِيْ مَنِ السَّائِلُ؟" قُلْتُ:
الله وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: "فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ
دِيْنَكُمْ". رواه ومسلم.
Dari Umar Radiyallahu’anhu juga: “Ketika
kami duduk di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba muncullah
seorang pria yang sangat putih bajunya dan sangat hitam rambutnya, tak terlihat
padanya bekas safar, dan tidak ada seorangpun yang mengenalinya. Kemudian orang
tersebut duduk di hadapan Rasulullah, menempelkan lututnya dengan lutut
Rasulullah dan meletakkan dua tangannya di paha Rasulullah seraya berkata: “Ya
Muhammad kabarkan kepadaku tentang Islam!,
Rasulullah bersabda: “Islam adalah engkau
bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah dan Muhammad
adalah utusanNya, engkau dirikan shalat, keluarkan zakat, puasa Ramadhan dan
haji ke Baitullah jika mampu.” Penanya tadi berkata: “Engkau telah benar,”kamipun
heran dia yang bertanya dia pula yang membenarkan.
Kemudian berkata: “Kabarkan kepadaku
tentang Iman!, Rasulullah menjawab: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan engkau beriman kepada hari akhir serta
mengimani qadar yang baik dan jeleknya”. Orang tersebut berkata: “Engkau
benar”, kemudian berkata: “Kabarkan kepadaku tentang Ihsan!, Rasulullah
menjawab: “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, dan jika
engkau tidak bisa melihat-Nya sesungguhnya Dia melihatmu”. Orang tersebut
berkata lagi: “Kabarkan kepadaku kapan hari kiamat!, Rasulullah menjawab: “Yang
ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya”, orang tersebut bertanya lagi:
“kabarkan kepadaku tanda-tandanya! Rasulullah menjawab: “Seorang budak
melahirkan tuannya, orang-orang yang telanjang kaki dan badan serta miskin
berlomba-lomba untuk meninggikan bangunan”. Umar berkata: “Orang itu pun pergi,
dan aku pun diam beberapa saat, kemudian Rasulullah berkata: “Wahai Umar
tahukah engkau siapa orang yang bertanya tadi?, aku menjawab: “Allah dan
rasul-Nya yang lebih tahu”, Rasulullah bersabda: “Dia adalah Jibril datang
untuk mengajari masalah agama kalian” (HR.
Muslim)[7].
Syarah:
Ini adalah hadits yang agung, telah
mencakup seluruh kewajiban amal yang dhahir maupun yang batin, ilmu-ilmu syar’i
seluruhnya kembali kepada hadits ini dan tercabang darinya, karena hadits ini
mengandung seluruh ilmu sunnah, sehingga seperti induknya sunnah, sebagaimana
Al-Fatihah dinamakan Ummul Qur’an karena mengandung seluruh isi al-Qur’an.
Dalam hadits ini ada dalil disyariatkannya
memperbagus pakaian dan penampilan serta berpakaian bersih ketika hendak
menemui ulama, orang yang mempunyai kedudukan atau hendak menemui raja, karena
kedatangan Jibril itu adalah untuk mengajari manusia dengan perkataan, sikap
serta keadaannya.
Perkataan dalam hadits ( ( لايرى عليه أثر السفرyang masyhur dengan dhommah huruf ya’ pada kata يرى adalah mabni lima
lam yusamma fa’iluhu, sebagian lagi meriwayatkan dengan fathah huruf nun,
keduanya benar.
Perkataan dalam hadits “Meletakkan dua
telapak tangannya di atas dua paha, dan berkata ya Muhammad” demikian
riwayat yang masyhur dan shahih.
Imam Nasa’i meriwayatkan hadits yang
semakna dengan itu yakni “Meletakkan dua tangannya di atas dua lutut Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam” dengan demikian hilanglah ihtimal (kemungkinan
bermakna lain) dalam lafadz Muslim, karena dalam lafadz Muslim “meletakkan
dua telapak tangannya di atas dua paha” lafadz yang muhtamal (lafadz
yang kemungkinan bermakna ganda). Dari hadits ini diambil faedah: “Bahwa kata
Iman dan Islam itu adalah dua hakikat yang berbeda menurut bahasa ataupun
syariat. Inilah hukum asal nama yang berbeda tetapi syariat telah meluaskan
pemakaiannya, sehingga salah satunya bisa dipakai untuk menamai yang lainnya.
Perkataan dalam hadits: “Kamipun heran
dia yang bertanya dia pula yang membenarkannya” Yang menyebabkan mereka merasa heran adalah
karena ilmu yang dibawa oleh Nabi tidak diketahui kecuali darinya, padahal
orang ini tidak pernah diketahui bertemu dengan Nabi atau mendengar darinya,
tapi ternyata orang tersebut bertanya dengan pertanyaan orang yang alim, muhaqiq
(sedang memastikan) dan musaddiq (membenarkan), sehingga mereka
menjadi heran.
Perkataan dalam hadits: “Engkau beriman
kepada Allah malaikat-malaikat dan kitab-kitab-Nya” Iman kepada Allah
adalah membenarkan bahwasanya Allah itu mempunyai sifat-sifat yang mulia dan
sempurna, suci dari sifat ketidaksempurnaan, bahwasanya Allah itu satu, Maha
Benar, yang sangat mulian, Esa, yang menciptakan seluruh makhluk,
berbuat sesuai dengan kehendak dan keinginan-Nya.
Iman kepada malaikat adalah membenarkan
bahwa mereka adalah hamba-hamba Allah yang dimuliakan, tidak pernah membantah
perintah Allah dan mereka selalu mengamalkan perintah Allah.
Iman kepada rasul-rasul Allah adalah
membenarkan bahwa mereka jujur dalam menyampaikan berita dari Allah, Allah
menguatkan mereka dengan mukjizat yang menunjukkan kebenaran mereka, bahwa
mereka menyampaikan risalah Allah, menjelaskan kepada orang mukallaf apa yang
Allah perintahkan atas mereka, bahwasanya wajib menghormati mereka dan tidak
membedakan salah seorangpun dari mereka.
Iman kepada hari akhir adalah membenarkan
akan adanya hari kiamat dan hal-hal yang akan terjadi pada dan setelah hari
kiamat seperti dibangkitkannya kembali manusia setelah mati, dikumpulkannya
manusia di padang mahsyar, disebarkannya catatan amal, adanya hisab, mizan,
shirat, sorga dan neraka – sebagai balasan bagi orang yang berbuat baik dan
yang berbuat jelek– dan perkara lainnya yang disebutkan dalam beberapa hadits
yang shahih.
Iman kepada takdir adalah membenarkan
perkara yang telah disebutkan di atas. Dan kesimpulannya adalah firman Allah:
وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ
"Allah-lah yang menciptakan kalian dan apa
yang kalian lakukan” (As Shafat: 96).
Dan
firman-Nya:
إِنَّا
كُلَّ شَيْئٍ خَلَقْنَهُ بِقَدَرٍ
“Sesungguhnya segala sesuatu kami ciptakan dengan
taqdir masing-masing” (Al Qamar: 49).
Dan ayat
yang semisal dengan ini. Diantara dalilnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam dalam hadits Ibnu Abbas:
وَاعْلَمْ
أَنَّ اْلأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيْئٍ لَمْ يَنْفَعُوْكَ
إِلاَّ بِشَيْئٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوْا عَلَى أَنْ يَّضُرُّوْكَ
بِشَيْئٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْئٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ
اْلأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ.
“Ketahuilah
apabila umat bersatu untuk memberi manfaat kepadamu, mereka tidak akan mampu
memberikan manfaat kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu, dan
jika mereka bersatu untuk memudaratkan engkau, mereka tidak akan bisa
melakukannya kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu, qalam
telah diangkat dan lembaran telah kering”.[8]
Madzhab
salaf dan imam-imam yang mengikuti mereka telah berkata: Barangsiapa yang
membenarkan seluruh perkara ini dengan keyakinan yang kuat tanpa ada keraguan
sedikitpun, maka dialah mukmin yang hakiki dan baik pula keyakinannya,
dikarenakan bukti-bukti yang kuat ataupun dari keyakinannya yang kuat.
Perkataan
dalam hadits tentang Ihsan: “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan
melihat-Nya” kesimpulannya kembali kepada masalah harusnya memantapkan
ibadah, menjaga hak-hak Allah dan selalu merasa diawasi oleh-Nya, mengingat
keagungan dan kemuliaan Allah ketika beribadah.
Perkataan
dalam hadits: (فأخبرني
عن أمراتها) dengan fathah huruf hamzah,
Amarat artinya tanda-tanda.
Hamba
sahaya disini maknanya adalah budak perempuan yang sudah melahirkan, ربتها adalah tuannya, dalam satu riwayat dengan kata. بعلها
Telah
diriwayatkan bahwa ada seorang Arab gunung ditanya tentang unta, maka ia
menjawab: “Akulah ba’lnya, suami juga bisa disebut ba’l, tapi
dalam hadits ini dengan kata ربتها
ta’nits.
Ada yang
menyatakan bahwa nanti kaum muslimin bisa mengalahkan negeri orang kafir
sehingga banyak budak, akhirnya jadilah anak budak dari hasil hubungan dengan
tuannya seperti kedudukan tuannya karena kemuliaan bapaknya, jika demikian maka
yang menjadi tanda hari kiamat adalah berkuasanya muslimin atas orang kafir dan
banyaknya mereka menaklukkan negeri kafir hingga banyaklah budak belian.
Ada juga
yang menyatakan maknanya adalah sudah rusaknya keadaan manusia, hingga para
pemilik budak menjual Ummahatul Aulad (budak perempuan yang telah
melahirkan anak dari hasil hubungan dengan tuannya), Ummahatul Aulad
tersebut berpindah dari satu tangan ke tangan pembeli lainnya, kadang mungkin
dibeli oleh anaknya dalam keadaan tidak merasa bahwa dia itu adalah ibunya.
Jika demikian maknanya, maka yang menjadi tanda hari kiamat adalah sudah
menyebarnya kejahilan tentang haramnya menjual Ummahatul Aulad.
Dalam
hadits ini ada nash dimakruhkannya meninggikan dan menghias bangunan jika tidak
tidak dibuthkan, telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:
يُؤْجَرُ ابْن آدَمَ فِيْ كُلِّ شَيْئٍ
إِلاَّ مَا وَضَعَهُ فِيْ هذَا التُّرَابِ
“Manusia akan diberi pahala dalam seluruh amalannya kecuali yang
ia keluarkan pada tanah ini”[9].
Rasulullah
wafat dalam keadaan belum pernah meletakkan satu batu di atas batu lainnya atau
satu bata di atas bata lainnya yakni: beliau tidak menghias-hias rumahnya,
tidak meninggikan ataupun memperindahnya.
Perkataan
dalam hadits: “penggembala kambing” beliau mengkhususkan menyebut penggembala
kambing karena mereka adalah orang gunung yang paling lemah, maknanya: walaupun
mereka lemah dan jauh dari kemungkinan bisa membangun –berbeda dengan pemilik
unta yang mayoritas dari mereka bukan orang miskin atau faqir – tapi mereka bisa meninggikan bangunannya
pent-.
Perkataan
dalam hadits: (فلبثت) telah diriwayatkan dengan huruf ta,
yakni Umar Radiyallahu’anhu diam beberapa saat, diriwayatkan pula dengan
فلبثتtanpa huruf ta yakni Nabi
diam beberapa saat setelah Jibril pergi, dan makna tersebut shahih.
Perkataan
dalam hadits مليا dengan tasydid huruf ya’,
yakni diam beberapa lama, kondisi seperti itu berulang sebanyak tiga kali,
demikianlah dalam riwayat Abu Dawud dan lainnya.
Perkataan
dalam hadits: “Dia datang untuk mengajari kalian tentang agama kalian” yakni
kaidah –kaidah agama kalian atau pokok-pokok agama kalian. Demikian dikatakan
oleh Syaikh Muhyidin dalam syarahnya terhadap hadits ini dalam syarah shahih
Muslim.
Yang
paling penting dalam hadits ini adalah penjelasan tentang Islam, Iman dan Ihsan
serta wajibnya beriman tentang adanya taqdir Allah Ta’ala, beliau menerangkan
penjelasan Islam dan Iman dalam hadits ini sangat panjang lebar, beliau
membawakan pendapat-pendapat para ulama diantaranya yang ia nukilkan dari Abil
Husain yang ma’ruf dengan nama Ibnu Baththal Al Maliki: “Mazhab Ahlus sunnah
dari salaful ummah dan pengikut mereka: “Iman itu adalah perkataan dan
amalan serta iman itu bisa bertambah dan berkurang, dengan dalil:
لِيَزْدَادُوْا إِيْمَنًا مَّعَ إِيْمَنِهِمْ
“Supaya
keimanan mereka bertambah disamping keimanan mereka (yang telah ada)” (Al Fath: 4). Dan ayat-ayat yang semisalnya. Sebagian ulama berkata: pembenarannya
itu sendiri tidak bertambah dan tidak berkurang sedangkan Imam Syar’i berpendapat
bahwa Iman itu bertambah dan berkurang, bertambah dengan hasil-hasilnya dan
kekurangannya yaitu dengan amalan-amalan, mereka berkata: Dengan demikian dapat
mempertemukan antara dhahir-dhahir nash yang menyatakan ada tambahan Iman
dengan asal peletakkan dalam bahasa, apa yang dikatakan mereka walaupun
sepertinya benar, namun yang paling benar adalah pembenaran juga akan bertambah
dengan banyak melihat dhahir nash. Oleh karena itu Iman mushaddiqin lebih kuat
dibandingkan selain mereka yang tidak akan menipu kepada mereka suatu
kebodohan, imannya tidak akan goncang ketika ada syubhat, hati mereka terus
lapang dan bersinar walaupun situasi silih berganti. Adapun orang lain yang
sedang dijinakkan hatinya atau yang sederajat dengan mereka keadaannya tidak demikian.
Hal ini tidak bisa diingkari dan tidak diragukan lagi bahwa tashdiq
(pembenaran) yang ada pada diri Abu Bakar tidak akan bisa disamai oleh tashdiqnya
seorangpun. Oleh karena itu Imam Bukhari berkata dalam kitab shahihnya, telah
berkata Ibnu Mulaikah: “Aku bertemu dengan tiga puluh orang shahabat Nabi
seluruhnya menghawatirkan kemunafikan atas dirinya, tidak seorangpun yang
berkata Iman mereka seperti Imannya Jibril dan Mikail ‘alaihimassalam.
Adapun memakai kata Iman atas amalan telah disepakati oleh ahlul haq dan
dalilnya banyak tidak terhitung. Allah berfirman:
وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيْعَ إِيْمَنَكُمْ
“Dan
Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian” (Al Baqarah: 143). Yakni shalat kalian. Telah diceritakan dari
Abu Amr bin Sholah ketika menjelaskan hadits “Islam adalah engkau bersaksi
bahwa tidak ada yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah, dan Muhammad adalah
utusan-Nya dan menegakkan shalat…” kemudian menafsirkan Iman: “Engkau beriman
kepada Allah, malaikat-Nya …” beliau berkata: “Ini adalah penjelasan pokok
Iman, yaitu tashdiq (pembenaran) dalam batin, dan penjelasan pokok Islam
yaitu berserah diri dan tunduk dalam dhahir. Hukum Islam dalam dhahir ada
dengan mengucapkan dua kalimah syahadat kemudian ditambahkan kepadanya shalat,
zakat, puasa dan haji, karena keempatnya adalah syiar Islam yang paling tampak dan
paling agung. Dengan ditegakkannya empat perkara ini menjadi benar pengakuannya
kepada Islam. Kemudian kata Iman mencakup juga seluruh tafsir Islam. Dalam
hadits ini bahkan mencakup seluruh amalan taat, karena seluruh amalan taat
adalah buah dari tashdiq batin yang merupakan pokok Iman.
Oleh karena itu nama Iman yang mutlaq (sempurna) tidak diberikan kepada
orang yang melakukan dosa besar atau yang meninggalkan satu kewajiban, karena
nama sesuatu secara mutlaq tidak diberikan kecuali kepada yang sempurna dan
tidak diberikan kepada sesuatu yang kekurangannya tampak jelas kecuali dengan
niat yang lain.
Demikian pula boleh menafikan Iman mutlaq (iman yang sempurna) dari
orang seperti ini, sabda Rasulullah:
"لاَيَزْنِي
الزَّانِيْ حِيْنَ يَزْنِيْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَيَسْرِقُ السَّارِقُ حِيْنَ يَسْرِقُ
وَهُوَ مُؤْمِنٌ
“Tidaklah
seorang yang zina ketika berzina dalam keadaan beriman yang mutlaq, tidaklah
seorang pencuri ketika mencuri dalam keadaan beriman yang mutlaq” (HR. Bukhari Muslim).
Nama
Islam juga mencakup pokok Iman yakni tashdiq, dan mencakup seluruh pokok
ketaatan karena seluruhnya adalah berserah diri kepada Allah, beliau berkata:
“kesimpulan dari pembahasan kita adalah kata Iman dan Islam kadang satu makna
dan kadang berbeda, seluruh orang beriman adalah muslim tapi orang muslim belum
tentu beriman, tashdiq ini cukup dengan taufiq Allah. Nash-nash Al
Qur'an dan sunnah yang diriwayatkan dalam masalah Iman dan Islam banyak
dipahami keliru oleh orang yang menganut agama tanpa ilmu. Dan apa yang kami tahqiq
disini adalah penjelasan yang sesuai
dengan mazhab jumhur ulama ahlul hadits dan selain mereka.
Wallahu
A’lam.
HADITS
KETIGA
عَنْ أَبِيْ
عَبْدِ الرَّحْمنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَر بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى
عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ:"بُنِيَ
اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَن لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ،
وَصَوْمِ رَمَضَانَ". رواه البخاري ومسلم.
Dari Abu
Abdirrahman Abdullah bin Umar bin Khattab Radiyallahu’anhuma: “Aku mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Islam dibangun diatas lima perkara: persaksian
bahwasanya tidak ada yang berhaq diibadahi kecuali Allah dan Muhammad adalah
utusan-Nya, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, haji ke Baitullah, puasa
Ramadhan” (HR.
Bukhari Muslim)[10].
Abu Abbas
Al Qurtubi Rahimahullah berkata: “Yakni lima perkara ini adalah pondasi agama Islam. lima perkara dalam hadits
ini merupakan kaedah Islam yang dibangun diatasnya dan tegak dengannya Islam. Yang
menjadi sebab beliau mengkhususkan lima perkara ini dan tidak menyebutkan jihad,
padahal dengan jihad Islam akan jaya dan orang kafir akan hancur, sebabnya adalah
karena lima perkara ini adalah kewajiban yang terus berlangsung hukumnya,
sedangkan jihad termasuk fardhu kifayah yang kadang kewajibannya gugur pada
waktu tertentu.
Dalam
satu riwayat ada yang mendahulukan masalah haji dari puasa, ini adalah
kekeliruan, wallahu a’lam, karena Ibnu Umar ketika mendengar musta’id
mendahulukan haji dari puasa langsung menghardiknya dan melarangnya berbuat
demikian, dan beliau mendahulukan puasa dari haji, beliau berkata: “Demikianlah
kami mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam”, dalam
riwayat Ibnu Umar yang lainnya: “Islam dibangun diatas engkau mentauhidkan
Allah dan kufur dari selain-Nya, mendirikan shalat…. “. Dalam riwayat lain:
“Ada seseorang
bertanya kepada Abdullah bin Umar: “Apakah tidak berjihad? Ibnu Umar menjawab:
“Sungguh aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: بني الإسلام على خمس dalam riwayat lain على
خمسةdengan huruf ha
dan dengan tidak memakai huruf ha, keduanya benar.
Hadits
ini merupakan pokok yang besar untuk mengetahui agama dan diatas hadits inilah
bersandar, karena hadits ini mencakup seluruh rukun Islam.[11]
HADITS KEEMPAT
عَنْ أَبِيْ
عَبْدِ الرَّحْمنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: حَدَّثَنَا
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ
"إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا
نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ
ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ وَيُؤْمَرُ
بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ
سَعِيْدٌ. فَوَالَّذِيْ لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ
أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ
عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا. وَإِنَّ
أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا
إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ
فَيَدْخُلُهَا". رواه البخاري ومسلم.
Dari Abu
Abdirrahman Abdullah bin Mas’ud Radiyallahu’anhu: “Telah menceritakan kepada
kami Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau adalah shadiqul
mashduq: “Sesungguhnya kalian diciptakan dalam perut ibu selama empat puluh
hari berupa nuthfah (air yang kental) kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah)
dalam tenggang waktu yang sama, kemudian menjadi mudgah (sekerat daging) selama
itu juga, kemudian diutuslah kepadanya malaikat yang meniupkan ruh padanya dan
diperintahkan dengan empat perkara: menulis rizkinya, ajalnya, amalnya, dan
celaka atau bahagia, Demi Allah yang tidak ada yang berhak diibadahi kecuali
Dia, sungguh seorang kalian mengamalkan amalan ahli surga sehingga tidak ada
jarak yang memisahkan dia dari surga kecuali satu hasta, tapi catatan
(ketentuan Allah) telah mendahuluinya ia kemudian mengamalkan amalan ahli
neraka sehingga ia pun masuk neraka, dan ada salah seorang kalian yang
mengamalkan amalan ahli neraka tapi catatan (ketentuan Allah) mendahuluinya
iapun melakukan amalan ahli surga sehingga masuk surga” (HR. Bukhari Muslim)[12].
Syarah:
Perkataan
dalam hadits: “Beliau shadiqul mashduq” yakni jujur dan benar dalam
perkataannya dan dibenarkan apa yang datang kepadanya berupa wahyu.
Sebagian
ulama berkata: “makna perkataannya: “Sesungguhnya kalian diciptakan dalam
perut ibunya…” Bahwasanya air mani masuk ke rahim dengan terpencar,
kemudian Allah kumpulkan di tempat peranakan
(rahim) dalam waktu empat puluh hari.
Ibnu
Mas’ud menafsirkan hadits ini dengan perkataannya: “Sesungguhnya jika nuthfah
masuk ke rahim dan Allah berkehendak untuk menjadikannya sebagai manusia, maka
akan menyebar di kulit si ibu di bawah kuku dan rambutnya, dan tinggal selama
empat puluh hari, kemudian menjadi darah di dalam rahim. Itulah cara Allah
mengumpulkannya ketika menjadi ‘alaqah.
Perkataannya:
“Kemudian diutuslah kepadanya malaikat”, yakni malaikat yang ditugaskan
di dalam rahim.
Perkataannya:
“Sungguh salah seorang dari kalian mengamalkan amalan ahli surga …dst”
Dhahir hadits ini menunjukkan bahwa orang seperti ini amalannya benar, bahwa
dia sudah dekat dari surga dengan sebab amalnya, hingga tinggal tersisa satu
hasta, sebab yang menghalanginya adalah taqdir yang akan terlihat diakhir
hayat, kalau demikian amalan itu sesuai dengan catatan (ketentuan), tapi karena
sabiqah (taqdir) tertutup dari kita dan khatimah itu terlihat.
Terdapat dalam hadits:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيْمِ
“Sesungguhnya amalan itu diakhirnya”[13]
Maksud
hadits ini adalah berdasarkan penglihatan kita terhadap seseorang atau keadaan,
adapun hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya dalam “Kitabul
Iman” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الرَّجَُلَ ليَعْمَل بِعَمَلِ أَهْلِ
الْجَنَّةِ فِيْمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ
“Sungguh
seseorang mengamalkan satu amalan-amalan ahli surga dalam penglihatan manusia
padahal ia adalah ahli neraka” hadits ini menunjukkan amalannya memang tidak benar, tapi didasari riya
dan sum’ah (ingin dipuji manusia), maka diambil faedah dari hadits ini
tidak boleh melihat kepada amalan kita dan atau bersandar kepada amalan,
hendaknya mengharapkan kemurahan dan rahmat Allah.
Perkataannya
sebelum itu ويؤمر بأربع كلمات بكتب رزقه وأجله
dengan huruf ya’ awalnya
sebagai badal dari أربع .
Perkataannya شقي أو سعيدmarfu’, karena sebagai khabar mahdzuf,
taqdirnya: dia celaka atau bahagia.
Perkataan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Demi Allah yang tidak ada
yang berhak diibadahi kecuali Dia, sungguh salah seorang kalian mengamalkan
amalan ahli surga ….sampai perkataannya: “mendahuluinya kemudian
mengamalkan amalan ahli neraka sehingga iapun masuk neraka” Maksudnya:
kejadian seperti ini jarang terjadi pada manusia dan bukanlah hal yang banyak,
ini adalah termasuk kemurahan Allah kepada hamba-Nya yakni berpindahnya orang
dari kebaikan kepada kejelekan sangat jarang sekali, walilhamdi wanni’mah atas
itu semua hadiah dan pemaafan-Nya. Firman-Nya:
“Rahmatku
mendahului amarah-Ku” dalam satu riwayat “Mengalahkan amarah-Ku”.
Menetapkan
taqdir, sebagaimana madzhab ahli sunnah, bahwasanya semua yang terjadi adalah
dengan qada Allah dan qadar-Nya, yang baik dan buruk yang bermanfaat dan mudharat.
Allah berfirman:
لاَ يُسْئَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْئَلُوْنَ
“Állah tidak ditanya apa yang diperbuat-Nya, tapi
mereka yang akan ditanya oleh Allah” (Al Anbiya: 23).
Tidak
boleh menentang-Nya dalam kerajaan-Nya, Dia berbuat di kerajaan-Nya
sekehendak-Nya.
Imam
Sum’ani berkata: “Jalan untuk mengetahui bab ini (taqdir) adalah tauqif
(berbicara sesuai tuntunan) al Qur’an dan as Sunnah, tidak memakai qias atau
akal, barangsiapa yang berpaling dari tuntunan keduanya akan sesat dan tersesat
dalam kebingungan, tidak akan mendapatkan obat jiwanya dan tidak akan sampai
kepada sesuatu yang akan menentramkan hatinya, karena qadar adalah rahasia
diantara sekian rahasia Allah, ditutupi oleh sitr, khusus diketahui
Allah dan disembunyikan dari akal dan pengetahuan makhluk untuk satu hikmah
yang diketahui oleh-Nya. Maka wajib atas kita berhenti pada batasan yang telah
ditetapkan atas kita, dan jangan melampauinya, Allah telah menutup ilmu qadar
dari alam, sehingga tidak diketahui oleh malaikat ataupun Nabi yang diutus, ada
yang mengatakan: “Rahasia qadar tersingkap ketika masuk surga dan tidak
diketahui oleh manusia sebelum itu”.
Telah
banyak hadits shahih yang melarang meninggalkan amal karena bersandar pada
qadar, wajib mengamalkan apa yang Allah bebankan atas kita, setiap orang akan
dimudahkan untuk mengamalkan sesuai taqdirnya tidak bisa mengamalkan yang
lainnya, barangsiapa yang ditetapkan menjadi orang yang bahagia akan dimudahkan
mengamalkan amalan orang yang bahagia, dan orang yang ditetapkan menjadi orang
yang celaka akan dimudahkan mengamalkan amalan orang yang celaka sebagaimana
dalam hadits. Allah berfirman:
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى
“Maka
kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah” (Al Lail: 7).
Dalam
ayat lain:
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى
“Maka kelak kami akan
menyiapkan baginya (jalan) yang sukar” (Al Lail:
10).
وَلاَ يُحِيْطُوْنَ بِشَيْئٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَآءَ
“Mereka tidak bisa meliputi sedikitpun
dari ilmu Allah kecuali yang Dia kehendaki” (Al Baqarah: 255).
Wallahu A’lam.[14]
HADITS KELIMA
عَنْ أُمِّ
الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَة رَضِيَ
اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْل اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ
أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. رواه
البخاري ومسلم. وفي رواية لمسلم: مَنْ عَمِلَ لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ
رَدٌّ.
Dari Ummul Mukminin Ummu Abdillah Aisyah
Radiyallahu’anha berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan kami yang bukan darinya maka
tertolak”[15]
dalam riwayat Muslim: ”Barangsiapa mengamalkan
satu amalan yang tidak ada padanya urusan kami maka tertolak” [16] .
Syarah:
Ahli bahasa berkata: الردdalam hadits ini maknanya tertolak, yakni batil tidak teranggap.
Perkataannya: “Tidak ada padanya urusan kami” yakni tidak ada hukum
kami.
Hadits ini merupakan salah satu kaedah
agama yang besar, termasuk Jawami’ul kalim yang diberikan kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, karena hadits ini sangat jelas
dalam membantah setiap kebid’ahan dan perkara yang diada-adakan. Hadits ini
sebagai dalil batilnya seluruh perjanjian yang dilarang dan tidak adanya buah
dari perjanjian tersebut. Ahli ushul berdalil dengan hadits ini bahwasanya
larangan dalam satu nash menimbulkan fasad (rusaknya satu amalan yang
dilarang tersebut), dalam riwayat lain: “Barangsiapa yang mengamalkan satu
amalan yang tidak ada padanya urusan kami maka tertolak”, ini menegaskan
agar meninggalkan semua perkara yang diada-adakan, baik yang memperkarsainya
atau yang mengamalkannya walaupun telah ada orang yang melakukannya. Karena
sebagian orang ada yang menentang ketika dikatakan bid’ah berhujjah dengan
berkata: “Aku tidak membuat-buatnya”, maka orang seperti ini dibantah dengan
riwayat yang kedua ini.[17]
Hadits ini seyogyanya dihafal, disebarkan
dan diamalkan dalam rangka menjelaskan batilnya perkara-perkara mungkar, karena
semua perkara tersebut masuk dalam makna hadits ini.
Adapun memisahkan satu perkara yang ada
ushulnya dan tidak keluar dari kitab dan sunnah tidaklah termasuk makna hadits
ini, seperti penulisan al Qur’an dalam mushaf, seperti juga mazhab-mazhab hasil
penelitian yang baik dari ulama mujtahidin, yang mengembalikan furu’ ke ushul
yaitu hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Seperti juga
penulisan buku nahwu dan ilmu hisab, faraid, dan ilmu lainnya yang bermanfaat
yang dibangun diatas perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam, semuanya tidak masuk dalam larangan hadits ini.[18]
HADITS KEENAM
عَنْ أَبِيْ
عَبْدِ الله النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ
وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِّنَ النَّاسِ، فَمَنِ
اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِيْ الشُّبُهَاتِ
وَقَعَ فِيْ الْحَرَامِ، كَالرَّاعِيْ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى, يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ
فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَى، أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ،
أَلاَ وَإِنَّ فِيْ الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ،
وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ.
رواه
البخاري ومسلم.
Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir Radiyallahu’anhuma:
“Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas
dan perkara yang haram juga jelas dan diantara keduanya ada perkara syubhat
yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, barangsiapa yang bisa menjaga
diri dari perkara syubhat maka telah menyelamatkan agama dan kehormatannya, dan
barangsiapa yang terjatuh dalam perkara syubhat telah terjatuh dalam perkara
haram seperti penggembala yang menggembala didekat tanah larangan sebentar lagi
gembalaannya masuk ke tanah larangan tersebut, ketahuilah setiap raja itu punya
tanah larangan. Ketahuilah larangan Allah adalah perkara yang diharamkan-Nya,
ketahuilah didalam jasad itu ada segumpal daging jika baik maka baiklah seluruh
jasad, dan jika jelek maka jeleklah seluruh jasad, ketahuilah daging tersebut adalah
hati” (HR. Bukhari Muslim).
Syarah:
Hadits ini merupakan salah satu pokok
syariat Islam yang agung. Abu Dawud As Sijistani berkata: “Islam bersumber
pada empat hadits”, beliau sebutkan diantaranya hadits ini. Para ulama telah ijma (sepakat) atas besarnya kedudukan
dan banyaknya faedah hadits ini.
Perkataannya dalam hadits: “Sesungguhnya
perkara yang halal itu jelas dan perkara yang haram juga jelas dan diantara
keduanya ada perkara syubhat” yakni perkara itu ada tiga macam:
Pertama: Ada yang Allah nashkan kehalalannya seperti firman Allah:
أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَتُ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ
أُوْتُوْا الْكِتَبَ حِلٌّ لَّكُمْ
“Dihalalkan
bagimu perkara yang baik dari makanan Ahlul Kitab halal juga bagi kalian”(Al
Maidah: 5)
Dan
firman-Nya:
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَّا وَرَآءَ ذَلِكُمْ
“Dan dihalalkan bagi kalian yang selain itu” (An Nisa: 24).
Kedua:
Ada perkara yang dengan tegas Allah
nashkan pengharamannya seperti firman Allah:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ
“Diharamkan
atas kalian ibu dan anak perempuan kalian”(An
Nisa: 23).
Dan firman-Nya:
وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ
حُرُمًا
“Diharamkan
atas kalian binatang buruan darat selama engkau dalam keadaan ihram” (Al Maidah: 96).
Seperti pengharaman perbuatan zina yang
tampak ataupun tersembunyi, dan semua amalan yang menyebabkan adanya had
atau hukuman atau ancaman dari Allah maka haram dilakukan.
Ketiga: Perkara syubhat yakni perkara yang dipertentangkan dengan dalil dari
kitab dan sunnah dan mengandung makna yang banyak, maka meninggalkan perbuatan
tersebut termasuk sikap wara’.
Sekelompok ulama berpendapat: “Haram
berdasarkan sabda beliau: “menjaga agama dan kehormatannya” mereka
berkata: “Maka barangsiapa yang tidak menjaga agama dan kehormatannya maka
telah terjatuh kepada perbuatan haram”.
Sebagian lagi berkata: “Halal berdasarkan
sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Seperti gembala yang
menggembala di sekitar tanah larangan” Hadits ini menunjukkan bahwa yang
syubhat itu masih halal, dan meninggalkannya termasuk wara’.
Sekelompok lainnya berkata: “Syubhat yang
terdapat dalam hadits ini tidak kita katakan halal ataupun haram, karena
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikannya antara perkara
halal dan haram, maka kita harus bersikap demikian, ini termasuk bab wara’
juga. Terdapat dalam shahih Bukhari Muslim dari Aisyah Radiyallahu’anha:
“Ma’ad bin Abi Waqas berselisih dengan Abdullah bin Zam’ah tentang seorang
budak, Sa’ad berkata: “Wahai Rasulullah ini adalah anak saudaraku Utbah bin
Abi Waqas, beliau telah memberikan pesan kepadaku bahwa ini adalah anaknya,
lihatlah kemiripannya. Abd bin Zam’ah berkata: “Ini adalah saudaraku wahai
Rasulullah dilahirkan di tempat tidur bapakku dari hasil hubungan dengan budak
perempuannya, Rasulullah melihatnya ternyata mirip dengan Utbah, beliaupun
berkata: “Dia milikmu wahai Abdullah bin Zam’ah, anak itu bagi yang punya
hubungan resmi dan bagi pezina alhijr, berhijablah engkau darinya wahai Saudah”
Saudah tidak melihatnya sedikitpun, Rasulullah memutuskan anak bagi yang
punya hubungan dengan ibunya, beliau berikan kepada Zam’ah secara dhahir,
berarti budak tersebut menjadi saudara Saudah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam karena dia adalah putri Zam’ah. Namun karena ini bukanlah
keputusan yang didasari keyakinan namun diputuskan berdasarkan dugaan kuat,
maka beliau menyuruh Saudah untuk berhijab karena adanya kesamaran. Beliaupun
berihtiyath (berhati-hati), dan
itu merupakan amalan orang-orang yang takut kepada Allah, karena kalau
memang budak tersebut anaknya Zam’ah beliau tidak akan menyuruh Saudah berhijab
darinya sebagaimana tidak menyuruhnya berhijab dari seluruh saudaranya seperti
Abdullah dan lainnya.
Dalam hadits lain ‘Adi bin Hatim pernah
berkata: “Wahai Rasulullah aku melepas binatang pemburu milikku dan aku membaca
basmallah ketika melepasnya berburu, tapi aku temukan bersamanya ada anjing
yang lain. Rasulullah bersabda:
“Janganlah engkau memakannya, karena engkau membaca basmallah untuk
anjingmu tidak untuk anjing yang lain”.
Rasulullah berfatwa demikian juga karena
adanya syubhat, khawatir anjing yang membunuh buruan tersebut bukanlah anjing
yang dilepas dengan menyebut basmalah,jika demikian berarti seperti hokum binatang
yang disembelih untuk selain Allah, padahal Allah telah berfirman tentang
sembelihan yang seperti itu: “itu adalah kotor”.
Dalam fatwa Rasulullah ini menunjukkan
adanya sikap ihtiyath dalam kejadian dan kasus yang mengandung
kemungkinan halal dan haram dikarenakan samarnya sebab, inilah makna sabda
Rasulullah: “Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada perkara yang tidak
meragukan” [19]
Sebagian ulama berkata: “perkara syubhat
itu ada tiga macam;
Pertama: perkara yang sebelumnya diketahui haram kemudian diragukan penyebab
keharamannya sudah hilang atau belum? Seperti jika ragu dalam penyembelihan
binatang yang haram dimakan kecuali setelah disembelih secara syar’i, maka hal
tersebut tetap haram sampai adanya keyakinan sudah disembelih, pokok masalah
ini adalah hadits ‘Adi yang telah disebutkan.
Kedua: kebalikan dari yang pertama, yakni sebelumnya perkara tersebut halal
tapi kemudian ragu dalam pengharamannya seperti seseorang yang ragu dalam
masalah mentalaq istrinya atau ragu dalam pembebasan budak perempuannya, dan
masalah-masalah seperti ini maka hukum asalnya tetap halal sampai diketahui
pengharamannya, pokok dari masalah ini adalah hadits Abdullah bin Zaid tentang
seseorang yang ragu dalam hadats setelah yakin ia telah suci.
Ketiga: ragu dalam satu perkara halal atau haram dikarenakan keduanya punya
kemungkinan, tetapi tidak ada petunjuk yang menunjukkan salah satunya, maka
yang baik adalah membersihkan diri (tidak melakukan) dari perbuatan tersebut,
seperti yang dilakukan Rasulullah ketika menemukan kurma yang jatuh dirumahnya,
beliau bersabda: “Kalau aku tidak takut ini adalah kurma shadaqah niscaya
aku akan memakannya” (HR. Bukhari Muslim). Akan tetapi jika (keraguan
tersebut) melampaui batas, hingga bertentangan dengan keyakinan kuat yang ada
pada dirinya karena satu sangkaan yang tidak ada asalnya, seperti tidak mau
memakai air yang masih sempurna sifat-sifatnya karena khawatir ada najis yang
jatuh padanya, atau tidak mau shalat di satu tempat yang tidak ada bekas apapun
karena khawatir adanya air kencing yang sudah kering, atau mencuci baju karena
khawatir ada najis padahal ia tidak melihatnya, dan berbagai macam kekhawatiran
seperti ini tidak boleh dianggap, bahkan tidak beramal karena kekhawatiran
(sangkaan) demikian adalah tidak benar, (merasa bersikap) wara’ (ketika
tidak beramal) karena sangkaan tersebut adalah was-was yang datangnya dari
syaithan, karena tidak ada dalam masalah-masalah tersebut makna syubhat
sedikitpun. Wallahu A’lam.
Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi
wasallam: “Banyak orang tidak mengetahui masalah tersebut” yakni
tidak mengetahui hukum halal dan haramnya, karena kalau masalah syubhatnya bisa
diketahui (banyak orang) karena (perkara syubhat) menimbulkan kemungkinan yang
menyulitkan, jika sudah diketahui bergabung dengan pokok yang mana (halal
ataukah haram) gugur keberadaanya sebagai perkara syubhat, bisa halal atau
haram. Dalam hadits ini ada dalil bahwa perkara syubhat mempunyai hukum yang
khusus ditunjukkan oleh dalil syar’i yang mungkin untuk diketahui oleh sebagian
manusia.
Sabdanya: “Barangsiapa yang menjauhi
perkara syubhat berarti telah menjaga diri dan kehormatannya” yakni
menjaganya dari perkara syubhat.
Adapun sabdanya: “Barangsiapa yang
terjatuh dalam perkara syubhat telah terjatuh dalam perkara haram”,
Hal tersebut terjadi dengan dua bentuk:
Bentuk pertama: Barangsiapa yang
tidak takut kepada Allah dan berani mengamalkan perkara yang syubhat maka
perkara syubhat tersebut akan menggiringnya kepada perbuatan haram, sikapnya
yang meremehkan perkara syubhat akan menyebabkan ia berani kepada yang haram,
sebagaimana perkataan sebagian ulama: “Dosa kecil menyeret kepada dosa besar,
dan dosa besar menyeret kepada kekufuran”, dalam satu riwayat: “Maksiat adalah
posnya kekufuran”.
Bentuk kedua: Barangsiapa yang
banyak melakukan perkara syubhat akan gelap hatinya, karena hilangnya cahaya ilmu
dan cahaya wara’, sehingga ia terjatuh dalam perkara yang haram tanpa
terasa. Kadang seseorang berdosa karena mengamalkan perkara syubhat yang
menyebabkan kurang dalam melakukan keta’atan.
Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi
wasallam: “Seperti penggembala yang menggembala di sekitar tanah
larangan, sebentar lagi akan terjatuh padanya”, ini adalah permisalan
perkara-perkara yang diharamkan Allah. Asalnya dulu orang Arab memelihara
padang rumput untuk binatang ternaknya, dan mengancam akan menghukum orang yang
mendekatinya, maka orang yang takut hukuman akan menjauhi tanah larangan
tersebut, karena jika mendekati dengan seringnya akan terjatuh masuk ke tanah
larangan, sebab kadang ada gembalaan yang liar dan nyeleneh kemudian masuk
dalam keadaan ia tidak bisa mencegahnya, maka dalam rangka hati-hati hendaknya
membuat jarak antara dia dan tanah larangan hingga merasa aman dari hal
tersebut.
Demikian pula maharimallah (perkara
yang diharamkan Allah), pembunuhan, mencuri, minum khamar, menuduh zina,
ghibah, adu domba dan yang sejenisnya; tidak sepatutnya menggembala
disekitarnya karena dikhawatirkan terjatuh kepadanya.
يوشكdengan kasrah
huruf syin adalah fi’il mudhari’ dari أوشك adalah
salah satu fi’il muqarabah, يرتع dengan fathah
huruf ta maknanya: binatang ternak makan dari padang rumput, arti
asalnya tinggal dan makan di padang rumput dengan lahap.
Sabdanya: “Ketahuilah dalam jasad ada
satu daging jika daging tersebut baik maka baiklah seluruh badan, dan jika
daging tersebut jelek maka jeleklah seluruh badan”. المضغة arinya
segumpal daging, sebesar yang
biasa dikunyah manusia, maksudnya kecil bendanya tapi agung kedudukannya, صلحت diriwayatkan kepada kita
dengan fathah huruf lam, القلب adalah mashdar, anggota tubuh yang paling mulia ini dinamkan qalb
karena cepatnya berubah.
Sehingga sebagian orang bersyair:
Hati tidaklah dinamakan
qalb (hati) kecuali karena berubah-ubahnya
Hati-hatilah atas hati
terjadi perubahan dan pemindahan.
Allah mengkhususkan manusia dengan anggota
tubuh ini, menyimpan padanya pengaturan maslahat yang dituju, engkau lihat
binatang ternak dengan berbagai macam jenis dan bisa mendapatkan maslahatnya
serta membedakan mudharat dari yang
bermanfaat. Kemudian Allah khususkan manusia dengan akal dibandingkan makhluk
lainnya dan disandarkan ke hati, Allah berfirman: “Apakah mereka tidak
berjalan di bumi sehingga hati mereka menjadi berakal dan telinga mereka bisa
mendengar”.
Allah telah menjadikan seluruh anggota
badan tunduk dan taat kepada hati, apa yang ada didalam hati akan terlihat dan
diamalkan, jika baik maka akan keluar baik dan jika jelek maka akan terlihat
jelek.
Jika engkau telah paham ini, akan tampak
bagimu makna sabda Rasulullah: “Ketahuilah didalam jasad itu ada segumpal
daging jika baik maka baiklah seluruh jasad, dan jika jelek maka jeleklah
seluruh jasad, ketahuilah daging tersebut adalah hati”. kita minta kepada
Allah untuk memperbaiki hati kita yang rusak, Wahai Dzat yang membolak-balikan
hati, kokohkanlah hati kami diatas agama-Mu. Wahai Dzat yang memalingkan hati,
palingkanlah hati kami untuk mentaati-Mu.[20]
HADITS KETUJUH
عَنْ أَبِيْ
رُقَيَّةَ تَمِيْمِ بْنِ أَوْسٍ الدَّارِيِّ رَضِيَ
اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: اَلدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ للهِ وَلِكِتاَبِهِ
وَلِرَسُوْلِهِ وَِلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ. رواه
ومسلم.
Dari Abi Ruqayah Tamim bin Aus Addaary Radiyallahu’anhu
sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ágama itu nasehat”,
kami bertanya, bagi siapa? Beliau menjawab: “Bagi Allah, kitab-Nya, rasul-Nya
dan bagi Imam kaum muslimin serta seluruh mereka” (HR. Muslim).
Syarah:
Tamim Ad Daary tidaklah meriwayatkan hadits
kecuali hadits ini saja.
Kata “Nasihat” adalah kalimat yang jami’
(sangat mencakup) maknanya menginginkan sejumlah kebaikan dan memberikannya
kepada yang dinasihati.
Kata ini termasuk nama yang paling singkat
dan ringkas.
Tidak ada didalam bahasa Arab satu kata mufrad
yang banyak maknanya seperti kata nasihat.
Sebagaimana berkata dalam Al falah:
“Tidak ada dalam bahasa Arab kata yang bisa lebih banyak mengumpulkan kebaikan
dunia dan akhirat selain kata nasihat”.
Makna perkataannya: “Agama adalah
nasihat” yakni tiang agama dan penopangnya adalah nasihat. Seperti
sabdanya: “Haji adalah arafah”.
Adapun tafsir nasihat dan macam-macamnya
dikatakan oleh Imam Khathabi dan para ulama lainnya: ”Nasihat bagi Allah maksudnya
beriman kepada-Nya dan menafikan syirik, meninggalkan penyelewengan dalam
sifat-sifat-Nya, mensifati-Nya dengan sifat yang sempurna dan mulia,
mengamalkan ketaatan dan menjauhi maksiat kepada-Nya, cinta dan benci karena
Allah, melawan orang yang mengkufuri-Nya, mengakui dan mensyukuri nikmat yang
diberikan-Nya, ikhlas dalam semua perkara, berda’wah kepada perkara-perkara
tadi, menganjurkan orang lain untuk melakukannya, lemah lembut dengan manusia.
Al Khathabi berkata: “Hakikat sifat-sifat
ini kembali kepada hamba dalam menasehati dirinya, karena Allah Ta’ala tidak
butuh nasehat dari makhlukNya.
Adapun nasehat kepada kitab-Nya dengan cara
beriman bahwasanya itu adalah Firman Allah dan dan diturunkan olehNya,
tidak serupa dengan perkataan manusia dan tidak ada seorangpun yang mampu
menyerupainya, kemudian mengagungkan dan membacanya dengan bacaan yang benar,
membaguskan bacaan dan khusu’ ketika membacanya, membelanya dari
ta’wilan orang yang menyeleweng, membenarkan apa yang ada didalamnya, mengamalkan
hukum-hukumnya, memahami ilmu-ilmu dan contohnya, mengambil pelajaran darinya,
tafakur dalam ayat yang menakjubkan, berdakwah untuk berpegang teguh dengan
kitab-Nya dan untuk mengamalkan uraian yang kita sebutkan tadi.
Adapun nasihat kepada rasul-Nya dengan
membenarkan risalahnya, beriman kepada semua yang dibawanya, mentaati perintah
dan larangannya, membelanya hidup dan mati, memusuhi orang yang memusuhinya,
berwala’ kepada orang yang berwala’ dengannya, mengagungkan
haqnya, menghormatinya, menghidupkan jalan dan sunnahnya, mengambil ilmunya dan
bertafaquh tentang makna-maknanya, berdakwah kepada perkara tersebut, lemah
lembut dalam mengajarkannya, mengagungkan, memuliakan dan beradab ketika
membaca ilmunya, tidak berbicara dalam masalah agama tanpa ilmu, memuliakan
ahlinya karena dinisbatkan kepada ilmu yang mulia, berakhlak dengan akhlaknya,
beradab dengan adabnya, mencintai ahli bait dan sahabatnya, menjauhi orang yang
membuat bid’ah delam sunnahnya atau yang mencerca salah seorang sahabatnya.
Adapun nasihat untuk pemimpin muslimin:
membantu mereka dalam haq, mentaati mereka dengan perintahnya yang haq,
mengingatkan dan menasihati mereka dengan lemah lembut, memberitahukan
kelalaian mereka, menyampaikan kepada mereka tentang hak-hak kaum muslimin dan tidak
memberontak mereka dengan senjata, melunakkan hati manusia untuk taat kepada
mereka dan shalat di belakang mereka, jihad bersama mereka dan mendo’akan
kebaikan untuk mereka.
Adapun nasihat kepada mayoritas muslimin
yakni membimbing mereka –selain pemerintah– untuk kemaslahatan di akhirat dan
dunia mereka, membantu mereka dalam kebaikan, menutupi aurat mereka, menepis
mudharat dari mereka, mencari manfaat bagi mereka, memerintah mereka dengan
yang ma’ruf dan melarang mereka dari yang mungkar dengan lemah lembut dan
ikhlas, sayang kepada mereka, menghormati yang tua dan menyayangi yang kecil,
menasihati mereka dengan nasihat yang baik, tidak menipu dan mendengki mereka,
senang jika mereka mendapatkan apa yang ia senangi jika mendapatkannya, tidak
senang jika saudaranya mendapatkan mudharat yang ia tidak senang jika menimpa
dirinya, membela harta dan kehormatan mereka, serta keadaan mereka yang lainnya
baik dengan perkataan ataupun perbuatan, menganjurkan mereka untuk berakhlak
dengan akhlak yang telah kita sebutkan dalam macam-macam nasehat. Wallahu
A’alam.[21]
Nasihat adalah fardhu kifayah yang jika
telah ditegakkan oleh sebagian kaum muslimin maka gugur kewajiban dari yang
lainnya, dan nasihat itu harus dilakukan sesuai kemampuan. Nasihat secara
bahasa adalah ikhlas, dikatakan kamu telah membersihkan madu jika kamu telah
memurnikannya, ada juga yang berpendapat lain.[22]
Wallahu A’lam.
HADITS KEDELAPAN
عَنِ ابْنِ
عُمَرَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ
النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ
اللهِ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ
عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ
عَلَى اللهِ تَعَالَى. رواه البخاري ومسلم.
Dari Ibnu Umar Radiyallahu Ta’ala ‘anhuma:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku diperintah untuk
memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq
kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, mengeluarkan
zakat, jika mereka sudah melaksanakan semuanya terjagalah dariku harta dan
darah mereka kecuali karena adanya haq Islam, dan hisab mereka adalah atas
Allah Ta’ala” (HR. Bukhari Muslim).
Syarah:
Ini adalah hadits yang agung, salah satu
kaedah agama. Anas bin Malik meriwayatkan hadits ini (dengan lafadz): “Hingga
mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Dia, dan Muhammad
adalah hamba dan utusan-Nya, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami,
shalat seperti shalat kami. Jika mereka sudah melaksanakan semuanya, haram atas
kami harta dan darah mereka kecuali karena adanya haq Islam, mereka punya hak
seperti orang muslim lainnya, dan mempunyai kewajiban seperti kewajiban atas
muslim lainnya” (HR. Bukhari), dalam shahih Muslim dari riwayat Abu
Hurairah:
“Hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali
Allah, serta beriman kepada apa yang aku bawa”, ini
cocok maknanya dengan riwayat Ibnu Umar.
Adapun makna yang terkandung dalam hadits
ini, dikatakan oleh para ulama siroh: “Ketika Rasulullah wafat dan Abu Bakar
menjadi khalifah sebagai penggantinya, banyak orang yang menjadi kafir dari
kalangan Arab, Abu Bakar berniat kuat untuk memerangi mereka, diantara mereka
ada yang tidak mau mengeluarkan zakat tapi tidak murtad, beliau ingin memerangi
mereka dengan penafsiran hadits ini, maka Umar Radiyallahu ‘anhu
berkata: “Bagaimana engkau memerangi manusia padahal mereka telah mengucapkan La
ilaha illallah, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah
bersabda: “Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi
bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah,…”sampai akhir hadits.
Abu Bakar berkata: “Zakat adalah hak harta, dan beliau berkata: “Demi Allah
kalau mereka tidak mau memberikan kepadaku anak kambing – dalam riwayat lain
ikat kambing – yang dulu mereka berikan kepada Rasulullah (sebagai zakat) akan
aku perangi karena perbuatan mereka tersebut, maka Umar mengikuti Abu Bakar
dalam memerangi mereka” (HR. Bukhari Muslim).
Sabdanya: “Aku diperintah untuk
memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq
kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, mengeluarkan
zakat; jika mereka sudah melaksanakan semuanya, terjagalah dariku harta dan
darah mereka kecuali karena adanya haq Islam, dan hisab mereka adalah atas
Allah Ta’ala.
Imam Al Khathabi dan lainnya berkata: “Yang
dimaksud hadits ini adalah penyembah patung dan musyrikin Arab serta
orang-orang yang tidak beriman, bukan ahlul kitab dan orang yang mengakui
tauhid, karena mereka (ahlul kitab dan yang meyakini tauhid) tidak cukup bagi
mereka ucapan Laa ilaha illallah sebagai penjaga darah dan hartanya,
karena mereka mengucapkannya dalam keadaan kafir dan termasuk i’tiqadnya,
demikian pula diriwayatkan dalam hadits lain: “(Bersaksi bahwa) Aku
Rasulullah, menegakkan shalat, dan mengeluarkan zakat”.
Imam Nawawi berkata: “Selain telah
melakukan hal tersebut dalam hadits juga harus mengimani apa yang dibawa
Rasulullah, sebagaimana dalam riwayat Abi Hurairah: “Hingga mereka bersaksi
bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, serta beriman kepada apa
yang aku bawa”.
Makna sabdanya: “hisabnya atas Allah” yakni
perkara yang mereka tutupi dan sembunyikan bukan yang mereka tampakkan dalam
dhahir berupa hukum-hukum yang wajib, demikian disebutkan oleh Imam Al
Khathabi.[23]
Beliau berkata: “Dalam hadits ini
menunjukkan barangsiapa yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekufuran
diterima keislamannya secara dhahir, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Imam Malik berpendapat bahwasanya taubat orang zindiq tidaklah diterima, ini
juga merupakan salah satu riwayat pendapat Imam Ahmad.
Perkataan Rasulullah: “Aku diperintah
untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang
haq kecuali Allah, serta beriman kepada apa yang aku bawa” merupakan dalil
yang sangat jelas bagi mazhab muhaqqiqin dari kalangan jumhur salaf dan
pengikut mereka bahwa jika seseorang meyakini Islam dengan keyakinan yang
mantap tidak ada keraguan padanya, cukuplah hal tersebut baginya, dia tidak
wajib mengetahui dalil-dalil ahlul kalam dan mengenal Allah dengan metode ahlul
kalam, berbeda dengan orang-orang yang mewajibkannya dan bahkan memasukkannya
sebagai syarat bagi ahlul kiblah, ini adalah pendapat yang salah, karena
perkara yang dimaksud yaitu keyakinan yang mantap telah dicapai, karena Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam mencukupkan dengan membenarkan apa yang dibawanya dan
tidak menuntut untuk mengetahui dalil (ahlul kalam), telah banyak hadits shahih
tentang masalah ini yang jika dikumpulkan menunjukkan bahwa asalnya adalah
mutawatir dan menghasilkan ilmu yang qath’i. Wallahu A’lam.[24]
HADITS KESEMBILAN
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ صَخْرٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ
فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا
أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى
أَنْبِيَائِهِمْ.
رواه
البخاري ومسلم.
Dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Shakhr
Radiyallahu Ta’ala ‘anhu: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Apa yang aku larang kalian melakukannya hendaknya kalian
jauhi, dan apa yang aku perintahkan kalian amalkan lakukanlah dengan kemampuan
kalian, sesungguhnya sebab kebinasaan umat sebelum kalian adalah karena banyak
bertanya dan menyelisihi Nabi-Nabi mereka” (HR.
Bukhari Muslim).
Syarah:
Lafadz hadits ini dalam shahih Muslim dari
Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu: “Nabi berkhutbah kepada kami beliau
bersabda:
“Wahai manusia Allah telah mewajibkan haji atas kalian maka
berhajilah!”
berdirilah seorang lelaki: “Apakah setiap tahun wahai Rasulullah?” Rasulullah
diam hingga orang tadi bertanya tiga kali, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Kalau aku katakan ya niscaya wajib tiap tahun”, kemudian
beliau bersabda: “Biarkanlah apa yang aku tinggalkan pada kalian karena
sesungguhnya sebab kebinasaan umat sebelum kalian adalah karena banyak bertanya
dan menyelisihi Nabi-Nabi mereka, apabila aku perintahkan sesuatu untuk kalian
lakukanlah sesuai dengan kemampuan kalian, dan apabila aku melarang sesuatu
tinggalkanlah”. Orang yang bertanya tersebut adalah Aqra’ bin Habis
sebagaimana diterangkan dalam riwayat yang lain.[25]
Ahli ushul berselisih tentang masalah
lafadz perintah apakah mengharuskan dilakukan berulangkali? Sebagian besar
fuqaha dan ahli kalam berpendapat tidak menghendaki pengulangan, sebagian lain
berkata: “Tidak boleh dihukumi harus diulang atau tidak, tapi melakukan lebih
dari satu harus ada penjelasan lain. Hadits ini dijadikan dalil oleh orang yang
tawaquf (tidak menghukumi) karena ketika orang tersebut berkata: “Apakah
tiap tahun?, kalau seandainya lafadz perintah yang mutlaq menghendaki
pengulangan atau tidak, niscaya Nabi tidak akan bersabda: “kalau aku katakan
ya niscaya wajib tiap tahun” bahkan para shahabat tidak butuh untuk
bertanya, tapi lafadz perintah yang mutlaq mungkin untuk mempunyai dua makna
tersebut.
Umat telah ijma’ bahwasanya haji tidak
wajib kecuali satu kali saja seumur hidup berdasarkan ushul syar’i.
Adapun perkataannya: “Biarkanlah apa
yang aku tinggalkan bagi kalian” jelas bahwasanya perintah tidak menghendaki
pengulangan. Lafadz ini juga menunjukkan bahwa hukum asal sesuatu itu tidak
wajib dan tidak ada hukumnya kecuali setelah adanya dalil syar’i, inilah
pendapat yang benar menurut sebagian besar ahli ushul.
Sabdanya: “Kalau aku katakan ya niscaya
wajib tiap tahun” dalil bagi mazhab yang benar bahwa dulu beliau punya hak
untuk berijtihad, dan tidak disyaratkan harus dengan wahyu yang turun
kepadanya.
Sabda beliau: “Apa yang aku perintahkan
untuk kalian amalkan, lakukanlah sesuai dengan kemampuan kalian” ini merupakan
salah satu kaidah penting dan salah satu jawami’ul kalim, dalam hadits
ini banyak sekali mengandung hukum. Seperti shalat jika seseorang tidak mampu
untuk melakukan sebagian rukunnya atau sebagian syaratnya dia harus lakukan apa
yang mampu untuk dilakukan maka shalatnya sah, jika tidak mampu membasuh
seluruh anggota wudhu dia cuci yang mampu ia basuh, demikian juga kalau dia
wajib membayar zakat fitrah untuk beberapa orang yang dibawah tanggung
jawabnya, demikian pula menyingkirkan kemungkaran kalau tidak mampu
menghilangkan semuanya, ia lakukan semampu ia lakukan, dan banyak lagi masalah
yang semisal ini, hal ini masyhur dalam kitab fiqih. Hadits ini seperti ayat
Allah:
فَاتَّقُوْا اللهَ مَا
اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut
kesanggupanmu“(At
Taghabun: 16).
Adapun
firman Allah:
يَاأَيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah sebenar-benar takwa” (Ali Imran: 102). Ada
yang menyatakan telah dimansukh (dihapus hukumnya) oleh firman
Allah:
فَاتَّقُوْا اللهَ مَا
اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada
Allah menurut kesanggupanmu“(At Taghabun: 16).
Sebagian
ulama berkata: “Yang benar ayat tersebut tidak mansukh. Tetapi hanya
sebagai penafsir dan penjelas dari ayat sebelumnya, mereka berkata: “Bertaqwa
yang sebenar-benarnya itu melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya,
Allah tidak menyuruh sesuatu kecuali sesuai dengan kemampuan hamba-Nya, Allah
berfirman:
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya” (Al-Baqarah: 286). Juga firmannya:
“Tidak
menjadikan dalam agama kalian keberatan”.
Adapun
perkataan beliau: “Apa yang aku larang kalian melakukannya maka jauhilah” ini
berlaku secara mutlak, tapi jika ada udzur yang membolehkan seperti memakan
bangkai ketika ada darurat dan sebagainya, ketika itu larangan tidak berlaku
baginya, adapun jika tidak ada udzur dia tidak teranggap mengamalkan perintah
Rasulullah ini sampai meninggalkan seluruh larangan Allah. Tidak akan hilang
darinya sifat tersebut bila dia meninggalkan satu perintah Rasulullah.
Ini
adalah pokok jika dipahami, yaitu masalah perintah yang mutlak: apakah
menghendaki segera dilakukan atau tidak mesti segera, atau apakah wajib satu
kali atau berulang kali?, dalam hadits ini ada beberapa bab fiqih, Wallahu A’lam.
Sabdanya:
“Sesungguhnya sebab kebinasaan umat sebelum kalian adalah karena banyak
bertanya dan menyelisihi Nabi-Nabi mereka” beliau ucapkan setelah
perkataannya: “Biarkan apa yang aku tinggalkan bagi kalian” maksudnya:
jangan banyak bertanya karena bisa jadi akan banyak jawabannya, nanti akan
menyerupai kisah Bani Israil ketika dikatakan kepada mereka:
أَنْ تَذْبَحُوْا
بَقَرَةً
“Sembelihlah
oleh kalian seekor sapi” (Al Baqarah: 67), karena kalau mereka mencukupkan sesuai lafadz tersebut dan bersegera
untuk menyembelih sapi yang manapun cukup bagi mereka, tapi karena mereka
banyak bertanya yang pada akhirnya memberatkan mereka, dan mereka dicela
karenanya. Maka Nabi mengkhawatirkan hal tersebut menimpa umatnya.[26]
HADITS KESEPULUH
عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ تَعَالَى طَيِّبٌ
لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ
بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ، فَقَالَ تَعَالَى: (يَاأَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبَاتِ
وَاعْمَلُوْا صَالِحًا) وَقَالَ تَعَالَى: (يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُلُوْا
مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ)، ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ
أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ. يَا رَبِّ ! يَا رَبِّ ! وَمَطْعَمُهُ
حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى
يُسْتَجَابُ لَهُ. رواه ومسلم.
Dari Abu Hurairah Radiyallahu’anhu:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah itu Baik
dan tidak menerima kecuali sesuatu yang baik, dan sesungguhnya Allah menyuruh
kaum muslimin dengan apa yang diperintahkan kepada para rasul, Allah berfirman:
“Wahai para rasul makanlah yang baik-baik dan beramallah dengan amalan yang
baik” dan berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman makanlah makanan yang baik
dari apa yang telah kami rezkikan kepada kalian” kemudian menyebutkan seseorang
yang lama melakukan safar kusut rambutnya dan berdebu, menengadahkan dua
tangannya ke langit: “Yaa Rabbi Yaa Rabbi, makanannya haram, diberi makanan
yang haram bagaimana bisa diterima do’anya” (HR.
Muslim).
Syarah:
Hadits ini merupakan salah satu hadits yang
padanya sumber Islam dan dasar hukum, menganjurkan berinfak dengan barang yang
halal, dan melarang berinfak dengan barang yang tidak halal,[27]
bahwasanya makanan, pakaian, minuman, dan sejenisnya harus dari barang yang
halal serta bersih dari syubhat dan lainnya. Barangsiapa yang berdo’a harus
lebih memperhatikan masalah ini dari yang lainnya, dalam hadits ini juga
menerangkan jika seorang hamba menginfakkan dengan nafkah yang baik itulah yang
akan berkembang, adapun makanan lezat yang tidak dibolehkan akan menjadi petaka
bagi yang memakannya dan Allah tidak akan menerima amalannya.
Sabdanya: “Kemudian menyebutkan
seseorang yang lama melakukan safar kusut rambutnya dan berdebu… “ maknanya
wallahu a’lam ia telah lama safar dalam ketaatan, untuk haji, jihad dan
perbuatan baik lainnya, tapi walaupun demikian tidak diterima do’anya
disebabkan makanan, minuman dan pakaiannya yang haram, terlebih bagaimana
dengan orang yang tenggelam dengan dunia atau dengan kedhaliman kepada hamba
atau lalai terhadap berbagai macam ibadah dan kebajikan.
Sabdanya: “Menengadahkan kedua
tangannya” yakni mengangkat dua tangannya berdo’a kepada Allah padahal
dalam keadaan menyelisihi dan berbuat maksiat kepada-Nya.
Sabdanya: وغذي بالحرامdengan dhommah huruf ghain
mu’jamah dan tahfifi dzal maksurah.
Sabdanya: “Bagaimana dikabulkan”
dalam riwayat: “Bagaimana akan diijabah do’anya? Yakni dari mana bisa
dikabulkan do’anya, akan tetapi bisa saja Allah mengabulkan do’anya sebagai karunia
kelembutan dan kemurahan-Nya. Wallahu A’lam.[28]
HADITS
KESEBELAS
عَنْ أَبِيْ
مُحَمَّدٍ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبِ سِبْطِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَرَيْحَانَتِِهِ رَضِيَ
اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا قَالَ: حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: دَعْ مَا يُرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يُرِيْبُكَ.
رواه
الترمذي والنسائي، وقال الترمذي: حديث حسن صحيح.
Dari Abu Muhammad Al Hasan bin Ali bin Abi
Thalib cucu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan kesayangannya: “Aku
telah hafal satu hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Tinggalkanlah yang meragukanmu kepada perkara yang tidak meragukanmu” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i, Tirmidzi
berkata: Hadits Hasan Shahih).
Syarah:
Sabdanya: يريبكdiriwayatkan dengan fathah huruf
ya’ dan juga dhammah, tapi dengan fathah lebih fasih dan lebih
masyhur. Boleh juga dengan didhammah, dikatakan: رابني
الشئ وأرابني
maknanya: “Tinggalkan perkara yang meragukanmu dan berpalinglah kepada perkara
yang tidak meragukanmu.
Makna hadits ini kembali kepada makna
hadits yang keenam, yaitu sabda beliau: ”Sesungguhnya perkara yang halal
sudah jelas dan perkara yang haram juga sudah jelas dan diantara keduanya ada
perkara syubhat” (HR. Bukhari Muslim).
Dalam hadits lain Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang hamba tidak mencapai derajat orang
bertaqwa hingga meninggalkan satu perkara yang mubah karena khawatir akan ada
dampaknya” ini adalah derajat yang lebih tinggi lagi.[29]
HADITS KEDUABELAS
عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ قَالَ: قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ
وَسَلَّمَ: مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ. حديث حسن،
رواه الترمذي وغيره هكذا.
Dari Abu Hurairah Radiyallahu’anhu: “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Diantara ciri bagusnya keislaman
seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak ada gunanya” (HR. Hasan diriwayatkan demikian oleh Tirmidzi dan lainnya).
Syarah:
Qurrah bin Abdurrahman telah meriwayatkan
hadits ini dari Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah dan beliau
menshahihkan jalan-jalan hadits ini, kemudian beliau berkata tentang hadits
ini: “Ini termasuk kalimat yang jami’ mengumpulkan makna-makna yang
banyak dan mulia dengan lafadz yang singkat, demikian pula perkataan Abu Dzar Radiyallahu’anhu
dalam sebagian haditsnya:
“Dan barangsiapa yang menghitung perkataan dari amalnya, niscaya
sedikit sekali omongannya dalam perkara yang bermanfaaat,”
Telah diriwayatkan bahwa Imam Malik pernah mendapat berita bahwa
telah dikatakan kepada Luqmanul Hakim: “Dengan apa engkau mencapai kedudukan
sekarang – yakni keutamaan –? Beliau menjawab: “Jujur dalam berkata, menunaikan
amanat dan meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat”.
Diriwayatkan pula bahwa Al Hasan pernah
berkata: “Diantara tanda berpalingnya Allah dari seorang hamba adalah ketika ia
sibuk dengan perkara yang tidak ada manfaatnya, beliau berkata: Abu Dawud
berkata: “Pokok-pokok sunnah dalam setiap bidangnya ada empat hadits”, dan
beliau sebutkan salah satunya adalah hadits ini.[30]
HADITS KETIGA BELAS
عَنْ أَبِيْ
حَمْزَةَ أَنَسِ بْنِ مَالِكِ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ خَادِمِ رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ
لِنَفْسِهِ. رواه
البخاري ومسلم.
Dari Abi Jamrah Anas bin Malik Radiyallahu’anhu:
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah sempurna Iman seseorang
hingga ia mencintai kebaikan bagi saudaranya seperti yang ia cintai untuk
dirinya” (HR. Bukhari Muslim).
Syarah:
Demikianlah yang terdapat dalam shahih
Bukhari dengan lafadz (saudaranya) tanpa ada keraguan, dalam riwayat Muslim: “hingga
mencintai saudaranya atau untuk tetangganya) dengan ragu.
حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه
“Hingga
mencintai kebaikan bagi saudaranya sebagaimana mencintai untuk dirinya”.
Syaikh Abu Amr bin Sholah berkata: “Hal
seperti ini kadang dianggap sebagai perkara yang sulit dan tidak mungkin
dilakukan, sebenarnya tidaklah demikian, karena makna hadits ini: Tidak
sempurna keimanan salah seorang seorang kalian hingga ia mencintai kebaikan
bagi saudaranya yang muslim sebagaimana ia mencintai untuk dirinya. Sehingga
hal ini bisa dilakukan dengan cara mencintai semua jenis kebaikan bagi
saudaranya dan tidak menghilangkan kebaikan tersebut darinya, sehingga tidak
ada sedikitpun nikmat yang kurang baginya. Hal ini akan mudah dilakukan oleh
hati yang sehat dan akan sulit dilakukan oleh hati yang sakit, dengki, mudah-mudahan
Allah menyelamatkan kita dan saudara-saudara kita semuanya.
Abu Zinad berkata: “Dhahir hadits ini
adalah sama dalam kebaikan, dan hakikatnya adalah senang bila temannya lebih
afdhal, karena manusia senang kalau dirinya lebih utama dari orang lain.
Apabila dia senang saudaranya seperti dia maka telah masuk golongan orang yang
diungguli oleh saudaranya. Bukankah engkau tahu manusia minta keadilan dalam
masalah haknya dan ketika didhalimi? Maka jika dia sudah sempurna imannya dan
pernah berbuat dhalim atau ada hak orang lain atasnya maka ia akan menuntut
keadilan kepada dirinya walaupun hal tersebut terasa berat.
Diceritakan bahwa Fudhail bin ‘Iyadh pernah
berkata kepada Sufyan bin Uyainah: “Jika engkau menginginkan orang lain
sepertimu berarti engkau belum menunaikan nasihat Allah, terlebih lagi jika
engkau menginginkan mereka dibawahmu?
Sebagian ulama berkata: “Dalam hadits ini
ada fiqih, bahwa seorang mukmin dengan mukmin lainnya seperti satu jiwa, maka
ia harus senang saudaranya mendapatkan sesuatu yang ia senangi, karena mereka
adalah satu jiwa, sebagaimana dalam hadits lain:
اَلْمُؤْمِنُوْنَ
كَالْجَسَدِ الْوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عَضْوًا تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ
بِاالْحُمَى وَالسَّهَِر
“Kaum mukminin itu seperti tubuh apabila
salah satu anggotanya sakit maka anggota yang lainnya panas dan tidak bisa
tidur” (Muttafaq ‘alaih).[31]
HADITS KEEMPAT BELAS
عَنِ بْنِ
مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ قَالَ:قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ
مُسْلِمٍ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ،
وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ. رواه
البخاري ومسلم.
Dari Ibnu Mas’ud Radiyallahu’anhu:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak halal darah seorang
muslim kecuali karena tiga perkara: orang yang sudah menikah berzina, membunuh
jiwa, orang yang meninggalkan agamanya memisahkan diri dari jama’ah” (HR. Bukhari Muslim).
Syarah:
Dalam sebagian riwayat Bukhari Muslim: “Tidak
halal darah seorang muslim yang bershahadat Laa ilaha illallah wa anni
Rasulullah kecuali dengan salah satu perkara”.
Sabdanya: “bersyahadat La ilaha illallah
wa anni Rasulullah” seperti tafsir
dari sabdanya: “Muslim” demikian pula sabdanya: “memisahkan diri dari
jama’ah” tafsir dari kata “meninggalkan agama”, tiga golongan ini
semua halal darahnya berdasarkan nash, yang dimaksud jamaah adalah kaum
muslimin, pemisahan diri mereka adalah karena murtad dari agama Islam, inilah
yang menyebabkan halal darahnya.
Sabdanya: “Orang yang meninggalkan
agamanya memisahkan diri dari jamaah” bermakna umum bagi semua orang yang murtad
dari Islam dengan cara apapun, wajib membunuhnya jika tidak kembali kepada
Islam.
Dhahir dari nash ini bermakna umum. Namun
keluar dari keumuman hukum ini seorang yang menyerang orang lain dan semisalnya,
(dalam kasus seperti ini) boleh membunuhnya dalam rangka menolak gangguannya,
telah dijawab bahwa mereka telah masuk dalam pengertian memisahkan diri dari
agama, maka maksudnya: “Tidak halal sengaja bertujuan mebunuhnya kecuali tiga
orang diatas”. Wallahu a’lam.
Sebagian ulama ada yang berdalil dengan
hadits ini bahwa orang yang meninggalkan shalat harus dibunuh karena orang yang
meninggalkan shalat disebutkan dalam tiga orang diatas, dalam masalah ini ada khilaf
(perselisihan) di kalangan ulama: diantara mereka ada yang mengkafirkan orang
yang meninggalkan shalat, sebagian lagi tidak mengkafirkannya, sebagian ulama
yang mengkafirkan berdalil dengan hadits lain: “Aku diperintah untuk
memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq
kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, mengeluarkan
zakat”[32]
mereka berkata: “Sisi pendalilannya Rasulullah menegaskan terjaga darah
seseorang apabila terkumpul padanya syahadatain, shalat dan zakat. Sesuatu yang
tersusun dari beberapa perkara tidak akan tercapai kecuali dengan terkumpulnya
perkara-perkara tersebut jika tidak ada maka hilanglah ia. Demikianlah kalau
mereka berdalil dengan konteks hadits –yaitu perkataan Aku diperintah untuk
memerangi manusia..“ sesungguhnya hadits ini hanya menghendaki peperangan
sampai puncaknya– maka orang ini telah keliru dan lalai, karena berbeda sekali
antara makna memerangi sesuatu dan membunuh sesuatu, karena المقالة مفاعلة menghendaki adanya
kegiatan dari dua belah pihak, dan kewajiban memerangi orang yang tidak shalat
tidak mesti berarti kita juga harus membunuhnya walau dia meninggalkannya tanpa
memerangi kita. Wallahu a’lam.
Perkataannya: “Orang yang sudah menikah
berzina” masuk kedalam hadits ini laki-laki dan perempuan, ini adalah dalil
bagi permasalahan yang disepakati kaum muslimin bahwa hukum pezina adalah rajam
dengan syarat-syarat yang disebutkan dalam kitab fiqih.
Sabdanya: “Jiwa dibayar jiwa” sesuai
dengan firman Allah:
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيْهَا أَنَّ النَّفْسَ
بِالنَّفْسِ
“Kami
tetapkan atas mereka bahwa jiwa harus dibayar jiwa” (Al Maidah: 45), yang dimaksud disini
adalah jiwa yang satu derajat dalam Islam dan merdeka, berdasarkan sabda
Rasulullah:
لاَ يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ
“Seorang
muslim tidak dibunuh karena membunuh orang kafir” (HR. Bukhari), demikian pula harus
merdeka merupakan salah satu syarat menurut Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad.
Ashhabur ra’yi berpendapat: “bahwa muslim dibunuh karena membunuh orang kafir
dzimmi, orang merdeka dibunuh karena membunuh hamba sahaya, berdalil dengan
hadits ini tetapi jumhur berbeda dengan pendapat mereka ini.”[33]
HADITS KELIMA BELAS
عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا
أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ
جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ. رواه
البخاري ومسلم.
Dari Abu Hurairah Radiyallahu’anhu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir hendaknya berkata yang baik atau diam, dan
barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya memuliakan
tetangganya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya
memuliakan tamunya” (HR. Bukhari Muslim).
Syarah:
Sabdanya: ) مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ
الآخِرِ )“Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir” Barangsiapa yang beriman dengan
Iman yang sempurna yang menyelamatkan dari neraka dan menyampaikannya kepada
keridhoan Allah (فَلْيَقُلْ
خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ ) “hendaknya ucapkan ucapan yang
baik atau diam” Karena barangsiapa yang beriman kepada Allah dengan
sebenar-benarnya Iman akan takut ancaman-Nya dan mengharap pahala-Nya berusaha
keras untuk melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, yang lebih
penting dari itu semua: menjaga anggota badannya yang merupakan gembalaannya
yang nantinya akan dimintai pertanggung jawabannya, sebagaimana firman Allah:
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ
كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلاً
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati
semuanya akan ditanyai oleh Allah” (Al Isra: 36).
Allah
berfirman pula:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ
عَتِيْدٌ
“Tiada
suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas
yang selalu hadir” (Qaaf: 18).
Bahaya-bahaya
lisan itu banyak sekali, sebagimana sabda Nabi:
هَلْ يُكْتَبُ النَّاسُ فِي النَّارِ عَلَى
مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدَ أَلْسِنَتِهِمْ
“Bukankah
manusia tersungkur ke neraka di atas hidung mereka tidak lain karena hasil
lisan mereka”[34]
Beliau
bersabda:
كُلُّ كَلاَمِ
ابْنِ آدَمَ عَلَيْهِ إِلاَّ ذِكْرُ اللهِ تَعَالَى، وَأَمْرٌ بِمَعْرُوْفٍ، وَنَهْيٌ
عَنِ الْمُنْكَرِ
“Semua perkataan bani Adam adalah kesalahannya
kecuali dzikir kepada Allah Ta’ala dan amar ma’ruf nahi munkar”.
Barangsiapa
yang telah mengetahui hal tersebut dan mengimaninya dengan sebenar-benarnya
Iman, niscaya akan takut kepada Allah dan tidak akan bicara kecuali yang baik
atau diam.
Sebagian
ulama berkata: “Kumpulan adab kebaikan tercabang dari empat hadits diantaranya
mereka menyebutkan: ““Barangsiapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya berkata yang baik atau diam”. Ahli bahasa berkata: يقال: صمت يصمت بضم
الميم صمتا وصموتا وصماتا - .
Sebagian ulama berkata tentang makna hadits
ini: “Jika seseorang hendak berbicara hendaknya ia teliti. Jika apa yang
diucapkan itu akan mendapatkan pahala ucapkanlah, tetapi jika tidak janganlah
bicara dengan ucapan yang haram, makruh atau mubah. Dengan demikian perkataan
yang mubah juga disuruh untuk ditinggalkan dan sunnah meninggalkannya karena
khawatir akan menyeret kepada perkataan yang haram atau makruh dan hal tersebut
sering terjadi. Allah berfirman:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ
عَتِيْدٌ
“Tiada suatu ucapanpun
yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”
(Qaaf: 18).
Perkataannya: “Hormatilah tetangganya
dan muliakan tamunya” hadits ini menjelaskan tentang hak tetangga dan tamu,
keharusan berbuat baik kepada keduanya dan anjuran untuk menjaga anggota badan,
Allah telah mewasiatkan dalam kitab-Nya untuk berbuat baik kepada tetangga.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَازَالَ
جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ يُوْصِيْنِيْ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ
سَيورثه
“Jibril terus menerus berwasiat kepadaku
tentang tetangga, hingga aku menyangka akan berhak mendapatkan waris” (Muttafaq ‘alaih: Riyadhus
Shalihin: 303). Kemudian menjamu tamu merupakan bagian dari adab Islam dan
akhlaknya para Nabi dan orang shalih, sebagian ulama menegaskan wajibnya
menjamu tamu, dan sebagian besar mereka menyatakan termasuk akhlak yang mulia.
Pengarang Al Ifshah berkata: “Dalam
hadits ini ada fiqih, seorang manusia hendaknya meyakini bahwa menghormati tamu
adalah ibadah, tidak berkurang kalau yang bertamu adalah orang kaya dan tidak
merasa berat menyuguhkan kepada tamunya sedikit makanan. Menghormati tamu
adalah menyambutnya dengan wajah berseri, sopan dalam bicara, dan pokok menjamu
tamu adalah memberinya makan, dia harus bersegera menyuguhkan apa yang Allah
mudahkan baginya dan jangan memberat-beratkan diri, beliau menyebutkan masalah
penjamuan tamu dan berkata: “Adapun perkataannya: “Ucapkanlah yang baik atau
diam” menunjukkan bahwa perkataan yang baik itu lebih baik dari pada diam
dan diam lebih baik dari perkataan yang jelek, hal ini dikarenakan beliau
memulai dengan huruf lam tanda perintah ketika menyuruh berkata yang
baik dan ketika menyuruh diam. Dan diantara perkataan yang baik adalah
menyampaikan ilmu dari Allah dan rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam
dan mengajari kaum muslimin, amar ma’ruf diatas ilmu, inkarul munkar dengan
ilmu, mendamaikan manusia, berkata baik kepada manusia, diantara ucapan yang
paling utama adalah menyatakan yang hak dihadapan orang yang dikhawatirkan atau
diharapkan dalam kekokohan dan kelurusan agama.[35]
HADITS KEENAM BELAS
عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: أَوْصِنِيْ، قَالَ (لاَتَغْضَبْ) فَرَدَّدَ مِرَارًا،
قَالَ: (لاَتَغْضَبْ). رواه البخاري.
Dari Abu
Hurairah Radiyallahu’anhu: “Ada
seorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Berwasiatlah
kepadaku! Rasulullah bersabda: “Janganlah engkau marah”, orang tersebut
bertanya berulangkali maka beliau menjawab: “Jangan marah” (HR. Bukhari).
Syarah:
Pengarang Al Ifshah berkata: “Boleh
jadi Rasulullah tahu orang tersebut sering marah, maka beliau mengkhususkannya
dengan wasiat ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memuji orang
yang bisa menguasai dirinya ketika marah, beliau bersabda:
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرْعَةِ إِنَّمَا
الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Bukanlah kekuatan itu dengan bergulat,
tapi orang yang perkasa adalah yang mampu menahan diri ketika marah” (Muttafaq ‘alaih).
Allah memuji orang yang suka menahan amarah
dan memaafkan manusia, telah diriwayatkan pula bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ كَظَمَ
غَيْظَهُ وَهُوَ يَسْتَطِيْعُ أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ الله عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوْسِ
الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَه مِنَ الحوَارِ مَا شَاءَ"
“Barangsiapa yang
menahan amarahnya padahal dia mampu untuk melampiaskannya akan dipanggil oleh
Allah di hadapan makhluk-makhluk di hari kiamat nanti sampai dipilihkan baginya
bidadari mana yang ia inginkan”.[36]
Dalam satu hadits diterangkan: “Sesungghunya
marah itu dari syaithan” oleh karena itu manusia suka hilang kendali ketika
marah, mengucapkan ucapan batil, melakukan perbuatan yang dicela, berniat untuk
dengki dan membenci, serta melakukan kejelekan lainnya yang diharamkan. Itu
semua karena sebab marah, mudah-mudahan Allah melindungi kita darinya.
Telah ada hadits dari Abu Sulaiman bin
Sharmad:
“Sesungguhnya berlindung kepada Allah
dari syaithan menghapuskan amarah”. Hal ini karena
syaithanlah yang menghias-hias marah kepada manusia. Semua orang yang akhir
hidupnya ingin dipuji akan digelincirkan dan dijauhkan oleh syaithan dari ridha
Allah, maka berlindung kepada Allah merupakan salah satu senjata yang paling
kuat untuk menolak tipu daya syaithan.[37]
HADITS KETUJUH BELAS
عَنْ أَبِيْ
يَعْلَى شِدَادُ بْنِ أَوْسٍ رَضِيَ
اللهُ تَعَالَى عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ اللهَ كَتَبَ اْلإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ
فَأَحْسِنُوْا الْقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوْا الذَّبْحَةَ، وَلْيُحِدَّ
أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ. رواه ومسلم.
Dari Abu Ya’la Syadda bin Aus Radiyallahu’anhu:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah
menetapkan perbuatan baik untuk segala sesuatu, apabila kalian membunuh atau
menyembelih sembelihan hendaknya membaguskan sembelihannya, hendaknya
dipertajam pisaunya dan diberi ketenangan hewan sembelihannya itu” (HR.Muslim ).
Syarah:
القتلة dengan kasrah huruf qaf
yakni bentuk dan keadaan, الذبحة dengan kasrah dzal bisa juda didhammah.
Dalam beberapa riwayat dengan lafadz فأحسنوا
الذبيحtanpa huruf ha dengan akhir fathah sebagai
masdar, dan dengan ha dan
dikasrah artinya: bentuk dan keadaan.
Perkataannya: وليحد أحدكم شفرتهdengan dhammah huruf ya dari يحد dikatakan: “Perbagus
ketika membunuh” maknanya umum dalam seluruh penyembelihan, membunuh karena
qishash atau karena hukum had dan lainnya, ini termasuk salah satu hadits yang
mengandung kaedah-kaedah Islam.
Makna membaguskan pembunuhan yakni
bersungguh -sungguh untuk memperbagus dalam
membunuhnya dan tidak bermaksud menyiksanya.
Memperbagus penyembelihan hewan maksudnya
adalah lemah lembut dengan tidak menyungkurkannya secara tiba-tiba, jangan
menyeretnya dari satu tempat ke tempat lain, menghadapkannya ke kiblat, membaca
basmalah dan tahmid, memotong kerongkongannya dan urat lehernya, membiarkannya
hingga tenang, mengakui karunia Allah dan mensyukuri nikmat-Nya, karena
Allahlah yang menundukkannya kepada kita, jika Allah berkehendak bisa menguasakannya
kepada kita, Allah mengharamkan kepada kita sesuatu yang kalau Dia berkehendak
Dia bisa mengharamkannya atas kita.Wallahu a’lam.[38]
HADITS KEDELAPAN BELAS
عَنْ أَبِيْ
ذَرٍّ جُنْدُبِ بْنِ جَنَادَةَ، وَأَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمنِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ
اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: إِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ
تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ. رواه الترمذي وقال: حديث حسن، وفي
بعض النسخ: حسن صحيح.
Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abi
Abdirrahman Muadz bin Jabal Radiyallahu’anhuma Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Bertaqwalah kepada Allah dimanapun engkau berada, iringilah
perbuatan jelekmu dengan kebaikan yang akan menghapusnya, dan bergaullah dengan
manusia dengan akhlak yang baik” (HR. Tirmidzi beliau
berkata: Hadits Hasan, dalam satu nushah: Hasan shahih).
Syarah:
Keutamaan Abu Dzar banyak sekali, beliau
masuk Islam ketika Rasulullah masih di Mekkah dan Rasulullah menyuruh untuk
bergabung dengan kaumnya. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
melihat semangatnya tinggal di Mekkah dan tidak mampu melakukannya, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
“Bertakwalah kepada Allah dimanapun engkau berada, iringilah
perbuatan jelekmu dengan kebaikan yang akan menghapuskannya”. Hadits ini sesuai dengan firman Allah:
إِنَّ الْحَسَنَتِ يُذْهِبْنَ
السَّيِّئَاتِ
“Sesungguhnya kebaikan akan menghapus kejelekan” (Hud: 114).
Perkataannya: “Dan bergaullah dengan manusia
dengan akhlak yang baik”
Maknanya: bergaulah dengan manusia seperti engkau inginkan mereka
bermuamalah denganmu, ketahuilah sesuatu yang paling berat timbangannya di hari
kiamat adalah husnul khuluq. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
إِنَّ أَحَبّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبكُمْ
مِنِّيْ مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أحاسنكُمْ أَخْلاَقًا
“Sesungguhnya
orang yang paling aku cintai dan terdekat tempat duduknya denganku di hari
kiamat adalah yang paling baik akhlaknya”,[39] baik akhlak itu termasuk sifatnya para nabi, rasul dan orang mukmin
yang terpilih, yaitu tidak membalas kejelekan dengan kejelekan, tapi memaafkan
dan mengampuni serta berbuat baik walau orang lain berbuat jelek kepadanya.[40]
HADITS KESEMBILAN BELAS
عَنْ أَبِي
الْعَبَّاسِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا قَالَ:
"كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا، فَقَالَ:
يَا غُلاَمُ، إِنِّيْ أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ: اِحْفَظِ اللهَ يَحْفَظُكَ، اِحْفَظِ
اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ الله، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ
بِاللهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ اْلأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيْئٍ
لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلاَّ بِشَيْئٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوْا
عَلَى أَنْ يَّضُرُّوْكَ بِشَيْئٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْئٍ قَدْ كَتَبَهُ
اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ اْلأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ. رواه
الترمذي وقال: حديث حسن صحيح. وفي رواية غير الترمذي: "إِحْفَظِ
اللهَ تَجِدْهُ أَمَامَكَ، تَعَرَّفْ إِلَى الله فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي
الشِّدَّةِ، وَاعْلَمْ أَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَكَ، وَمَا أَصَابَكَ
لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ، وَاعْلَمْ أَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ، وَأَنَّ الْفَرَجَ
مَعَ الْكَرْبِ، وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا.
Dari Abul Abas Abdullah bin Abbas Radiyallahu’anhuma:
“Pada suatu hari aku pernah berada di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam beliau berkata: “Wahai anak muda aku akan mengajari engkau beberapa
kalimat, jagalah agama Allah niscaya engkau akan dijaga oleh-Nya, jagalah agama
Allah niscaya engkau akan mendapati Allah dihadapanmu, apabila engkau minta,
mintalah kepada Allah dan apabila mau minta tolong, minta tolonglah kepada
Allah, ketahuilah jika seluruh umat bersepakat untuk memberi satu manfaat
untukmu mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan sesuatu yang telah
ditetapkan oleh Allah, dan kalau mereka berkumpul hendak menimpakkan mudharat
atasmu mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan sesuatu yang telah
ditetapkan oleh Allah, telah diangkat qalam dan telah kering buku catatan” (HR. Tirmidzi ia berkata Hadits Hasan Shahih). Dalam riwayat
selain Tirmidzi: “Jagalah agama Allah niscaya engkau akan mendapati Allah
dihadapanmu, kenalilah Allah dalam keadaan lapang niscaya Dia akan mengenalmu
ketika kamu dalam keadaan susah, ketahuilah apa yang ditaqdirkan tidak
mengenaimu niscaya tidak akan kau dapatkan, dan apa yang ditaqdirkan menimpamu
tidak akan meleset, ketahuilah kemenangan itu dengan kesabaran, kelapangan itu
bersama kesusahan dan kemudahan itu bersama kesulitan”.
Syarah:
Keutamaan Abdullah bin Abbas banyak sekali.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mendo’akannya: “Ya Allah
faqihkan dia dalam agama, dan ajarilah ia tafsir”(HR. Muslim), mendo’akan
untuknya akan mendapatkan hikmah dua kali, telah ada riwayat yang shahih darinya
bahwa ia pernah melihat Jibril dua kali, dia adalah lautan ilmu umat ini,
Rasulullah menganggap ia layak mendapatkan wasiat, walaupun ia masih kecil,
beliau berkata: “Jagalah agama Allah niscaya engkau akan dijaga oleh-Nya”
maknanya: Jadilah engkau orang yang taat kepada Allah, mengutamakan
perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya.
Perkataannya: “Jagalah agama Allah
niscaya engkau akan mendapati Allah dihadapanmu”
yakni lakukan amalan taat kepada-Nya jangan sampai engkau terlihat
menyelisihi-Nya, niscaya engkau akan mendapati Allah dihadapanmu, sebagaimana
yang dialami oleh tiga orang yang kehujanan kemudian masuk ke goa kemudian
tertimbun batu yang menutupi goa tersebut, mereka berkata: “Perhatikanlah
apa yang kalian amalkan dari amalan shalih mintalah kepada Allah dengannya, itu
akan menyelamatkan kalian, akhirnya semuanya berdo’a dengan bertawasul dengan
amalan shalih yang dulu pernah mereka lakukan kepada Allah, dan batu itupun
bergeser kemudian mereka bisa keluar dan berjalan. Kisah ini masyhur
terdapat dalam kitab shahih.
Perkataannya: “Apabila engkau minta,
mintalah kepada Allah dan apabila mau minta tolong, minta tolonglah kepada
Allah” membimbingnya untuk bertawakal kepada Allah, jangan menjadikan
selain-Nya sebagai sesembahan, jangan bergantung kepada orang lain dalam segala
urusan, baik urusan yang kecil atau besar. Allah berfirman:
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ
عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa
yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (At Thalaqaa: 3). Dengan kadar apapun
seorang hamba bersandar kepada selain Allah, baik dengan permintaannya, hatinya
ataupun cita-cita maka berarti ia telah berpaling dari Allah kepada makhluk
yang tidak bisa memberi manfaat atau menimpakan mudharat, demikian pula takut
kepada selain Allah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menekankan dengan
perkataannya: “Ketahuilah jika seluruh umat bersepakat untuk memberi satu
manfaat untukmu mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan sesuatu yang
telah ditetapkan oleh Allah” demikian pula masalah mudharat, inilah yang
disebut Iman kepada taqdir, wajib iman kepada taqdir yang baik maupun yang
buruk, jika seorang mukmin telah meyakini hal ini, apa faedahnya berdo’a dan
meminta perlindungan kepada selain Allah? Demikian juga jawaban Alkhalil
‘alaihis shalatu wassalam: “Ketika Jibril datang kepadanya di goa hiro seraya
berkata: “Apa kamu punya kebutuhan?” beliau menjawab: “Kalau kepadamu
tidak”.
Perkataannya: “telah diangkat qalam dan
telah kering buku catatan” ini adalah penegas kalimat sebelumnya, yakni
tidak akan terjadi sesuatu yang berbeda dengan yang aku sebutkan baik dengan dihapus
atau diganti.
Kemudian perkataannya: “Ketahuilah
kemenangan itu dengan kesabaran, kelapangan itu bersama kesusahan dan kemudahan
itu bersama kesulitan”, mengingatkan bahwa manusia di dunia – apalagi orang
shalih – adalah orang-orang yang pantas ditimpa musibah, berdasarkan firman
Allah:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْئٍ
مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ اْلأَمْوَلِ وَاْلأَنْفُسِ وَالثَّمَرَتِ
وَبَشِّرِ الصَّابِرِيْنَ. الَّذِيْنَ إِذَا أَصَبَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ قَالُوْا إِنَّا
ِللهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَجِعُوْنَ. أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَتٌ مِّنْ رَّبِّهِمْ
وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُوْنَ
“Dan
sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar. (yaitu)
orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna
lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun" Mereka Itulah yang mendapat keberkatan
yang Sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang
mendapat petunjuk” (Al Baqarah: 155-157).
Allah berfirman juga:
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّبِرُوْنَ أَجْرَهُمْ
بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya
orang yang sabar akan dicukupkan pahala mereka tanpa ada perhitungan” (Az Zumar: 10).[41]
HADITS KEDUA PULUH
عَنْ
أَبِيْ مَسْعُوْدِ عُقْبَةَ بْنِ عَمْرِو اْلأَنْصَرِيِّ الْبَدْرِي رَضِيَ
اللهُ تَعَالَى عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: ((إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ
النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ". رواه
البخاري.
Dari Abi Mas’ud ‘Uqbah bin Amir al Anshari
al Badri Radiyallahu’anhu: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya perkara yang didapati manusia dari ucapan nubuwah yang pertama
adalah: “Jika kalian tidak malu lakukanlah apa yang mau” (HR. Bukhari).
Syarah:
Makna perkataan: “Ucapan nubuwah yang
pertama” bahwasanya malu adalah sifat terpuji dan baik. Kita diperintahkan
untuk bersifat demikian, perintah tersebut tidak pernah dihapus sejak para Nabi
yang pertama.
Perkataannya: “Lakukanlah apa yang mau”,
ada dua kemungkinan; kemungkinan pertama: diucapkan dengan lafadz
perintah dalam rangka ancaman dan hardikan, bukan maksudnya perintah biasa
seperti firman Allah:
اعْمَلُوْا مَا
شِئْتُمْ
“Lakukanlah apa yang kalian mau” (Fushilat: 40).
Karena
ayat ini adalah ancaman sebab telah dijelaskan kepada mereka apa yang mereka
lakukan dan apa yang mereka tinggalkan, juga seperti perkataan Nabi:
مَنْ بَاعَ الْخَمْرَ فليشْقص الْخَنَازِيْرَ.
“Barangsiapa
yang menjual khamr hendaknya menyembelih babi”, bukan maknanya boleh menyembelih babi. Kemungkinan
kedua: lakukan apa yang tidak malu jika pelakunya diketahui orang lain,
seperti ini juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
اَلْحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ.
“Malu
termasuk dari iman” (HR. Bukhari dan Muslim).
Maknanya:
karena malu itu mencegah orang yang mempunyai sifat ini dari perbuatan kotor
dan membawanya untuk melakukan kebajikan dan kebaikan, sebagaimana iman akan
membentengi orang yang beriman dari perbuatan maksiat dan membimbing orang yang
mempunyai iman untuk taat, maka malu kedudukannya sama dengan iman, karena
persamaannya tersebut. Wallahu a’lam.[42]
HADITS KEDUA PULUH SATU
عَنْ أَبِيْ
عَمْرِو – وَقِيْلَ أَبِيْ عُمْرَةَ – سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِاللهِ الثَّقَفِيِّ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ الله! قُلْ لِيْ فِي اْلإِسْلاَمِ قَوْلاً،
لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا غَيْرَكَ، قَالَ: "قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ فَاسْتَقِمْ".
رواه مسلم.
Dari Abi Amr – ada yang menyatakan pula
Abi Umrata – Sufyan bin Abdillah Radiyallahu’anhu: Aku berkata kepada
Rasulullah: “Wahai Rasulullah sampaikanlah kepadaku satu perkataan yang aku
tidak akan bertanya lagi setelahnya kepada selainmu. Rasulullah bersabda:
“Katakanlah Aku beriman kepada Allah kemudian istiqamahlah” (HR. Muslim).
Syarah:
Makna perkataannya: “Aku berkata kepada
Rasulullah: “Wahai Rasulullah sampaikanlah kepadaku satu perkataan yang aku
tidak akan bertanya lagi setelahnya kepada selainmu” yakni ajarkan kepadaku
satu perkataan yang mencakup makna-makna Islam yang jelas sehingga tidak butuh
penjelasan selainmu, aku beramal dan bertaqwa dengannya. Rasulullah menjawab: “Katakanlah
aku beriman kepada Allah kemudian istiqamahlah” ini termasuk jawami’ul
kalim yang diberikan kepada Rasulullah. Karena beliau memberikan jawaban
kepada orang yang bertanya dengan dua kalimat yang mengandung makna Iman. Dia
disuruh untuk selalu memperbaharui Imannya dengan lisan dan mengingat dengan
hati. Juga beliau memerintahkannya untuk istiqamah dalam menjalankan ketaatan
serta menjauhi perkara yang menyelisihi syariat yang merupakan lawannya
istiqamah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
إِنَّ الَّذِيْنَ
قَالُوْا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَمُوْا
“Orang-orang
yang berkata rabb kami adalah Allah kemudian istiqamahlah”(Fushilat: 30), yakni beriman kepada Allah saja kemudian istiqamahlah diatas ilmu
tersebut dan diatas ketaatan kepada Allah hingga diwafatkan oleh Allah dalam
keadaan istiqamah diatas agama-Nya.
Umar bin Khattab Radiyallahu’anhu berkata: “Demi
Allah beristiqmahlah kalian diatas ketaatan kepada Allah, dan janganlah
menyimpang dari jalan seperti musang”. Maknanya teruslah memperbanyak
amalan taat dan baik dalam keyakinan, perkataan maupun amalan dan teruslah
diatas ketaatan.
Makna seperti ini adalah pendapat jumhur
ulama mufassirin. Dan itu juga makna hadits ini Insya Allah. Demikian pula
Firman Allah:
فَاسْتَقِمْ كَمَآ
أُمِرْتَ
“Beristiqamahlah
engkau sebagaimana yang diperintah” (Hud: 112). Ibnu Abbas berkata tidak ada satu ayat
pun dalam Al-Qur’an yang lebih memberatkan Rasulullah dibanding ayat ini”.
Oleh karena itu beliau bersabda: “Surat Hud dan sejenisnya
telah membuatku beruban”.
Ustadz Abul Qasim Al-Qusyairi berkata:
“Istiqamah adalah satu derajat yang dengannya sempurna segala urusan. Dengan
adanya istiqamah tercapai dan teraturlah semua kebaikan. Barangsiapa yang tidak
istiqamah dalam perjalanannya maka sia-sia dan rusak usahanya. Beliau berkata:
“Ada yang
mengatakan tidak ada yang mampu melakukannya kecuali orang besar. Karena dengan
istiqamah seseorang keluar dari kebiasaannya sehari-hari, memisahkan diri dari
adat, berdiri dihadapan Allah sesuai dengan hakikat sidiq, oleh karena itu Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Istiqamahlah kalian dan kalian
takkan bisa menghitung”.
Al Wasithi berkata: “Perangai yang
dengannya sempurna perbuatan baik dan jika tidak ada akan menjadi jelek hal-hal
yang baik adalah istiqamah, wallahu a’lam.[43]
HADITS KEDUA PULUH DUA
عَنْ أَبِيْ
عَبْدِ اللهِ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِاللهِ اْلأَنْصَارِيْ رَضِيَ
اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَرَأَيْتَ إِذَا صَلَّيْتَ الْمَكْتُوْباَتِ،
وَصُمْتُ رَمَضَانَ، وَأَحْلَلْتَ الْحَلاَلَ وَحَرَّمْتَ الْحَرَامَ وَلَمْ أَزِدْ
عَلَى ذَلِكَ شَيْئًا، أَأَدْخُلِ الْجَنَّةَ؟ قَالَ: "نَعَمْ". رواه مسلم.
وَمَعْنَى حَرَّمْتُ الْحَرَامَ: اجْتَنَيْتُهُ، وَمَعْنَى أَحْلَلْتُ الْحَلاَلَ:
فَعَلْتُهُ مُعْتَمِدًا حَلَّهُ.
Dari Abu Abdillah Jabir bin Abdillah al
Anshari Radiyallahu’anhu: “Ada
seseorang yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dia
berkata: “Apa pendapatmu jika aku shalat wajib, berpuasa bulan Ramadhan,
menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram. Dan aku tidak menambah yang
lainnya, apakah aku bisa masuk surga? Rasulullah menjawab: “Ya” (HR. Muslim).
Makna mengharamkan yang haram adalah aku
menjauhinya, makna menghalalkan yang halal adalah aku melaksanakannya dengan
keyakinan halalnya.
Syarah:
Orang yang bertanya ini adalah Nu’man bin
Qauqol – dengan huruf qaf yang difathah-. Syaikh Abu bin Shalah berkata:
“Yang dhahir maksud “mengharamkan yang haram” ada dua makna: pertama,
meyakini keharamannya kedua, tidak melakukannya. Berbeda dengan
menghalalkan yang halal karena cukup dengan meyakini halalnya.
Pengarang kitab Al Mufham berkata:
“Nabi tidak menyebutkan kepada orang ini ibadah yang sunnah secara global, ini
menunjukkan bolehnya meninggalkan perkara tathawu’ (sunnah) secara
keseluruhan. Akan tetapi barangsiapa meninggalkannya dan tidak melakukan
sedikitpun ibadah tathawu’, (ia telah kehilangan) keuntungan yang banyak
dan pahala yang besar. Barangsiapa yang terus menerus meninggalkan perkara
sunnah ini merupakan kekurangan dalam agama seseorang dan mencacati keadilannya.
Jika meninggalkannya karena meremehkan atau membencinya maka itu merupakan
suatu kefasikan yang ia akan dicela karenanya.
Ulama kita berkata: “Kalau penduduk satu
negeri sepakat untuk meninggalkan satu sunnah mereka harus diperangi sampai ruju’.
Para sahabat dan orang yang mengikuti mereka
telah melaksanakan secara rutin perkara sunnah sebagaimana mereka rutin dalam
melaksanakan ibadah yang wajib. Mereka tidak pernah membedakan keduanya dalam
mengambil pahala dari keduanya.
Latar belakang para fuqaha membedakan
perkara wajib dan sunnah adalah karena berkaitan dengan masalah apakah wajib
mengulang satu amalan serta apakah ada hukuman bagi orang yang meninggalkan
satu amalan, serta kekahawatiran adanya hukuman jika meninggalkannya dan tidak
adanya hukuman jika meninggalkannya dengan sebab tertentu.
Dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam tidak mengingatkan perkara sunnah dan fadhail dalam rangka memberi
kemudahan. Karena orang tersebut baru masuk Islam, jangan sampai ia lari dari
Islam karena banyaknya amalan yang harus
ia kerjakan. Rasulullah tahu apabila Islam sudah mantap dalam hatinya,
niscaya ia akan menyenangi amalan yang disenangi muslim lainnya. Atau
Rasulullah tidak menyebutkan perkara sunnah agar orang tersebut tidak meyakini
perkara sunnah sebagai perkara yang wajib. Demikian pula dalam hadits lain: “Ada seorang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam tentang shalat, beliau mengabarkan lima waktu, penanya berkata apakah ada yang
lain? Rasulullah menjawab: “Tidak, kecuali engkau mau melakukannya yang
tathawu”, kemudian bertanya tentang puasa, haji dan syariat Islam lainnya,
Rasulullah menjawabnya dan berkata diakhir haditsnya: “Demi Allah aku tidak
akan menambah atau mengurangi ini. Rasulullah bersabda: “Orang ini akan bahagia
jika jujur (benar dalam perkataannya)” dalam satu riwayat: “Jika ia berpegang
dengan yang diperintahkan ia akan masuk sorga”
Inilah yang dinamakan – dengan merutini
perkara wajib, menegakkan dan melaksanakannya pada waktu yang ditetapkan tanpa
menguranginya - kebahagiaan dan
kesuksesan yang besar. Aduhai kiranya kita bisa mendapatkannya.
Barangsiapa yang mengamalkan perkara wajib
serta mengiringinya dengan perkara sunnah lebih banyak lagi kebahagiaannya.
Karena perkara sunnah disyariatkan untuk menyempurnakan perkara wajib.
Orang yang bertanya dalam hadits ini dan
hadits sebelumnya tidak diberitahu perkara-perkara sunnah oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam adalah untuk mempermudah keduanya dan agar keduanya bisa
lapang dada dalam memahami dan semangat mendapatkan perkara yang wajib hingga
terasa mudah atas keduanya.[44]
HADITS KEDUA PULUH TIGA
عَنْ أَبِيْ
مَالِكٍ بْنِ عَاصِمٍ اْلأَشْعَرِيِّ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ قَالَ:قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الطَّهُوْرُ
شَطْرُ اْلإِيْمَانِ، وَالْحَمْدُ ِللهِ تَمْلأُ الْمِيْزَانَ، وَسُبْحَانَ اللهِ
وَالْحَمْدُ ِللهِ تَمْلآنِ - أَوْ تَمْلأُ - مَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ،
وَالصَّلاَةُ نُوْرٌ، وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ، وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ، وَالْقُرْآنُ
حُجَةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ. كُلُّ النَّاس يَغْدُوْ. فَبَائِعٌ نَفْسَهُ، فَمُعْتِقُهَا
أَوْ مُوْبِقُهَا". رواه مسلم.
Dari Abi Malik Al Harits bin al Asy’ari
Radiyallahu’anhu: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bersuci
adalah sebagian dari Iman, alhamdulillah memenuhi timbangan, subhanallah dan
alhamdulillah keduanya memenuhi antara langit dan bumi, shalat adalah cahaya, shadaqah
adalah burhan, sabar adalah sinar, al Qur’an adalah hujjahmu atau hujjah
atasmu, semua manusia itu berusaha; ada yang menjual dirinya untuk
membebaskannya atau mencelakakannya” (HR.
Muslim).
Syarah:
Hadits ini merupakan salah satu pokok
Islam, mencakup qaidah-qaidah agama Islam yang penting, adapun kata (الطهور) yang terpilih adalah kata kerja –
dengan dhammah huruf tha –.
Makna kata tersebut diperselisihkan,
وَمَا كَانَ اللهُ
لِيُضِيْعَ إِيْمَنَكُمْ
“Allah
tidak akan menyia-nyiakan Iman kalian” (Al
Baqarah: 143). Bersuci adalah salah satu syarat
shalat. Karena setengah dari shalat, tidak mesti yang setengahnya itu persis.
Adapun perkataannya: “Alhamdulillah
memenuhi timbangan” maknanya: “Karena besarnya pahala hingga memenuhi
timbangan orang yang mengucapkannya. Banyak nash dalam al Qur’an dan sunnah
yang menunjukkan akan ditimbangnya amalan dan berat ringannya timbangan.
Demikian pula perkataannya: “Subhanallah
dan alhamdulillah keduanya memenuhi antara langit dan bumi”. Besarnya keutamaan
dua kalimat ini karena mengandung pensucian Allah dan merasa butuh kepada
Allah.
Perkataannya ( تملآن
أو تملأ) sebagian
membacanya dengan huruf ta dan ini yang benar, yang pertama dhamir
mutsana dan yang kedua dhamir kalimat ini. Sebagian mereka berkata: “kata (يملآن) boleh mudzakar boleh muannats. Muannats
penjelasannya seperti sudah disebutkan adapun mudzakar maksudnya dua perkataan
tersebut”. Adapun kata (تملأ) mudzakar karena maksudnya adalah
dzikir.
Adapun maksud : “Shalat adalah cahaya”
maknanya mencegah orang dari kemaksiatan dan menghentikannya dari perbuatan
kotor dan mungkar serta membimbingnya kepada kebenaran. Sebagaimana cahaya
digunakan untuk menerangi.
Adapun perkataannya: “shadaqah adalah
burhan” pengarang kitab Attajrid menyatakan: “Maknanya ia
melakukannya sebagaimana bersegera kepada dalil. Ketika seorang hamba ditanya
pada hari kiamat tentang tempat membelanjakan uangnya maka shadaqahnya akan
menjadi dalil baginya dalam menjawab pertanyaan tersebut. Dia akan berkata:
“orang ini menshadaqahkan hartanya”.
Selain beliau ada yang memaknakan:
“Shadaqah sebagai bukti atas keimanan orang melakukannya, sebab orang munafik
tidak melakukannya karena mereka tidak meyakininya. Barangsiapa yang
bershadaqah menunjukkan kuat imannya”, Wallahu a’lam.
Adapun perkataannya: “Sabar adalah
sinar” maknanya: Sabar yang dicintai dalam syariat yakni sabar dalam
ketaatan kepada Allah, sabar dalam menjauhi maksiat dan sabar atas kejadian dan
perkara yang tidak disenangi di dunia.
Maksudnya, sabar adalah amalan terpuji.
Orang yang melakukannya terus bercahaya, terbimbing dan berada dalam kebenaran.
Ibrahim Al Khawas berkata: “Sabar adalah
teguh diatas al Qur’an dan sunnah”.
Abu Ali ad Daqaq berkata: “Sabar adalah
tidak menentang taqdir, adapun menampakkan bala dalam rangka menyampaikannya
kepada orang lain tidak menafikan kesabaran.
Allah Ta’ala berkata tentang Ayyub:
إِنَّا وَجَدْنَهُ
صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ
“Kami
dapati ia seorang yang sabar sebaik-baik hamba, dia adalah orang yang kembali” (Shaad: 44).
Padahal Nabi Ayyub pernah berkata:
أَنِّي مَسَّنِيَ
الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّحِمِيْنَ
“Telah
menimpaku mudharat dan Engkau adalah Dzat yang Paling Penyayang” (Al Anbiya: 83). Wallahu a’lam.
Adapun sabda beliau Shallallahu ‘alaihi
wasallam: “Al Qur’an adalah hujjahmu dan hujjah atasmu”. Maknanya sudah
jelas. Engkau dapat mengambil manfaat jika membaca dan mengamalkannya, jika
tidak maka akan menjadi hujjah atasmu.
Sabda beliau Shallallahu ’alaihi wasallam: “Semua
manusia itu berusaha, ada yang menjual dirinya untuk membebaskannya atau
mencelakakannya” maknanya: “Bahwa setiap manusia berusaha untuk dirinya,
diantara mereka ada yang menjual dirinya kepada Allah dengan mentaati-Nya, dan
membebaskan diri dari adzab sebagaimana firman Allah:
إِنَّ اللهَ اشْتَرَى مِنَ
الْمُؤْمِنِيْنَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَلَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ
“Sesungguhnya
Allah membeli dari kaum mukminin diri-diri mereka dan harta mereka dan bagi
mereka sorga”
(At Taubah: 111). Dan ada orang yang menjual
dirinya kepada syaithan dan hawa nafsu dengan mengikuti mereka hingga
membinasakan dirinya.
Ya Allah berilah kami taufiq untuk
mengamalkan ketaatan kepada-Mu dan jauhkanlah kami dari membinasakan diri
karena menyelisihi-Mu.[45]
HADITS KEDUA PULUH EMPAT
عَنْ أَبِيْ
ذَرٍّ الْغِفَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ
قَالَ: يَاعِبَادِيْ إِنِّيْ حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِيْ وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ
مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوْا. يَاعِبَادِيْ كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ
فَاسْتَهْدُوْنِيْ أَهْدِكُمْ. يَاعِبَادِيْ كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ
فَاسْتَطْعِمُوْنِيْ أَطْعِمْكُمْ. يَاعبادي كُلُّكُمْ عَارٍ إِلاَّ مَنْ كَسَوْتُهُ
فَاسْتَكْسُوْنِيْ أَكْسُكُمْ. يَاعِبَادِيْ إِنَّكُمْ تُخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا فَاسْتَغْفِرُوْنِيْ أَغْفِرُلَكُمْ. يَاعِبَادِيْ
إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوْا ضُرِّيْ فَتَضُرُّوْنِيْ وَلَنْ تَبْلُغُوْا نَفْعِيْ
فَتَنْفَعُوْنِيْ. يَاعِبَادِيْ لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ
وَجِنَّكُمْ كاَنُوْا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاِحٍد مِنْكُمْ مَازَادَ ذَلِكَ
فِيْ مُلْكِيْ شَيْئًا. يَاعِبَادِيْ لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ
وَجِنَّكُمْ كاَنُوْا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا نَقَصَ ذَلِكَ
فِيْ مُلْكِيْ شَيْئًا. يَاعِبَادِيْ لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ
وَجِنَّكُمْ قَامُوْا فِيْ صَعِيْدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُوْنِيْ فَأَعْطَيْتُ كُلُّ إِنْسَانٍ
مَسْأَلَتَهُ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِيْ إِلاَّ كَمَا يَنْقُصُ الْمِخْيَطُ
إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرِ. يَاعِبَادِيْ إِنَّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيْهَا
لَكُمْ، ثُمَّ أُوَفِّيْكُمْ إِيَّاهَا. فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمَدِ اللهَ.
وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ. رواه مسلم.
Dari Abu Dzar Al Ghifari Radiyallahu’anhu
Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika meriwayatkan dari Rabbnya, Allah
berfirman: “Wahai hamba-Ku, Aku telah mengharamkan perbuatan dhalim atas
diri-Ku kemudian aku jadikan perbuatan tersebut haram diantara kalian maka
janganlah kalian saling berbuat dhalim. Wahai hamba-Ku kalian semua adalah
sesat kecuali yang Aku beri hidayah, maka minta hidayahlah kepada-Ku. Wahai
hamba-Ku kalian semua dalam keadaan lapar, kecuali orang yang Aku beri makan,
maka minta makanlah kepada-Ku niscaya Aku akan memberimu makan. Wahai hamba-Ku
kalian semua dalam keadaan telanjang kecuali orang yang Aku beri pakaian, maka
mintalah pakaian kepada-Ku niscaya Aku akan memberinya. Wahai hamba-Ku
sesungguhnya kalian berbuat salah siang dan malam dan Aku mengampuni semua
dosa, minta ampunlah kepada-Ku niscaya Aku akan mengampunimu. Wahai hamba-Ku
sungguh kalian tidak akan mendapat satu mudharat kemudian ditimpakkan kepada-Ku
dan tidak bisa mendapatkan manfaat untuk diberikan kepada-Ku. Wahai hamba-Ku
jika orang awal kalian dan akhirnya, manusia dan jinnya berada di hati seorang
yang paling taqwa, hal tersebut tidak menambah kerajaan-Ku, wahai hamba-Ku jika
orang awal kalian dan akhirnya, manusia dan jinnya berada di hati seorang yang
paling fajir hal tersebut tidak mengurangi kerajaan-Ku sedikitpun. Wahai
hamba-Ku jika orang awal kalian dan akhirnya, manusia dan jinnya berada di satu
tempat meminta kepada-Ku akan Aku beri permintaan tiap orang tersebut dan hal
tersebut tidak akan mengurangi apa yang ada pada-Ku kecuali seperti jarum yang
dimasukkan ke lautan. Wahai hamba-Ku itulah amalan kalian aku hitungkan dan
sempurnakan bagi kalian, barangsiapa yang mendapati kebaikan bertahmidlah
kepada Allah dan barangsiapa yang mendapati selain itu janganlah mencerca
kecuali kepada dirinya. (HR. Muslim).
Syarah:
Firman Allah: “Wahai hamba-Ku, Aku telah
mengharamkan perbuatan dhalim atas diri-Ku kemudian aku jadikan perbuatan
tersebut haram diantara kalian” sebagian ulama berkata: “Maknanya tidak
pantas bagi-Ku dan tidak boleh atas-Ku, sebagaimana firman-Nya:
وَمَا يَنْبَغِيْ
لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَّتَّخِذَ وَلَدًا
“Tidak
sepantasnya Allah mempunyai anak” (Maryam: 92). Perbuatan dhalim mustahil ada pada
Allah.
Sebagian ulama berkata tentang hadits ini:
“Tidak boleh seorangpun minta kepada Allah dimenangkan dari musuhnya kecuali
dengan haq berdasarkan firman-Nya:
إِنِّيْ حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِيْ
“Aku telah mengharamkan perbuatan dhalim
atas diriku”. Allah tidak akan mendhalimi
hamba-Nya, bagaimana kalau ada orang yang menyangka Allah akan mendhalimi
hamba-Nya karena yang lain?. Demikian pula firman-Nya: “Maka janganlah
kalian saling berbuat dhalim”.
Maknanya: “orang didhalimi minta diqisas dari orang dhalim dengan dhalim
pula, pada kalimat ini dibuang salah satu huruf ta untuk meringankan
bacaan asalnya (فلا
تنظالم).
Firman Allah: Wahai hamba-Ku kalian
semua adalah sesat kecuali yang Aku beri hidayah…. Wahai hamba-Ku kalian semua
dalam keadaan lapar, kecuali orang yang Aku beri makan... . Wahai hamba-Ku
kalian semua dalam keadaan telanjang kecuali orang yang Aku beri pakaian”. Peringatan
atas kefaqiran dan kelemahan kita untuk mendapatkan sesuatu yang bermanfaat dan
menolak sesuatu yang mudharat bagi diri kita, kecuali jika dibantu oleh Allah.
Ini kembali kepada makna: “Laa haula walaa quwwata illa billah” hendaknya
seorang hamba tahu ketika ia melihat bekas nikmat Allah pada dirinya bahwa itu
semua adalah dari Allah. Maka dia harus mensyukurinya, setiap kali bertambah ia
harus bertambah memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya. Firman Allah: “Minta
hidayahlah kepada-Ku” Yakni mintalah hidayah kepada-Ku niscaya Aku akan
memberimu hidayah. Kesimpulan masalah ini: “Hendaknya seorang hamba mengetahui
bahwa dia minta hidayah kepada Allah kemudian diberi hidayah, kalau diberi
hidayah sebelum meminta niscaya dia akan berkata: “Aku diberi hidayah dan aku
sudah tahu”. Demikian pula makna: “Kalian seluruhnya lapar… “. Yakni
Allah menciptakan makhluk seluruhnya butuh makan. Semua orang yang makan
dulunya lapar hingga diberi makan oleh Allah dengan adanya rizki yang ia dapat,
menyehatkan alat-alat yang dipersiapkan untuk cari nafkah. Maka jangan sampai
ada orang kaya mengira bahwa rizqi yang ia peroleh dan dimasukkan ke mulutnya
merupakan pemberian selain Allah Ta’ala. Dalam hadits ini juga ada adab bagi
orang faqir, seakan Allah berfirman: “Janganlah kalian minta makan kepada
selain-Ku” karena mereka yang engkau minta itu Akulah yang memberi mereka
rizqi. Maka: “Minta makanlah kepada-Ku niscaya Aku akan memberimu makan”.
Demikian pula kalimat setelahnya. Firman
Allah: “Wahai hamba-Ku sesungguhnya kalian berbuat salah siang dan malam”. Dalam
hadits ini ada celaan yang semua mukmin malu karenanya. Demikian Allah
menciptakan malam untuk berbuat taat padanya dan beribadah dengan ikhlas,
karena waktu malam amalan mukmin sering jauh dari riya dan nifaq. Apakah tidak
malu seorang mukmin tidak berinfaq di malam dan siang padahal Allah menjadikan
manusia sebagai saksi. Seorang yang cerdas hendaknya taat kepada Allah di siang
hari juga jangan menampakkan penyelisihan kepada manusia. Bagaimana disebut
baik seorang mukmin yang berbuat salah ketika sendirian atau terang-terangan
dihadapan manusia, padahal Allah berfirman: “Aku mengampuni dosa semuanya” menyebutkan
kata (الذنوب / dosa) dengan huruf alif dan laam
litta’rif dan dikuatkan dengan perkataan: “seluruhnya” sebabnya Allah
menyebutkan hal tersebut sebelum memerintah untuk minta ampun adalah agar tidak
ada seorangpun yang putus asa dari rahmat Allah.
Firman Allah: “Wahai hamba-Ku jika orang
awal kalian dan akhirnya, manusia dan jinnya…” dalam hadits ini menunjukkan
bahwa taqwanya orang yang bertaqwa adalah rahmat bagi mereka, dan tidak
menambah kerajaan Allah sedikitpun. Adapun firman-Nya: “Jika orang awal
kalian dan akhirnya, manusianya dan jinnya berada di satu tempat…”. Ini
peringatan bagi makhluk untuk memperbesar permintaan dan luas dalam meminta
kepada Allah. Seorang peminta jangan sedikit meminta, karena apa yang ada
disisi Allah itu tidak akan berkurang, perbendaharaannya tidak akan habis,
jangan sampai ada orang yang menyangka apa yang ada pada Allah berkurang ketika
diberikan kepada hamba-Nya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam hadits lain: “Tangan Allah selalu terbentang tidak berkurang
apa yang ada padanya selalu memberi diwaktu malam dan siang, tahukah kalian apa
yang Allah infakkan semenjak diciptakannya langit dan bumi, sesungguhnya tidak
mengurangi apa yang ada ditangan kanan-Nya”. Rahasianya adalah
kekuasaan-Nya terus dapat mencipta, tidak akan pernah lemah atau kurang, dan
ciptaan Allah tidak akan bisa dihitung oleh manusia.
Firman-Nya: “Kecuali seperti jarum yang
dimasukkan ke lautan” ini adalah memberikan pendekatan pemahaman dengan
perkara yang bisa kita lihat.
Maknanya: “Hal tersebut tidak akan
mengurangi yang ada pada-Nya sedikitpun. (المخيط) – dengan kasrah huruf mim sukun
huruf kha dan fathah huruf ya – artinya jarum. Firman-Nya: “Itulah
amalan kalian aku hitungkan dan disempurnakan bagi kalian, barangsiapa yang
mendapati kebaikan bertahmidlah kepada Allah”. Jangan menyandarkan ketaatan
dan ibadahnya kepada dirinya saja tetapi sandarkan kepada taufiq dan
bertahmidlah kepada Allah karenanya. Firman-Nya: “Dan barangsiapa yang
mendapati selain itu” tidak mengatakan barangsiapa mendapati kejelekan,
yakni: Barangsiapa mendapati sesuatu yang tidak afdhal janganlah mencerca
kecuali dirinya. Dikuatkan dengan huruf nun sebagai peringatan jangan
sampai terbetik di hati orang tersebut celaan yang diberikan kepada selainnya,
Wallahu a’lam.
HADITS KEDUA PULUH LIMA
عَنْ أَبِيْ
ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ نَاسًا
مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوْا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
يَارَسُوْلَ اللهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُوْرِ بِاْلأُجُوْرِ، يُصَلُّوْنَ كَمَا نُصَلِّيْ،
وَيَصُوْمُوْنَ كَمَا نَصُوْمُ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ بِفُضُوْلِ أَمْوَالِهِمْ. قَالَ:
أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَدَّقُوْنَ؟ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ
صَدَقَةً، وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَحْمِيَْةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ
تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةً، وَأَمْرٍ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةً، وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ
صَدَقَةً، وَفِيْ بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةً. قَالُوْا: يَارَسُوْلَ اللهِ أَيَأْتِيْ
أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ
وَضَعَهَا فِيْ حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي
الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ. رواه مسلم.
Dari Abu Dzar Radiyallahu’anhu juga: Ada sekelompok shahabat
Rasulullah berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Wahai
Rasulullah telah mengungguli kami orang kaya dalam masalah pahala, mereka
shalat sebagaimana kami shalat, berpuasa sebagaimana kami puasa, tapi mereka
bershadaqah dengan kelebihan harta mereka”. Rasulullah bersabda: “Bukankah
Allah telah menetapkan sesuatu bagi kalian untuk bershadaqah, sesungguhnya
setiap tasbih adalah shadaqah, setiap takbir adalah shadaqah, setiap tahmid
adalah shadaqah, setiap tahlil adalah shadaqah, amar ma’ruf adalah shadaqah,
nahi munkar adalah shadaqah, dan berjima’dengan istri kalian juga shadaqah.
Mereka berkata: “Ya Rasulullah, apakah jika salah seorang kami menunaikan
syahwatnya termasuk shadaqah? Rasulullah menjawab: “Apa pendapatmu jika dia
meletakkannya pada tempat yang haram bukankah itu dosa? Demikian pula jika ia
melakukannya di tempat yang halal maka baginya pahala” (HR. Muslim).
Syarah:
(الدثور) – dengan dhamah huruf dal – jama’
kata (دثر) dengan fathah artinya
yang banyak hartanya. Sabdanya: (أوليس قد جعل الله
ماتصدقون)
dalam riwayat dengan tasdid huruf shad dan dal, dalam satu bahasa
boleh juga dengan tidak mentasdid huruf shad.
Dalam hadits ini menjelaskan keutamaan
tasbih dan seluruh dzikir, amar ma’ruf nahi munkar, menghadirkan niat dalam
perkara mubah. Perkara mubah menjadi ketaatan itu dengan niat yang benar. Juga
menunjukkan bolehnya orang yang minta fatwa meminta dalil yang tidak ia
ketahui, jika ia tahu yang ditanya tidak akan membencinya dan bertanya dengan
akhlak yang baik, serta menunjukkan bahwa seorang alim menyebutkan dalil atas
sebagian perkara yang masih samar.
Sabdanya: “Amar ma’ruf adalah shadaqah,
nahi munkar adalah shadaqah” mengisyaratkan adanya hukum-hukum shadaqah
atas seluruh macam amar ma’ruf dan nahi mungkar itu lebih kuat dibandingkan
pada tasbih dan yang disebutkan setelahnya. Karena amar ma’ruf nahi mungkar
adalah fardhu kifayah, kadang jadi wajib atas orang tertentu. Berbeda dengan
dzikir yang merupakan amalan sunnah. Pahala melaksanakan perkara wajib lebih
banyak dibandingkan pahala amalan sunnah, sebagaimana ditunjukkan oleh firman
Allah:
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْئٍ
أَحَبّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ.
“Tidaklah
seorang hamba bertaqarrub kepadaku yang lebih Aku cintai selain bertaqarrub
dengan perkara yang wajib”(HR. Bukhari).
Sebagian ulama berkata: “Pahala perkara wajib
lebih tinggi dari perkara sunnah tujuh puluh derajat kemudian membawa satu
hadits.
Adapun perkataan beliau: (فى
بضع أحدكم صدقة)
dengan dhammah huruf ba dipakai dengan makna jima’ dan farj. Kedua makna
ini benar jika dimaknakan dalam hadits ini. Telah dijelaskan bahwa perkara
mubah bisa menjadi ketaatan. Jima’ bisa menjadi ibadah jika seorang suami
meniatkan untuk memenuhi hak istrinya dan bergaul bersamanya dengan baik, atau
mencari anak shalih, atau menjaga kehormatan diri atau istrinya, atau tujuan baik
lainnya.
Perkataaan mereka:“Ya Rasulullah, apakah
jika salah seorang kami menunaikan syahwatnya termasuk shadaqah? Rasulullah
menjawab: “Apa pendapatmu jika dia meletakkannya pada tempat yang haram
bukankah itu dosa….”
Hadits ini menunjukkan bolehnya qiyas. Dan
ini adalah madzhabnya ulama, tidak ada yang menyelisihinya kecuali ahlu dzahiri
(Pengikut Daud Ad Dhahiri – red). Adapun riwayat dari kalangan tabi’in dan
seperti mereka dalam rangka mencela qiyas bukanlah yang dimaksud qiyas yang
dikenal oleh kalangan fuqaha mujtahid, tapi maksudnya mencela qiyas ‘aks (yang
bertentangan dengan nash). Ahli ushul berselisih tentang boleh tidaknya beramal
dengan qiyas, hadits ini dalil bagi orang yang beramal dengan qiyas.
HADITS KEDUA PULUH ENAM
عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:كُلُّ سُلاَمَى مِنَ النَّاسِ عَلَيْهِ
صَدَقَةٌ، كُلُّ يَوْمٍ تَطْلُعُ فِيْهِ الشَّمْسُ: تَعْدِلُ بَيْنَ اْلإِثْنَيْنِ
صَدَقَةٌ، وَتُعِيْنُ الرَّجُلَ فِيْ دَابَّتِهِ فَتَحْمِلُهُ عَلَيْهَا أَوْ تَرْفَعُ
لَهُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ، وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ، وَبِكُلِ
خُطْوَةٍ تَمْشِيْهَا إِلَى الصَّلاَةِ صَدَقَةٌ، وَتُمِيْطُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ
صَدَقَةٌ. رواه
البخاري ومسلم.
Dari Abu Hurairah Radiyallahu’anhu:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seluruh sendi manusia
setiap harinya bershadaqah. Setiap terbit matahari ia mendamaikan dua orang
manusia adalah shadaqah, membantu orang lain dalam tunggangannya mengangkatkan
keatasnya atau mengangkatkan barang miliknya adalah shadaqah, perkataan yang
baik adalah shadaqah setiap langkah yang ia langkahkan menuju shalat adalah
shadaqah, menyingkirkan gangguan dari jalan juga shadaqah” (HR. Bukhari Muslim).
Syarah:
Sabdanya: (سلامى) dengan dhammah sin dan tidak
mentasdid laam, artinya: persendian dan anggota tubuh, telah shahih
dalam riwayat Muslim bahwa manusia mempunyai 360 sendi.
Qadhi Ayad berkata: “Asalnya tulang telapak
tangan, jari dan kaki, kemudian dipakai untuk menyatakan tulang seluruh tubuh
dan sendi-sendi lainnya”.
Sebagian ulama berkata: “Yang dimaksud
shadaqah targhib watarhib, bukan kewajiban dan keharusan. Perkataannya: “Mendamaikan
dua orang manusia adalah shadaqah” yakni mendamaikan keduanya dengan adil.
Dalam hadits lain riwayat Muslim: “Setiap
persendian dan anggota badan setiap harinya bershadaqah, setiap tasbih adalah
shadaqah, setiap tahmid adalah shadaqah, setiap tahlil adalah shadaqah, setiap
takbir adalah shadaqah, amar ma’ruf adalah shadaqah, nahi munkar adalah
shadaqah. Mencukupi itu semua dua rakaat shalat dhuha” mencukupi shadaqah
anggota tubuh ini shalat dua rakaat, karena shalat adalah amalan seluruh badan,
jika shalat maka setiap anggota tubuh telah melaksanakan tugasnya, Wallahu
a’lam.
HADITS KEDUA PULUH TUJUH
عَنِ النَّوَّاسِ
بْنِ سَمْعَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اَلْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ، وَاْلإِثْمُ:
مَا حَاكَ فِيْ صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ. رواه
مسلم. وَعَنْ وَابِصَةَ بْنِ مَعْبَدٍ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ قَالَ: أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ:
جِئْتُ تَسْأَلُ عَنِ الْبِرِّ؟ قُلْتُ: نَعَمْ، فَقَالَ: إِسْتَفْتِ قَلْبَكَ، اَلْبِرُّ:
مَااطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ، وَاْلإِثْمُ:
مَاحَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ. حديث حسن
رويناه في مسندي الإمام أحمد بن حنبل والدارمي بإسناد حسن.
Dari Nawas bin Sam’an Radiyallahu’anhu:
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berbuat baik adalah akhlak yang
baik, sedangkan dosa adalah apa yang ada didalam dirimu dan engkau takut orang
lain mengetahuinya” (HR. Muslim).
Dari Wabishah bin Ma’bad
Radiyallahu’anhu: “Aku datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
beliau bersabda: “Apakah engkau datang untuk bertanya tentang kebaikan?”, aku
jawab: “Ya”. Beliau bersabda: “Mintalah fatwa kepada dirimu, kebajikan itu apa
yang tentram jiwa dan hati kepadanya. Adapun dosa adalah yang ada dalam jiwa
terasa bimbang walaupun manusia berfatwa” Hadits
Hasan, kami riwayatkan dalam musnad dua Imam Ahmad dan Imam Ad Darimi dengan
sanad yang hasan.
Syarah:
Sabdanya: “Berbuat baik adalah akhlak
yang baik” yakni akhlak yang baik adalah kebajikan yang paling afdhal.
Sebagaimana dalam hadits: “Haji adalah arafah”. Adapun kebajikan adalah
yang membuat baik pelakunya dan menyatukannya dengan abrar yakni mereka
yang taat kepada Allah ‘azza wajalla.
Yang dimaksud akhlak baik adalah: adil
dalam bermuamalah, lemah lembut dalam berusaha, adil dalam berhukum, berkorban
untuk berbuat baik, dan sifat-sifat mukmin lainnya yang telah Allah sifati
dalam ayat-Nya yakni dalam Surat Al Anfaal:
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَإِذَا
تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَنًا وَعَلَى رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُوْنَ. الَّذِيْنَ يُقِيْمُوْنَ الصَّلَوةَ وَمِمَّا رَزَقْنَهُمْ
يُنْفِقُوْنَ.
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah
hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka
(karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat
dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka” (Al Anfaal: 2-3).
Allah berfirman:
التَّئِبُوْنَ الْعَبِدُوْنَ الْحَمِدُوْنَ ...
وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِيْنَ
“Orang-orang
yang bertaubat, beribadah dan suka bertahmid”, sampai
firman-Nya “Berilah kabar gembira kepada kaum mukmin” (At Taubah:
112).
Allah berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ
الْمُؤْمِنُوْنَ ... أُولَئِكَ هُمُ الْوَرِثُوْنَ
“Telah sukses orang yang beriman” sampai firman-Nya: Merekalah
ahli waris” (Al Mu’minun: 1-10).
Firman-Nya:
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ
عَلَى اْلأَرْضِ هَوْنًا
“Hamba-hamba Allah adalah yang berjalan diatas
bumi dengan tenang”
(Al Furqan: 63). Sampai akhir surat .
Barangsiapa
yang sulit mengerti keadaannya hendaknya ia timbang-timbang dirinya dengan
ayat-ayat diatas. Jika semua sudah ada pada dirinya maka itu pertanda baik
akhlaknya. Dan jika tidak ada semuanya menunjukkan jelek akhlaknya. Jika ada
sebagian dan tidak ada sebagian menunjukkan bahwa dirinya mempunyai sebagian
akhlak yang baik, hendaknya ia sibuk menjaga yang sudah baik dan mendapatkan
yang sebagiannya lagi.
Jangan
sampai ada orang yang menyangka baik budi itu artinya lemah lembut dan
meninggalkan perbuatan kotor dan maksiat saja. Bahwa barangsiapa yang telah
berbuat demikian telah baik akhlaknya. Bahkan yang dimaksud baik budi adalah
sifat mukmin yang sudah disebutkan dalam ayat-ayat diatas, dan berakhlak dengan
akhlak mereka. Diantara baik budi adalah menanggung gangguan orang lain.
Dalam
hadits Bukhari Muslim:
أَنَّ
أَعْرَابِيًّا جَذَبَ بُرْدَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى
أثرت حَاشِيَتَهُ فِي عاتق النبي صلى الله عليه وسلم وَقَالَ: يَامُحَمَّد، مُرْلِيْ
مِنْ مَالِ اللهَِ الَّذِيْ عِنْدَكَ، فَالْتَفَتَ إِلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ ضَحِِكَ وَأَمَرَ لَهُ بِعَطَاءٍ.
“Seorang Arab gunung datang kepada Rasulullah dan
menarik burdah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sampai ujungnya berada
di pundak Rasulullah, orang tersebut berkata: “Wahai Muhammad, suruhlah agar
aku diberi harta Allah yang ada padamu, Rasulullah menoleh padanya kemudian
tertawa dan menyuruh untuk memberi dia harta.
Perkataannya:
“Sedangkan dosa adalah apa yang ada di dalam dirimu dan engkau takut orang
lain mengetahuimnya”. Yakni dosa itu yang menyebabkan kegundahan dalam
hati, ini adalah pokok untuk mengetahui perkara dosa dari yang baik, dosa
adalah yang terus beredar dalam dada dan pelakunya tidak senang diketahui
manusia, yang dimaksud manusia dalam hadits ini – wallahu a’lam – orang cerdik
dan terpandang, bukan manusia yang bodoh, inilah dosa yang harus ia tinggalkan,
wallahu a’lam.
HADITS KEDUA PULUH DELAPAN
عَنْ أَبِيْ
نُجَيْحِ الْعِرْبَاضِيِّ بْنِ سَارِيَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: وَعَظَنَارَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظَةَ مُوَدِّعٍ وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ
وَذَرفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ، فَقُلْنَا: يَارَسُوْلَ الله، كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ
مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا، قَالَ: أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالسَّمْعِ
وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ
فَسَيَرَى اِخْتِلاَفاً كَثِيْراً، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ خُلَفَاءِ
الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ، عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ
وَمُحَدَّثَاِت اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ". رواه أبو
داود والترمذي وقال: حديث حسن صحيح.
Dari Abu
Najih ‘Irbad bin Sariyah Radiyallahu’anhu: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam memberi nasehat kepada kami yang menggetarkan hati dan mengeluarkan
air mata, kami katakana: “Wahai Rasulullah ini seperti nasehat orang yang akan
berpisah, berilah kami wasiat wahai Rasulullah, beliau bersabda: “Aku wasiatkan
kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, dengar dan taatlah walau yang
memerintah kalian adalah hamba habasyi, karena barangsiapa yang hidup diantara
kalian setelahku akan melihat perpecahan yang banyak, berpeganglah dengan
sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang diberi petunjuk, gigitlah dengan
gigi geraham kalian, dan hati-hati kalian dari perkara yang diada-adakan karena
semua bid’ah adalah sesat” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud, Tirmidzi berkata: Hadits Hasan Shahih).
Syarah:
Dalam
sebagian riwayat: “Ini adalah wasiat perpisahan apa yang engkau perintahkan
untuk kami lakukan? Beliau menjawab: “Aku tinggalkan kalian diatas jalan yang
putih, malamnya seperti siangnya, tidak ada yang menyeleweng darinya kecuali
orang yang binasa”. Perkataannya: “Nasehat yang tinggi” yakni sampai dengan jelas dan mempengaruhi
hati kami, tergetar hati karenanya yakni takut dan berlinang air mata. Seperti
nasehat tersebut menduduki temopat sebagai ancaman dan peringatan.
Sabdanya:
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, dengar dan
taatlah” yakni kepada pemerintah (walau yang memerintah kalian adalah hamba
habasyi) dalam sebagian riwayat (hamba habasyi).
Sebagian
ulama berkata: “Seorang hamba tidak bisa menjadi pemimpin, tapi Rasulullah
memberikan contoh permasalahan walaupun hal tersebut tak akan terjadi. Seperti
sabdanya: “Barangsiapa yang membangun mesjid karena Allah walaupun sebesar
kandang burung, Allah akan membangunkan untuknya rumah di sorga”. Kandang
burung tidak bisa dijadikan mesjid, tapi Rasulullah membuat permisalan
demikian.
Mungkin
juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan rusaknya masalah
pemerintahan ini dan diberikan bukan kepada ahlinya, hingga diberikan
kepemimpinan kepada budak, jika terjadi demikian dengarlah dan taatlah untuk
mengamalkan mudharat yang paling ringan yakni sabar mengikuti orang yang
sebetulnya tidak boleh menjadi pemimpin, agar tidak menimbulkan fitnah yang
besar.
Sabdanya:
“Karena barangsiapa yang hidup diantara kalian setelahku akan melihat
perpecahan yang banyak” ini adalah salah satu mukjizat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau
mengabarkan kepada shahabatnya perselisihan yang akan terjadi dan adanya
kemungkaran yang banyak. Beliau tahu secara rinci, tapi tidak diterangkan
kepada semua orang, beliau hanya mengingatkan secara umum, dan beliau
menerangkan masalah ini secara rinci kepada sebagian shahabatnya seperti
Hudzaifah dan Abu Hurairah. Ini menunjukkan besarnya kedudukan orang tersebut.
Sabdanya:
“Atas kalian untuk berpegang dengan sunnahku” sunnah adalah jalan yang
lurus yang ada diatas alur. Dan ini adalah jalan yang jelas. “Sunnah khulafaur
rasyidin” yakni mereka yang mendapatkan petunjuk, mereka adalah empat orang
yang berdasarkan ijma’ yakni: Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Rasulullah
menyuruh agar berada diatas sunnah khulafaur rasyidin karena dua hal: Pertama,
Taqlid bagi orang yang tidak mampu meneliti. Kedua. Menguatkan pendapat
mereka ketika ada ikhtilaf dikalangan shahabat.
Sabdanya:
“Hati-hati kalian dari perkara yang diada-adakan” Ketahuilah perkara yang diada-adakan itu ada
dua: yang baru dan tidak mempunyai dasar dalam syariat, ini batil dan tercela.
Dan yang kedua baru tapi ada dasarnya dari syariat ini tidak tercela. Karena
lafadz “muhdats” dan lafadz “bid’ah” tidak dicela hanya semata
namanya akan tetap dicela karena menyelisihi sunnah dan menyeru kepada
kesesatan. Tidak dicela secara mutlak. Allah berfirman:
مَا يَأْتِيْهِمْ مِّنْ
ذِكْرٍ مِّنْ رَّبِّهِمْ مُّحْدَثٍ
“Tidak datang kepada mereka suatu ayat al Qur’an
pun yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka” (Al Anbiya: 2). Umar Radiyallahu ‘anhu berkata: “Sebaik-baik
bid’ah adalah ini”, yakni tarawih. Adapun (النواجذ) gigi seri yang paling akhir, Wallahu a’lam.
HADITS KEDUA PULUH SEMBILAN
عَنْ مُعَاذِ
بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قُلْتُ: يَارَسُوْلَ اللهِ، أَخْبِرْنِيْ
بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِيْ الْجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِيْ عَنِ النَّارِ، قَالَ: لَقَدْ سَأَلْتَ
عَنْ عَظِيْمٍ، وَإِنَّهُ لَيَسِيْرٌ عَلَى
مَنْ يَسَّرَهُ اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِ: تَعْبُدُ اللهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا،
وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَتَصُوْمُ رَمَضَانَ وَتَحُجُّ الْبَيْتَ.
ثم قال: أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ؟ اَلصَّوْمُ جُنَّةٌ، وَالصَّدَقَةُ
تُطْفِئُ الْخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ، وَصَلاَةُ الرَّجُلِ فِيْ
جَوْفِ اللَّيْلِ. ثُمَّ تَلاَ- تَتَجَافَى جُنُوْبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ - حَتَّى
بَلَغَ - يَعْمَلُوْنَ - ثُمَّ قَالَ: أَلاَ أُخْبِرُكَ بِرَأْسِ اْلأَمْرِ وَعَمُوْدِهِ
وَذِرْوَةِ سَنَامِهِ؟ قُلْتُ: بَلَى يَارَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: رَأْسُ اْلأَمْرِ اْلإِسْلاَمُ،
وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةَ، وَذَرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ، ثُمَّ قَالَ: أَلاَ أُخْبِرُكَ
بِمَلاَكِ ذَلِكَ كُلِّهِ؟ قُلْتُ: بَلَى يَارَسُوْلَ اللهِ، فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ
وَقَالَ: كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا. قُلْتُ: يَانَبِيَّ اللهِ، وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُوْنَ
بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ؟ فَقَالَ: ثَكِلَتْكَ أَمُّكَ، وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسُ فِي
النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ – أَوْ: عَلَى مَنَاخِرِهِمْ – إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ. رواه
الترمذي وقال: حسن صحيح.
Dari
Muadz bin Jabal Radiyallahu’anhu telah berkata: “Aku telah berkata: “Ya
Rasulullah beritahukanlah padaku suatu amalan yang dapat memasukkanku ke surga
dan menjauhkanku dari neraka”. Nabi menjawab: “Engkau telah bertanya tentang
perkara yang besar, dan sesungguhnya itu adalah ringan bagi orang yang
dimudahkan oleh Allah; Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya
dengan sesuatupun, mengerjakan shalat, membayar zakat, berpuasa Ramadhan, dan
haji ke Baitullah, kemudian beliau berkata: “Maukah ketunjukkan pintu-pintu
kebaikan?” puasa adalah perisai, shadaqah dapat menghapuskan kesalahan
sebagaimana air dapat memadamkan api, dan seseorang yang shalat di tengah
malam, kemudian membaca ayat: “(Lambung-lambung mereka jauh dari tempat
tidur…hingga ayat… mereka mengamalkan)” Rasulullah kemudian bersabda: “Maukah
aku kabarkan kepalanya urusan, tiang dan puncaknya” Aku katakan: “Ya, wahai
Rasulullah”, beliau bersabda: “Kepalanya satu urusan adalah Islam
(syahadatain), tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad fi
sabilillah”, kemudian berkata lagi: “Maukah aku kabarkan inti dari semua itu?
Aku katakan: “Ya, wahai Rasulullah”, beliau memegang lisannya dan berkata:
“Tahanlah lisanmu”, aku katakan: “Wahai Rasulullah apakah kita akan diadzab
karena ucapan yang kita ucapkan, Rasulullah menjawab: “Tsakilatka umuk,
bukankah manusia tersungkur ke neraka diatas hidung mereka tidak lain karena
hasil dari ucapan mereka, (HR. Tirmidzi beliau berkata: Hadits Hasan Shahih).
Syarah:
Sabda
Rasulullah: “Engkau telah bertanya tentang perkara yang besar, dan
sesungguhnya itu adalah ringan bagi orang yang dimudahkan oleh Allah” yakni
mudah bagi penerima taufiq, membimbingnya untuk beribadah kepada-Nya dengan
mengikhlaskan agama: beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan Allah dengan
makhluk-Nya. Kemudian: “menegakkan shalat”, yakni mengerjakannya walau
bagaimanapun keadaannya. Kemudian beliau menyebutkan rukun-rukun Islam lainnya
zakat, puasa dan haji. Kemudian berkata: “Maukah kutunjukkan pintu-pintu
kebaikan?” berpuasa adalah perisai”. Maksud hadits ini bukan puasa
Ramadhan, karena puasa Ramadhan telah dibahas dalam hadits lain, maksud hadits
ini adalah anjuran memperbanyak puasa sunnah. (الجنة) yakni puasa adalah penutup dan pelindungmu dari neraka.
Kemudian berkata: “shadaqah dapat menghapuskan kesalahan” maksudnya
shadaqah yang sunnah bukan zakat.
Sabdanya:
“Dan shalatnya seseorang di tengah malam”, kemudian membaca ayat: “Lambung
lambung mereka jauh dari tempat tidur berdo’a kepada Rabb mereka dengan rasa
takut dan harap dan menginfakkan harta anak yatim, satu jiwa tidak tahu apa
yang dipersiapkan bagi mereka dari qurrata a’yun sebagai balasan apa yang
mereka amalkan”. Maknanya: “Barangsiapa yang berdiri shalat malam
meninggalkan tidur dan kelezatannya lebih mengutamakan apa yang ia harapkan
dari Rabbnya maka balasannya apa yang ada didalam ayat: “Satu jiwa tidak
tahu apa yang dipersiapkan bagi mereka dari qurrata a’yun sebagai balasan atas
apa yang telah mereka amalkan”. Terdapat dalam sebagian khabar bahwasanya
Allah berbangga dengan hambanya yang shalat lail, Allah berfirman: “Lihatlah
hamba-hamba-Ku yang shalat di gelapnya malam, sehingga tidak ada yang
melihatnya selain Aku. Aku persaksikan pada kalian bahwasanya Aku telah
menghalalkan negeri kemuliaan-Ku bagi mereka.
Kemudian
Rasulullah bersabda: “Maukah kukabarkan tentang kepalanya urusan…”. Rasulullah
mengumpamakan urusan seperti unta jantan. Mengumpamakan Islam seperti
kepalanya. Hewan tidak bisa hidup tanpa kepala.
Kemudian
sabdanya: “Tiangnya shalat” tiang sesuatu adalah yang menegakkannya.
Yang menurut kebiasaan apabila tidak ada tiang, sesuatu tersebut tidak bisa
tegak.
Sabdanya:
“Puncaknya adalah jihad” Jirwah sesuatu adalah bagian yang paling tinggi
darinya. Jirwah punuk unta berarti puncak dari punuknya. Jihad adalah
amalan yang tidak bisa ditandingi oleh amalan apapun. Sebagaimana diriwayatkan
bahwa seseorang pernah datang kepada Rasulullah dan berkata: “Tunjukkanlah
amalan yang sebanding dengan jihad!, Rasulullah menjawab: “Aku tidak
mendapatkannya”. Kemudian beliau berkata: “Apakah engkau mampu jika seorang
mujahid keluar berjihad kemudian engkau masuk ke mesjid untuk shalat tanpa
henti dan berpuasa tanpa berhenti? Rasulullah melanjutkan: “Siapa yang mampu
melakukannya”.
Sabdanya:
“Maukah aku kabarkan inti semua itu?” Aku katakan: “Ya, wahai Rasulullah”.
Rasulullah kemudian memegang lisannya dan berkata: Tahanlah olehmu ini…!”. Rasulullah menganjurkan untuk berjihad melawan
orang kafir kemudian mengajari pula jihad yang besar yaitu jihad melawan hawa
nafsu serta menahannya dari ucapan yang mengganggu dan menjelekkannya. Karena
beliau terangkan bahwa banyak orang yang masuk neraka dengan sebab lisannya,
beliau berkata: “Tsakilatka ammuk, bukankah manusia tersungkur ke neraka
dengan wajah hidung-hidung mereka tidak lain karena sebab lisan mereka”. Telah
disebutkan dalam hadits yang shahih:
“Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya berkata yang baik atau diam”.
Dalam
hadits lain:
“Barangsiapa
yang bisa menjamin bagiku untuk menjaga apa yang ada diantara dua jenggotnya
(yakni lisannya), dan apa yang ada diantara dua kakinya (yakni farjnya) maka
aku jamin dia dengan sorga.
HADITS KETIGA
PULUH
عَنْ
أَبِيْ ثَعْلَبَةَ الْخُشْنِيِّ جُرْثُوْمِ بْنِ نَاشِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ اللهَ تَعَالَى فَرَضَ
فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوْهَا، وَحَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ تَعْتَدُوْهَا، وَحَرَّمَ
أَشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوْهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ – رَحْمَةً لَّكُمْ غَيْرَ
نِسْيَانٍ – فَلاَ تَبْحَثُوْا عَنْهَا. حديث حسن رواه
الدارقطني وغيره.
Dari Abu
Tsa’labah Al Khusyani Jursyum bin Nashir Radiyallahu’anhu: Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah menetapkan kewajiban maka
janganlah disia-siakan, menetapkan had maka janganlah melampauinya,
mengharamkan beberapa perkara maka jangan melanggarnya, mendiamkan beberapa
masalah – sebagai rahmat bagi kalian bukan karena lupa – maka jangan
membahasnya” (HR.
Daruqutni dan lainnya).
Syarah:
Sabdanya
(فرض) yakni
mewajibkan dan mengharuskan. Sabdanya (فلا تنتهكوها) yakni kalian jangan melakukannya. Adapun larangan membahas
sesuatu yang didiamkan oleh syariat cocok dengan perkataannya dalam hadits
lain:
“Biarkanlah,
sesungguhnya sebab kebinasaan umat sebelum kalian adalah karena banyak bertanya
dan menyelisihi nabi-nabi mereka”. Sebagian ulama berkata: “Duluy Bani Israil bertanya dan dijawab
kemudian diberikan apa yang mereka minta hingga menjadi fitnah bagi mereka,
sehingga menggiring kepada kebinasaan.
Hingga
sebagian kaum berkata: Tidak boleh bertanya kepada ulma hal-hal yang belum
terjadi. Salafus shalih juga berkata seperti itu. mereka berkata: “Biarkanlah
hingga terjadi dulu”. Hanya saja para ulama khawatir hilangnya ilmu hingga
mereka membuat ushul dan menguraikannya, memperluas dalam pembahasan dan
ditulis (untuk diketahui oleh orang setelah mereka-pent).
HADITS KETIGA PULUH SATU
عَنْ أَبِيْ
الْعَبَّاسِ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ
إِلَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَارَسُوْلَ اللهِ، دُلَّنِيْ
عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِي اللهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ، فَقَالَ: إِزْهَدْ
فِي الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللهُ وَازْهَدْ فِيْمَاعِنْدَ النَّاس يُحِبُّكَ النَّاسُ.
حديث حسن
رواه إبن هاجه وغيره بأسانيد حسنة.
Dari
Abul Abbas Shl bin Sa’ad As Sai’di Radiyallahu Ta’ala’anhu: Seseorang datang
kepada Rasulullah berkata: “Tunjukkanlah kepadaku satu amalan jika aku
mengamalkannya aku akan dicintai Allah dan manusia, Rasulullah menjawab:
“Zuhudlah di dunia niscaya engkau dicintai Allah, dan zuhudlah pada apa yang
dimiliki manusia, niscaya akan dicintai manusia” (Hadits Hasan, Riwayat Ibnu Majah dan
lainnya dengan sanad-sanad yang hasan).
Syarah:
Ketahuilah
Rasulullah talah menganjutrkan untuk sederhana dan zuhud di dunia, beliau
berkata:
“Jadilah
engkau di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang numpang lewat”
Dan
bersabda:
“Cinta
dunia adalah pokok semua kesalahan”
Dalam
hadits lain:
“Orang
yang zuhud di dunia hatinya akan tenang. Orang yang mengharapkan dunia akan
susah di dunia dan di akhirat”.
Ketahuilah
manusia di dunia ini adalah tamu dan apa yang ada di tangannya hanyalah
pinjaman, dan barang pinjaman itu akan dikembalikan.
Dunia
adalah harta yang dimakan oleh orang baik dan orang fajir, dibenci oleh wali
Allah dan dicintai oleh ahli dunia. Maka barangsiapa yang bergabung dengan ahli
dunia dalam perkara yang mereka cintai niscaya mereka akan membencinya.
Rasulullah
telah membimbing untuk meninggalkan dunia dan zuhud padanya, serta menjanjikan
kecintaan Allah dan ridha-Nya bagi orang yang melakukannya, sesungguhnya kecintaaan
Allah kepada makhluk-Nya adalah keridhaan-Nya. Rasulullah juga membimbing
manusia untuk zuhud dalam perkara yang dimiliki manusia bila menginginkan
kecintaan manusia dan juga meninggalkan sifat cinta dunia. Karena tidak ada
yang di tangan manusia yang dijadikan sebab saling benci dan berlomba selain
dunia.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمُّهُ
جَمَعَ اللهُ شمْلَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ
رَاغِمَةٌ، وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمُّهُ شَتَّتَ اللهُ شمْلَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ
بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قَدَّرَ لَهُ.
“Barangsiapa yang akhirat sebagai tujuannya maka
Allah akan mengumpulkan seluruh isi dunia baginya menjadikan dirinya merasa
cukup, dunia datang kepadanya padahal dia benci. Dan barangsiapa dunia sebagai
tujuannya Allah akan mencerai beraikan
seluruh isi dunia darinya, dan menjadikan kafaqiran dihadapan matanya tidak
datang dunia kepadanya kecuali yang ditaqdirkan oleh Allah.
Orang
bahagia lebih memilih sesuatu yang kekal dan terus menerus menikmatinya
daripada memilih bencana yang tidak akan berhenti adzabnya.
HADITS KETIGA PULUH DUA
عَنْ أَبِيْ
سَعَيْدٍ سَعْدِ بْنِ مَالِكٍ بْنِ سِنَانٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَضَرَرَ وَلاَضِرَارَ. حديث حسن
رواه إبن ماجه والدارقطني وغيرهما مسندا، ورواه مالك في المؤطا مرسلا عن عمرو بن
يحيى عن أبيه عن النبي صلى الله عليه وسلم فأسقط أبا سعيد وله طرق يقوي بعضها
بعضا.
Dari Abu
Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinan Al Khudri Radiyallahu Ta’ala’anhum: Rasulullah
bersabda: “Jangan berbuat mudharat dan jangan membalas mudharat orang lain”
Hadits Hasan, (HR.
Ibnu Majah, Ad Daruqutni, dan selain keduanya dengan musnad, diriwayatkan Malik
dalam Muwatha’ dengan mursal dari ‘Amr bin Yahya dari bapaknya dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau tidak menyebut Abu Sa’id, dan hadits ini
banyak jalannya yang saling menguatkan).
Syarah:
Ketahuilah
orang yang mencelakakan saudaranya berarti telah mendhaliminya, padahal
perbuatan dhalim itu haram berdasarkan hadits Abu Dzar:
“Wahai
hamba-Ku, Aku telah mengharamkan perbuatan dhalim atas diri-Ku kemudian aku
jadikan perbuatan tersebut haram diantara kalian, maka janganlah kalian saling
berbuat dhalim”.
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
إِنَّ
دِمَائَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ.
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan
kehormatan kalian haram atas kalian”.
Adapun
sabdanya: “Jangan berbuat mudharat dan jangan membalas mudharat orang lain”
Sebagian ulama berkata: “Ini adalah dua kata yang satu makna, keduanya
diucapkan sebagai ta’kid (penegas)”.
Ibnu
Hubaib berkata: (الضرر) menurut ahli bahasa Arab adalah isim (kata
benda/sifat). Sedangkan (الضرار) adalah
fi’il (kata kerja). Maka makna (لاضرر) adalah jangan seseorang memberikan satu mudharat kepada
temannya yang tidak pernah dilakukan oleh orang tersebut kepada dirinya. Dan (لاضرار) adalah jangan balas perbuatan jelek orang lain dengan
perbuatan mudharat lain.
Al
Muhasini berkata: (الضرر) adalah sesuatu yang engkau mendapat manfaat darinya tapi
temanmu dapat mudharat. Ini penafsiran yang baik.
Sebagian
ulam berkata juga: (الضرر) dan (الضرار) seperti kata (القتل) dan (القتال). Maka (الضرر) ialah
engkau menyakiti orang yang tidak menyakitimu. Dan (الضرار) adalah membalas perlakuan jelek orang lain tidak dengan yang
semisalnya atau tidak dengan hak, ini seperti sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam.
أَدَّ اْلأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ
وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
“Tunaikanlah amanah kepada orang yang memberimu
amanah dan jangan mengkhianati orang yang pernah mengkhianatimu”.
Makna
hadits ini menurut sebagian ulama: “Jangan kau khianati orang yang
mengkhianatimu setelah engkau membela diri ketika ia mengkhianatimu. Sepertinya
larangan berlaku bagi yang lebih dahulu berkhianat, adapun orang yang membalas
seseorang yang salah dan mengambil hak darinya tidak teranggap orang yang
khianat. Yang namanya orang khianat adalah yang mengambil sesuatu bukan haknya
atau lebih dari haknya.
أَدَّ اْلأَمَانَةَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
“Tunaikan amanah dan jangan berkhianat”.
Sebagian
mereka berkata: “Dia boleh membela haknya dan mengambil hak yang ada
ditangannya”. Berdalil dengan hadits Aisyah tentang hubungan Hindun dan Abu
Sufyan. Dalam masalah ini fuqaha mempunyai banyak pendapat dan alas an-alasan
yang tempat pembahasannya bukan dalam kitab ini.
Yang
benar menurut penelitian: “Tidak boleh seorangpun merugikan temannya, baik
temannya pernah merugikan dia atau belum. Tapi dia punya hak untuk membela dan
membalas jika mampu dengan sesuatu yang dibolehkan alhaq. Hal tersebut bukanlah
dhalim bukan pula dharar jika dalam bentuk yang dibolehkan sunnah.
Syaikh
Abu “Amr bin Shalah berkata: “Daruqutni memusnadkan hadits ini, dari berbagai
jalan sehingga kuat dan menghasankan hadits ini, telah dinukil hal ini oleh
jumhur ahlul ilmi dan mereka berhujjah dengannya. Abu Dawud berkata: Fiqih
bersumber dalam lima
hadits dan beliau menyebutkan salah satu dari hadits ini.
Syaikh
berkata: Abu Dawud menganggapnya termasuk dari lima hadits, perkataannya: “Mengesankan tidak
dhaif disisinya, perkataannya tentang hadits ini: seperti misal (ضرار) dan (قتال) itulah menurut lisan banak fuqaha dan muhadditsin (لاضرر
ولاضرار) dengan huruf hamzah yang dikasrah
sebelum dha, tapi itu benar.
HADITS KETIGA PULUH TIGA
عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لاَدَّعَى رِجَالٌ أَمْوَالَ قَوْمٍ وَدِمَاءَهُمْ،
وَلَكِنَّ الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِيْ وَالْيَمِيْنُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ). حديث حسن
رواه البيهقي وغيره هكذا وبعضه في الصحيحين.
Dari
Ibnu Abbas Radiyallahu’anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Seandainya manusia diberi (dipenuhi) setiap tuntutannya
niscaya akan ada orang-orang yang menuntut darah dan harta orang lain, akan
tetapi bukti (saksi) harus dibawa oleh orang yang menuntut dan sumpah (bisa
dilakukan) oleh orang yang mengingkari tuntutannya”. (Hadits Hasan, Diriwayatkan oleh
Baihaqi dan lainnya demikian pula, dan sebagiannya dalam shahihain)
Syarah:
Dalam
shahihain dari hadits ini: Ibnu Abi Malikah telah berkata: “Ibnu Abbas
Radiyallahu’anhuma telah menetapkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
telah menentukan sumpah bagi orang yang menuntut, dan dalam satu riwayat:
“Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:
لَوْ يُعْطَى
النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لاَدَّعَى رِجَالٌ دِمَاءَ رِجَالٍ وَأَمْوَالِهِمْ وَلَكِنَّ
الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِيْ عَلَيْهِ.
“Seandainya manusia
diberikan tiap tuntutannya pasti akan ada orang-orang yang menuntut darah dan
harta orang lain, akan tetapi harus ada sumpah bagi orang yang dituntut”.
Pengarang
Al Arba’in telah berkata: hadits ini telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
dalam shahih keduanyasecara marfu’ dari Ibnu Abbas.
Demikian
pula pengarang kitab As Sunan dan selain mereka telah meriwayatkannya.
Al
Ushaili berkata: “Tidak shahih rafa’nya, ini hanya perkataan Ibnu Abbas.
Pengarang
berkata: “Jika telah shahih rafa’nya dengan persaksian dua imam, maka tidak
tercacati oleh pendapat yang menyatakan mauqufnya, tidak menjadikan hadits ini
idtirab atau bertentangan.
Hadits
ini adalah salah satu pokok hukum, rujukan yang paling besar ketika terjadi
pertentangan dan perselisihan, mengharuskan tidak ada hukum bagi seseorang
dengan pengakuannya semata.
Sabdanya:
“Akan ada orag-orang yang menuntut darah dan harta orang lain” Sebagian
orang berdalil dengan hadits atas batilnya perkataan Imam Malik dalam masalah
mendengar perkataan orang yang terbunuh: “Dia membunuhku” atau perkataan
terbunuh “Darahku pada si fulan”.
Karena
jika (Imam Malik) tidak bisa menerima (secara syar’i) perkataan orang sakit:
“Bahwa dia punya piutang satu dinar atau satu dirham”, maka tidak menerima
ucapan orang terbunuh: “Darahku pada si fulan” lebih utama lagi.
Tidak ada
hujjah bagi mereka dalam membantah pendapat Imam Malik, karena beliau tidak
menyandarkan qishas dan diyat kepada perkataan penuntut, akan tetapi kepada bab
Qasamah, beliau menjadikan perkataan yang terbunuh (دمي
عند فلان)”Darahku pada si fulan” sebagai penguat
bukti penuntut, hingga yang dituntut haus melepaskan diri dari tuntutan dengan
sumpah, seperti halnya seluruh macam lauts.
Sabdanya:
(ولكن
اليمين على المدعي عليه) “Sumpah (bisa
dilakukan) oleh orang yang mengingkari tuntutannya” para ulama telah ijma’
untuk mengambil sumpah orang yang dituntut dalam masalah harta, dan berselisih
dalam masalah lain.
Sebagian
ulama berpendapat wajibnya minta sumpah kepada orang yang dituntut dalam
masalah hak, thalaq, nikah atau pembebasan budak, mereka mengambil keumuman
hadits ini. Jika tidak mau bersumpah maka tuntutanya terpenuhi.
Abu
Hanifah Rahimahullah berkata:”Bersumpah dalam masalah thalaq, nikah dan
pembebasan budak, jika tidak mau tuntutannya berarti benar. Beliau berkata:
“Dalam masalah hukum had tidak diambil sumpah”.
HADITS KETIGA PULUH EMPAT
عَنْ أَبِيْ
سَعِيْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ
اْلإِيْمَانِ. رواه مسلم.
Dari Abi Sa’id Al Khudry Radiyallahu’anhu
ia berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang diantara kalian melihat satu kemungkaran hendaklah merubah
dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka
dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya Iman” (HR. Muslim).
Syarah:
Imam Muslim meriwayatkan hadits ini dari
jalan Thariq bin Syahab, ia berkata: “Orang yang pertama khutbah Ied sebelum
shalat adalah Marwan, kemudian berdirilah seseorang dan berkata: “Shalat
sebelum khutbah! Lalu ia berkata: “Sesungguhnya telah ditinggalkan apa yang ada
disini. Abu Sa’id berkata: “Sesungguhnya hal ini telah ditetapkan: aku
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Barangsiapa
diantara kalian melihat satu kemungkaran hendaklah merubahnya…. hingga akhir hadits” dalam hadits ini
terdapat dalil bahwa sebelum Marwan tidak ada yang melakukan hal itu.
Jika dikatakan mengapa Abu Sa’id terlambat
mengingkari kemungkaran tersebut sehingga didahului seorang laki-laki?
Jawabnya: “Hal itu dimungkinkan Abu Sa’id belum hadir ketika Marwan
mendahulukan khutbahnya, sehingga seorang laki-laki mengingkarinya setelah itu
barulah Abu Sa’id datang dalam keadaan keduanya dalam perdebatan. Dimungkinkan
juga ia telah hadir namun mengkhawatirkan dirinya jika mengingkari sehingga
mengakibatkan fitnah dengan sebab pengingkarannya, sehingga jatuhlah kewajiban
pengingkaran tersebut darinya. Kemungkinan juga Abu Sa’id ingin mengingkarinya
tetapi orang tadi mencegahnya sehingga Abu Sa’id membantu orang tersebut.
Allahu A’lam.
Telah ada pula dalam hadits lain yang
disepakati oleh Bukhari dan Muslim dan dikeluarkan oleh keduanya pada bab
tentang shalat Ied: “Abu Sa’id adalah orang yang menarik tangan Marwan ketika
datang untuk naik mimbar, keduanya bersama-sama, Abu Sa’id juga mencegah Marwan
sebagaimana laki-laki tersebut.
Adapun perkataannya: “Hendaknya ia
merubahnya” adalah perkara wajib menurut ijma’ umat. Sesungguhnya al Qur’an
dan as Sunnah menegaskan kewajiban untuk memerintahkan kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang munkar. Hal ini juga termasuk nasehat yang mana nasehat itu
adalah agama.
Adapun firman Allah Ta’ala: “Atas kalian
diri kalian tidak memudhartkan kalian orang yang sesat setelah kalian dapat
petunjuk” tidaklah bertentangan dengan yang telah kami paparkan, karena
madzhab yang shahih disisi para muhaqqiq tentang ayat yang mulia ini adalah
jika telah mengetahui perkara yang dibebankan kepada kalian maka tidak
membahayakan kalian pengurangan dari orang lain seperti firmannya: “Seseorang
tidak akan menanggung dosa yang dilakukan orang lain”.
Jika demikian tiap muslim dibebani untuk
beramar ma’ruf nahi munkar, dan bukan ‘aib jika orang yang menyampaikan tidak
diikuti, karena kewajibannya hanya beramar ma’ruf nahi munkar bukan penerimaan
(dari orang yang dida’wahi). Allahu A’lam.
Amar ma’ruf nahi munkar adalah fardu
kifayah, jika sebagian orang telah melaksanakan maka gugurlah dosa dari orang
yang lainnya. Jika semua meninggalkannya berdosalah orang yang punya kemampuan
untuk melaksanakannya tanpa udzur. Kemudian kadang menjadi fardhu ‘ain atas
seseorang seperti apabila tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia, atau tidak
mampu melaksanakannya kecuali dia, seperti orang yang melihat istri, anak atau budaknya melakukan
kemungkaran atau kurang dalam melaksanakan kewajiban.
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ
الْمُؤْمِنِيْنَ
“Peringatkanlah
karena peringatan itu bermanfaat bagi kaum mukminin”
Telah dijelaskan bahwa kewajiban dia adalah
amar ma’ruf nahi munkar bukan harus diterima oleh orang lain. Allah berfirman:
مَا عَلَى الرَّسُوْلِ إِلاَّ الْبَلاَغُ
“Tidak
ada kewajiban rasul itu selain menyampaikan”
Mereka berkata: “Amar ma’ruf nahi munkar
tidak khusus dilakukan oleh pemerintah, tapi oleh setiap individu muslim. Yang
melakukan amar ma’ruf adalah yang mengerti perkara yang ia suruh atau larang
untuk diperintahkan. Apabila perkara-perkara yang jelas seperti masalah shalat,
puasa, zina, minum khamar dan lainnya, maka semua muslim dianggap alim (berhak
untuk amar ma’ruf nahi munkar) dalam masalah ini. Apabila dalam masalah yang
rumit, masalah perkataan atu perbuatan, atau masalah ijtihadiyah, yang tidak
mungkin diketahui orang awam, maka mereka tidak boleh mengingkarinya, bahkan
yang melakukannya haruslah ulama. Dan ulama pun mengingkari perkara yang sudah
disepakati, adapun dalam masalah yang masih diperselisihkan tidak boleh
mengingkarinya. Karena menurut salah satru pendapat: setiap mujtahid dapat
pahala, inilah pendapat yang terpilih disisi mayoritas muhaqqiqin. Dan menurut
pendapat lain: yang benar itu satu dan yang salah tidak jelas atas kita. Dosa
gugur darinya, tapi jika hanya sekedar nasehat untuk keluar dari khilaf, maka
itu bagus untuk dilakukan dengan lemah lembut.
Syaikh Muhyidin berkata: “Ketahuilah bab
amar ma’ruf nahi munkar telah disia-siakan dalam waktu yang lama. Tidak tersisa
pada zaman ini kecuali rambu-rambu yang kecil sekali. Inilah bab yang agung,
dengan inilah tegak urusan, apabila banyak kerusakan di bumi maka adzab akan
menimpa orang shalih dan thalih. Jika orang shalih tidak menghentikan perbuatan
orang dhalim sebentar lagi Allah akan menimpakan adzab yang merata, Allah
berfirman:
فَلْيَحْذَرِ
الَّذِيْنَ يُخَالِفُوْنَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ
يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
“Hendaknya takut orang yang menyelisihi perintahnya akan
tertimpa fitnah atau terkena adzab yang pedih” (An
Nur: 63).
Maka orang yang mencari akhirat dan
memperoleh ridha Allah seyogyanya memperhatikan bab ini, karena manfaatnya
besar. Apalagi sebagian besarnya telah hilang, jangan segan terhadap orang yang
diingkari hanya karena tingginya kedudukan kita, Karena Allah berfirman:
وَلَيَنْصُرَنَّ اللهُ
مَنْ يَّنْصُرُهُ
“Sungguh
Allah akan membela orang yang membela agama-Nya” (Al Hajj: 40).
Ketahuilah pahala itu sesuai amalan, jangan meninggalkan amar
ma’ruf karena teman dan orang yang ia cintai, karena yang namanya teman adalah
yang berusaha memakmurkan akhiratnya walaupun menyebabkan kurang dunianya, dan
musuh itu adalah yang berusaha menghilangkan atau menghurangi akhiratnya walau
kemudian memberi manfaat dalam dunianya.
Seyogyanya bagi orang yang melakukan amar
ma’ruf nahi munkar melakukannya dengan lemah lembut hingga bisa lebih mendekati
tujuan yang dimaksud. Imam Syafi’I pernah berkata: “Barangsiapa yang menasehati
saudaranya secara diam-diam (tidak dihadapan manusia) sungguh telah menasehati
dan memperbaikinya, dan barangsiapa yang menasehatinya dihadapan manusia
sungguh telah mencela dan menjelekkannya.
Diantara perkara yang diremehkan manusia
dalam bab ini adalah: Jika mereka melihat seseorang menjual barang atau hewan
yang ada ‘aibnyaia tidak menjelaskan ‘aib tersebut, mereka tidak mengingkarinya
dan tidak memberitahu pembeli keadaan barang tersebut. Padahal mereka akan
ditanya tentang masalah tersebut, karena agama ini adalah nasehat, barangsiapa
yang tidak memberi nasehat berarti telah menipu.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Hendaklah merubah dengan tangannya, jik atidak mampu maka dengan lisannya,
jika tidak mampu maka dengan hatinya” maknanya: Ingkarilah dengan hatinya.
Itu bukanlah menghilangkan atau meruah akan tetapi ini yang bisa ia lakukan.
Sabdanya: “Dan itulah selemah-lemahnya
Iman” maknanya – wallahu a’lam – yang paling sedikit buahnya.
Orang yang melakukan amar ma’ruf nahi
munkar tidak punya hak untuk mencari-cari, meneliti, memata-matai, dan penuh
curiga kepada orang, tapi jika ada yang terfgelincir baru ia ingkari. Al
Mawardi berkata: “Dia tidak punya hak untuk mencurigai dan memata-matai kecuali
jika ada yang mengabari bahwa seseorang berkhalwat dengan temannya untuk
membunuhnya, atau dengan perempuan untuk berzina. Karena itu dibolehkan baginya
untuk mengintai dan mencari tahu agar tidak luput apa yang tidak mungkin ia
dapati lagi.
Sabdanya: “Dan itulah selemah-lemahnya
Iman” telah disebutkan maknanya adalah yang paling sedikit buahnya. Dalam
riwayat lain:
“Tidak ada setelah itu keimanan sebutir
debupun” yakni tidak ada setelah itu tingkatan yang
lain. Iman dalam hadits ini maknanya Islam.
Hadits ini sebagai daliul bahwa barangsiapa
yang khawtir dibunuh atau dicambuk gugur darinya kewajiban mengingkari
kemungkaran, ini adalah madzhab muhaqqiqin dari kalangan salaf dan orang yang
mengikuti mereka. Sekelompok orang yang ekstrim berpendapat: “Tetap tidak gugur
kewajiban tersebut walaupun khawatir dibunuh”.
HADITS KETIGA PULUH LIMA
عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ:قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ تَحَاسَدُوْا، وَلاَ تَنَاجَشُوْا،
وَلاَ تَبَاغَضُوْا، وَلاَ تَدَابَرُوْا، وَلاَ يَبِيْعُ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ
بَعْضٍ، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَاًنا. اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ،
لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ يَكْذِبُهُ، وَلاَ يَحْقِرُهُ. التَّقْوَى هَهُنَا – وَيُشِيْرُ
إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ – بِحَسْبِ
امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ. كُلُّ الْمُسْلِم عَلَى
الْمُسْلِمِ حَرَامٌ: دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ. رواه مسلم.
Dari Abi
Hurairah Radiyallahu’anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Janganlah kalian saling hasad, janganlah saling menipu, saling
menjauhi, dan janganlah membeli (barang) yang hendak dibeli orang lain, jadilah
kalian hamba-hamba Allah yang bersudara, seorang muslim adalah saudara muslim
yang lain, tidak boleh ia mendzoliminya, enggan membelanya, tidak boleh
mendustai dan menghinanya. Taqwa itu disini, beliau mengisyaratkan ke dadanya
tiga kali. Cukup dianggap sebagai kejahatan seseorang jika ia menghina
saudaranya yang muslim. Setiap muslim bagi muslim yang lain adalah haram
darahnya, harta dan kehormatannya” (HR. Muslim).
Syarah:
Sabdanya:
“Janganlah kalian saling hasad” Hasad adalah berangan-angan hilangnya
nikmat (yang dimiliki orang lain). Ini adalah perbuatan haram. Dalam hadits
lain:
“Hati-hati
kalian dari hasad karena hasad itu memakan kebaikan sebagaimana api
menghabiskan kayu bakar dan kayu” adapun ghibthah adalah ia ingin mendapatkan nikmat yang
ada pada orang lain tapi tidak mengharap hilangnya nikmat dari saudaranya
tersebut.
Kata
hasad kadang dipakai dengan makna ghibthah karena hampir samanya makna
kedua kata tersebut seperti dalam hadits:
“Tidak
ada hasad kecuali dalam dua perkara” maksud hasad disini adalah ghibthah.
Sabdanya:
“Janganlah saling menipu” asal kata (النجش) adalah (الختل) yakni
penipuan, oleh karena itu pemburu dinamakan (ناجش) karena dia menipu atau ditipu buruannya.
Sabdanya:
“Janganlah saling membenci”. Maknanya jangan melakukan sebab saling
benci. Karena cinta dan benci adalah perbendaharaan hati yang manusia tidak
punya kemampuan mendapatkannya, tidak bisa berbuat padanya, sebagaimana Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam:
هَذَا قِسْمِيْ فِيْمَا أَمْلِكُ فَلاَ
تُؤَاخِذْنِيْ فِيْمَا تَمْلِكُ وَلاَ أَمْلِكُ.
“Inilah
bagianku janganlah Engkau mengazabku dalam perkara yang Engkau miliki dan aku
tidak memilikinya” yakni
cinta dan benci.
Kata (التدابر) adalah permusuhan, ada yang mengatakan: memutuskan hubungan,
karena keduanya membelakangi temannya.
Sabdanya:
“Dan janganlah membeli (barang) yang hendak dibeli orang lain” maknanya
ia berkata kepada orang yang akan membeli satu barang ketika sudah waktu khira: “Batalkan saja perdagangan ini aku akan jual semisalnya atau lebih
bagus harganya, atau penjual dan pembeli telah setuju dengan harga tertentu dan
sudah ridha hanya tinggal aqadnya, (orang tersebut menyuruh membatalkan dengan
– pent-) menambah atau menguranginya.
Perbuatan
ini haram setelah ditetapkannya harga, adapun sebelum ada keridhaan tidaklah
haram.
Makna: “Jadilah
kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara” bergaullah seperti pergaulan
dengan saudara, bergaul bersama mereka
dengan kasih sayang, lemah lembut, saling menolong dalam kebaikan dengan hati
yang bersih dan ikhlas dalam segala keadaan.
Sabdanya:
“Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, tidak boleh ia
mendzaliminya, enggan membelanya, mendustainya, dan menghinanya”.
Kata (الخدلان) yakni tidak membantu dan menolong. Maknanya: “Jika ia minta
tolong padamu untuk menolak orang dzalim dan semisalnya ia harus membantunya
jika memungkinkan dan tidak ada udzur syar’i.
Sabdanya:
(ولا
يحقره) dengan huruf
ha dan qaf yakni: Jangan bersombong dihadapannya dan
meremehkannya. Demikian dikatakan oleh Qadhi Ayadh. Sebagian mereka
meriwayatkan dengan dhammah huruf ya dan kha dan huruf fa
yakni jangan mengingkari janjinya, jangan membatalkan sumpahnya.
Tapi yang
benar dan ma’ruf adalah makna yang pertama.
Sabdanya:
“Taqwa itu disini, beliau mengisyaratkan ke dadanya tiga kali”, dalam satu riwayat: “Sesungguhnya Allah tidak
melihat bentuk dan rupa kalian akan tetapi melihat hati kalian” maknanya
bahwa amalan dhahir tidak menghasilkan taqwa, tapi taqwa dihasilkan dengan apa
yang ada dalam hati yaitu mengagungkan Allah, takut dan merasa diawasi
oleh-Nya, meyakini bahwa pandangan Allah meliputi segala sesuatu.
Makna
hadits – wallahu a’lam – yang akan dibalas dan dihisab dari manusia: bahwasanya
yang teranggap untuk dihisab dan dibalas adalah sesuai dengan baik buruknya
hati.
Sabdanya:
“Cukup dianggap sebagai kejahatan seseorang jika ia menghina saudaranya yang
muslim” ini adalah peringatan dari perbuatan demikian., karena Allah tidak
menghinanya ketika menciptakan dan memberinya rizki, kemudian membaguskan
penciptaannya, menundukkan apa yang ada dalam langit dan bumi kepadanya, dia
tetap punya bagian walaupun orang lain mendapat bagian, kemudian Allah
menamakannya muslim, mukmin dan hamba. Sampai akhirnya Allah mengutus kepadanya
rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka barangsiapa yang
menghinakan seorang muslim berarti telah menghinakan sesuatu yang dimuliakan
dan dicukupi oleh Allah.
Termasuk
penghinaan seorang muslim kepada muslim lainnya: tidak mengucapkan salam ketika
melewatinya, tidak menjawab salamnya ketika ia mengucapkan salam. Diantaranya
juga, menganggap saudaranya yang muslim bukan termasuk orang yang akan
dimasukkan sorga atau dijauhkan dari neraka oleh Allah. Adapun orang alim marah
kepada orang jahil, orang shaleh marah kepada orang fasiq bukan termasuk
meremehkan muslim. Bahkan karena ada sifat jahil dari orang jahil dan ada sifat
fasiq pada orang fasiq maka memisahkan diri darinya berarti mengembalikannya
kepada ketinggian derajat.
HADITS TIGA PULUH ENAM
عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ
كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ،
وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ،
وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَاللهُ فِي
عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِيْ عَوْنِ أَخِيْهِ. وَمَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا
يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ. وَمَا
اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِيْ بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُوْنَهُ
بَيْنَهُمْ، إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ
وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ، وَمَنْ بَطَّأَ
بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرَعْ بِهِ نَسَبُهُ. رواه مسلم بهذا اللفظ.
Dari Abu
Hurairah Radiyallahu’anhu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ia bersabda:
“Barangsiapa yang melepaskan dari orang mukmin satu kesulitan dari
kesulitan-kesulitan dunia, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesulitan
dari kesulitan-kesulitan hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan orang yang
kesukaran pasti Allah akan memudahkan (urusannya) di dunia dan akhirat. Dan
siapa yang menutupi aib saudaranya pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia
dan akhirat, Allah akan menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong
saudaranya. Barangsiapa menempuh satu jalan untuk menuntut ilmu pasti Allah
akan memudahkan baginya jalan menuju sorga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di
suatu rumah dari rumah-rumah Allah membaca dan mempelajari kitab Allah diantara
mereka, kecuali turun kepada mereka sakinah dan mereka diliputi rahmat dan
dinaungi malaikat, Allah menyebut mereka di majlis-Nya. Barangsiapa yang lambat
amalannya tidak akan cepat bagiannya” (HR. Muslim).
Syarah:
Ini
adalah hadits yang agung, mencakup berbagai macam ilmu dan qa’idah serta adab.
Dalam hadits ini diterangkan keutamaan memenuhi kebutuhan kaum muslimin, memberi
manfaat kepada mereka dengan sesuatu yang memudahkan mereka baik berupa ilmu,
harta ataupun pertolongan, serta mengisyaratkan kepada maslahah, nasihat dan
lainnya. Makna (تنقير
الكربة) adalah menghilangkannya. Sabdanya: (من
ستر مسلما) yakni menutupi ketergelincirannya, maksudnya
menutupi aib orang yang terhormat dan seperti mereka yang tidak dikenal
kerusakannya. Maksudnya menutupi perbuatan maksiat yang sudah terjadi dan
selesai, adapun jika mengetahuinya ketika masih dilakukan maka wajib bersegera mengingkari
dan mencegahnya berbuat demikian, jika tidak mampu ia harus melaporkannya
kepada pemerintah, bila tidak menimbulkan kerusakan. Hal yang ma’ruf ketika itu
tidak ditutupi perbuatannya karena kalau ditutup-tutupi mendorongnya membuat
kerusakan, gangguan, melanggar keharaman-keharaman, serta orang yang selainnya
akan berani berbuat demikian, bahkan disunnahkan dilaporkan kepada imam jika
takut ada mafsadah (kerusakan). Demikian pula mengucapkan jarah
(kritikan) terhadap perawi, saksi, orang-orang yang diberi amanah untuk
shadaqah, waqaf dan anak yatim serta selain mereka, wajib mengkritik mereka
ketika dibutuhkan, tidak halal menutup-nutupi mereka jika tampak dari mereka
sesuatu yang mencela keahlian mereka, dan ini bukan ghibah yang diharamkan, tapi
termasuk nasehat yang wajib.
Sabdanya:
(والله
في عون العبد مادام العبد في عون أخيه) “Allah
akan menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya”
kalimat global ini tidak cukup tafsirnya dalam buku ini, tapi diantara
tafsirnya: “Seorang hamba jika berniat menolong temannya jangan takut untuk
mengucapkan atau mengumandangkan alhaq, tetapi harus yakin bahwa Allah pasti
menolongnya”.
Dalam
hadits ini terdapat keutamaan memudahkan orang yang kesulitan, dan keutamaan
berusaha menuntut ilmu, juga keutamaan orang yang sibuk dengan ilmu, maksudnya
ilmu syar’i. dan disyaratkan harus diniatkan mencarinya wajah Allah, walaupun
memang itu syarat dalam seluruh ibadah. Sabdanya:
وَمَا اجْتَمَعَ
قَوْمٌ فِيْ بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُوْنَهُ
بَيْنَهُمْ .
“Tidaklah suatu kaum berkumpul di suatu rumah dari
rumah-rumah Allah membaca dan mempelajari kitab Allah diantara mereka”.
Ini dalil
keutamaan berkumpul untuk membaca Al Qur’an di mesjid. “Sakinah” dalam
hadits ini ada yang mengatakan maknanya adalah rahmat, ini pendapat yang lemah,
karena digandengkannya kata “rahmah” dengan kata tersebut dalam hadits
ini. Sebagian lagi menyatakan maknanya: Tuma’ninah dan ini makna yang
lebih baik.
Dalam
perkataannya: (ومااجتمع
قوم) nakirah yang mencakup seluruh jenisnya, sepertinya beliau
berkata: “Orang-orang manapun yang berkumpul dan mengamalkan amalan tersebut
maka mereka mendapatkan keutamaan yang disebutkan, karena dalam hadits ini
Allah tidak mensyaratkan harus ulama, zuhud atau orang yang punya kedudukan.
Sabdanya:
(حفتهم
الملائكة) yakni malaikat mengelilingi mereka, seperti
firman Allah: “(Malikat) berkeliling (mengelilingi) di dekat Arsy”, yakni
meliputi dan mengelilinginya di setiap sisi. Sepertinya, malaikat dekat dengan
mereka meliputi hingga tidak meninggalkan ruang buat syaithan.
Perkataannya:
(غشيتهم
الرحمة) kata (غشي) tidak dipakai kecuali untuk sesuatu yang meliputi seluruh
bagian yang ditutup. Syaikh Syihabuddin bin Farj berkata: “Maknanya yang aku
tahu meliputinya rahmah, maknanya memenuhi (menghapus) segala dosa yang telah
lalu.
Sabdanya:
(وذكرهم
الله فيمن عنده) menghendaki Allah menyebut mereka dihadapan para
nabi dan malaikat yang dimuliakan. Wallahu a’lam.
HADITS KETIGA PULUH TUJUH
عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ: إِنَّ اللهَ كَتَبَ
الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ: فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ
يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً وَاحِدَةً، وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا
كَتَبَ اللهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ
كَثِيْرَةٍ، وَإِنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ
حَسَنَةً كَامِلَةً، وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً.
رواه
البخاري ومسلم في صحيحيهما بهذه الحروف.
Dari
Ibnu Abbas Radiyallahu’anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
meriwayatkan dari Rabbnya Tabarak wa Ta’ala: “Sesungguhnya Allah menetapkan
kebaikan dan kesalahan kemudian menerangkannya, barangsiapa yang ingin
melakukan amalan baik dan ia tidak melakukannya Allah menulis untuknya sebagai
satu kebaikan, dan jika ia berniat kemudian mengamalkannya Allah akan
menuliskan untuknya sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus kali lipat dan sampai
kelipatan yang banyak. Jika berniat kejelekan dan tidak melakukannya Allah
tuliskan baginya sebagai satu kebaikan yang sempurna, dan jika berniat jelek
dan ia melakukannya Allah tuliskan sebagai satu kejelekan untuknya” (HR. Bukhari Muslim dalam shahih
keduanya dengan lafadz seperti ini).
Lihatlah
wahai saudaraku – mudah-mudahan Allah memberi taufiq kepada kita – besarnya
kelembutan Allah Ta’ala dan perhatikanlah kata-kata dalam hadits ini, Firman
Allah: “disisinya” isyarat akan perhatian-Nya kepada masalah tersebut.
Firman-Nya: “sempurna” sebagai ta’kid (penekanan) dan perhatian Allah
dalam masalah tersebut. Allah tentang orang yang niat berbuat jelek tapi tidak
mengamalkannya: “Allah tuliskan baginya sebagai satu kebaikan yang sempurna”
Allah memberikan penekanan dengan kata “ كاملة / sempurna”, jika mengamalkannya ditulis sebagai satu
kesalahan, Allah menekankan akan sedikitnya dengan kata: (واحدة) satu”. Tidak dita’kid dengan kata “ كاملة / sempurna”. Milik Allah lah pujian dan anugerah, kita tidak
bisa menghitung pujian atas-Nya, wabillahit taufiq.
Syarah:
Jika ada
yang mengatakan: “Kalau demikian maka mengharuskan ditulisnya kejelekan orang
yang berbuat jelek walaupun tidak melakukannya, karena keinginan berbuat
sesuatu adalah termasuk amalan hati.
Kita
jawab: “Tidaklah seperti yang kau katakan, karena barangsiapa yang menahan diri
dari perbuatan jelek berarti telah mengganti keinginan berbuat jelek dengan
keinginan berbuat baik. Dia melawan hawa nafsunya yang ingin berbuat jelek,
sehingga dia diberi pahala atas perbuatan ini.
Dalam
hadits lain:
إِنَّمَا تَرَكَهَا مِنْ جَرَائِيْ
“Sesungguhnya
ia meninggalkannya karena takut kepada-Ku” yakni karena Aku, ini seperti perkataan
Rasulullah:
“Atas
setiap muslim shadaqah” Mereka bertanya: “Jika tidak dilakukan? Beliau berkata:
“Hendaknya menahan diri dari berbuat jelek, karena itu juga shadaqah” diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dalam kitabul adab. Adapun jika meninggalkan perbuatan jelek tersebut karena
terpaksa atau karena tidak mampu melakukannya tidaklah ditulis sebagai satu
kebaikan, dan tidak masuk dalam makna hadits ini.
Imam
Thabari berkata: “Hadits ini membenarkan perkataan orang yang mengatakan:
“Bahwa malaikat pencatat mencatat apa yang diniatkan hamba yang baik atau yang
jelek, mengetahui keinginannya untuk berbuat demikian, serta membantah
perkataan orang yang berkata: “Malaikat hanya mencatat yang tampak dari amalan
hamba atas pendengaran. Maknanya: dua malaikat yang diutus oleh Allah tersebut
mengetahui apa yang diinginkan seorang hamba. Bisa jadi Allah menjadikan bagi
mereka jalan untuk mengetahuinya sebagaimana Allah menjadikan banyak nabinya
mengetahui perkara ghaib.
Allah
berfirman tentang nabi Isa alaihissalam, beliau berkata kepada Bani Israil:
وَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا
تَأْكُلُوْنَ وَمَا تَدَّخِرُوْنَ فِيْ بُيُوْتِكُمْ
“Aku kabarkan kepada kalian apa yang kalian makan
dan apa yang kalian simpan…” (Ali Imran: 49).
Nabi kita
Shallallahu ‘alaihi wasallam telah banyak mengabarkan perkara ghaib, sehingga
bisa jadi Allah menjadikan jalan bagi dua malaikat tersebut untuk mengetahui
apa yang ada dalam hati hamba dari kebaikan atau kejelekan kemudian menulisnya
ketika hamba sudah ber’azam untuk melakukannya.
Salaf
berselisih mengenai dzikir mana yang lebih afdhal: dzikir hati atau dzikir
dengan dikeluarkan suaranya? Dan ini seluruhnya pendapat Ibnu Khalaf yang
ma’ruf dengan Ibnu Batthal.
Pengarang
Al Ifshah berkata: “Sesungguhnya Allah ketika membinasakan umat ini dan
diiringi oleh kurangnya amal dengan melipat gandakan amalan mereka. Maka
barangsiapa yang berniat berbuat baik Allah menganggapnya sebagai kebaikan
sempurna, karena keinginannya satu, menjadikannya sempurna agar jangan ada
orang yang menyangka bahwa keberadaannya hanya semata niat itu akan mengurangi
atau menghancurkannya. Maka Allah terangkan dengan perkataan-Nya: “Kebaikan yang
sempurna”, jika berniat beramal baik dan mengamalkannya mengeluarkannya dari
niat menjadi catatan amal, dicatat untuknya sebagai kabaikan kemudian dilipat
gandakan. Yakni hal tersebut sesuai dengan kadar keikhlasan niat yang
melakukannya sesuai tempatnya. Kemudian berfirman: “sampai kelipatan yang
banyak” dengan lafadz nakirah, yang lebih mencakup dari ma’rifah. Ini
menghendaki menghitung yang banyak dengan kadar hitungan banyak yang terbesar,
janji Allah ini, dikatakan: jika seorang manusia bershadaqah dengan satu butir
gandum maka dihitung dalam karunia Allah. Seperti engkau menaburkannya di tanah
yang halus, kemudian ia menjaga dan memeliharanya dan melakukan sesuatu yang
diperlukan untuk kebaikan tanamannya. Ketika hari panen nampaklah hasilnya,
kemudian ditentukan dari hasil tersebut untuk ditaburkan kembali di tanah, dan
menjaganya seperti tadi. Demikianlah di tahun yang kedua, kemudian ketiga,
keempat dan setelahnya terus berlangsung sampai hari kiamat, datanglah sebutir
gandum seperti gunung yang kokoh. Jika seseorang bershadaqah satu butir atom
dengan keimanan, maka dilihat untungnya jika dibelikan sesuatu kemudian dinilai
dengan harga jika ia menjualnya di pasar yang paling banyak mendapatkan untung.
Kemudian dilipat gandakan, dan terus berulang sampai hari kiamat, satu biji
atom itu akan datang sebesar dunia seluruhnya.
Termasuk
hal itu juga: Sesungguhnya karunia Allah itu berlipat ganda dengan adanya
perpindahan seperti seorang yang bershadaqah kepada orang faqir satu dirham,
kemudian orang faqir tersebut memberikan kepada orang yang lebih faqir darinya,
kemudian orang tersebut memberikan kepada orang faqir yang ketiga, ketiga
diberikan ke yang keempat, keempat diberikan kepada orang yang seterusnya. Maka
Allah mencatat bagi orang yang shadaqah sepuluh kebaikan. Jika diberikan kepada
orang faqir yang kedua maka untuk orang faqir yang pertama sepuluh kebaikan dan
bagi yang bershadaqah seratus kebaikan. Jika orang faqir yang kedua
menshadaqahkannya lagi, maka orang faqir pertama mendapat seratus kebaikan dan
bagi yang bershadaqah mendapat seribu kebaikan, jika dishadaqahkan lagi, orang
faqir pertama mendapat seribu dan yang bershadaqah sepuluh ribu, kemudian
dilipat gandakan dalam hitungan yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala..
Diantara
karunia-Nya juga: “Allah jika menghisab hamba-Nya yang muslim di hari kiamat,
dan dia mempunyai kebaikan yang berbeda ada yang tinggi dan ada yang dibawah
itu. Maka Allah dengan kedermaan-Nya dan karunia-Nya menganggap seluruh amalan
tersebut sebagai kebaikan yang bernilai tinggi, karena kedermaa-Nya Allah
hingga Allah yang Maha Agung tidak akan menanyai hamba yang diridhainya tentang
perbedaan tingkat kebaikan. Allah berfirman:
“Kami
akan balas pahala mereka dengan nilai amalan yang paling baik yang mereka
lakukan” sebagaimana
jika seorang hamba mengucapkan do’a: (لاإله إلاالله وحده
لاشريك له) ketika berada di salah satu pasar muslimin
dengan mengeraskan suara, Allah akan mencatat untuknya dua juta seribu amalan,
dan menghapus darinya dua juta seribu kesalahan, dan membangunkan untuknya satu
rumah di sorga sebagaimana terdapat dalam hadits.
Yang kita
sebutkan disini adalah menurut kadar pengetahuan kita bukan kadar karunia
Allah, karena karunia Allah itu besar tidak bisa dihitng oleh makhluk-Nya.
HADITS KETIGA PULUH DELAPAN
عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ: مَنْ
عَادَى لِيْ وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ
بِشَيْئٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ
يَتَقَرَّبَ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبَتُهُ كُنْتُ
سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِيْ
يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِيْ أَعْطَيْتُهُ
وَلَئِن اسْتَعَاذَنِيْ لأُعِيْذَنَّهُ. رواه البخاري.
Dari Abu
Hurairah Radiyallahu’anhu: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: “Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku maka
Aku telah mengumumkan perang dengannya. Tidaklah seorang hamba bertaqarrub
(mendekatkan diri) kepadaku yang lebih Aku cintai selain bertaqarrub dengan
perkara yang wajib. Terus menerus seorang hamba bertaqarrub kepada-Ku dengan
perkara-perkara sunnah hingga Aku mencintainya. Kalau Aku sudah cinta kepadanya
maka Aku adalah pendengarannya yang mendengar dengannya, pandangannya yang
dengannya ia memandang, tangannya yang dengannya ia memukul dan kakinya yang
dengannya ia berjalan, kalau meminta niscaya Aku akan memberinya dan jika minta
perlindungan niscaya Aku akan melindunginya” (HR. Bukhari).
Syarah:
Pengarang
Al Ifshah berkata: didalam hadits ini ada fiqih: bahwasanya Allah Ta’ala
memberikan peringatan atas setiap orang yang memusuhi wali Allah: Bahwa dia
telah mengumumkan peperangan karena sebab permusuhan orang tersebut kepada wali
Allah, wali Allah adalah orang yang mengikuti syariat-Nya.
Maka
hati-hatilah seorang muslim jangan sampai menyakiti hati wali-wali Allah.
Makna
permusuhan adalah menjadikannya sebagai musuh, dan aku berpendapat maknanya
adalah memusuhi karena kedudukannya sebagai wali Allah.
Adapun
jika karena satu hal yang menyebabkan terjadinya perselisihan antara dua wali
untuk memperjelas hak yang masih tersembunyi tidaklah masuk dalam hadits ini,
karena perselisihan seperti ini terjadi antara Abu Bakar dan Umar
Radiyallahu’anhuma, juga antara Abbas dan Ali Radiyallahu’anhuma dan banyak
diantara shahabat lainnya. Mereka semua adalah wali Allah.
Perkataan
dalam hadits: “Tidaklah seorang hamba bertaqarrub kepadaku yang lebih Aku
cintai selain bertaqarrub dengan perkara yang wajib” ini merupakan isyarat
tidak bolehnya mendahulukan perkara sunnah dari yang wajib, perkara sunnah
dinamakan nafilah apabila telah melakukan perkara yang wajib.
Ditunjukkan
pula oleh perkataan-Nya: “Terus menerus seorang hamba bertaqarrub kepada-Ku
dengan perkara-perkara sunnah hingga Aku mencintainya” karena bertaqarrub
dengan perkara nafilah itu setelah melakukan perkara yang wajib.
Apabila
seorang hamba merutini amalan nafilah akan menyebabkan ia dicintai oleh Allah
Azza wajalla.
Kemudian
perkataannya: “Kalau Aku sudah cinta kepadanya maka Aku adalah
pendengarannya yang mendengar dengannya, pandangannya yang dengannya ia
memandang…”dst. Ini adalah tanda wali Allah yang sudah dicintai oleh-Nya.
Maknanya adalah ia tidak pernah mendengarkan sesuatu yang tidak diijinkan
syariat untuk didengar, tidak melihat sesuatu yang dilarang oleh syariat untuk
dilihat, tidak pernah mengulurkan tangan dalam perkara yang tidak diijinkan
oleh syari’at, tidak berjalan kecuali berjalan menuju sesuatu yang diijinkan
syariat, inilah hukum asalnya. Kadang telah dominan atas seorang hamba
dzikrullah hingga ia dikenal demikian, ketika diajak bicara orang lain hamper
tidak mau mendengarnya. Demikian pula dalam masalah pandangan,makanan dan
berjalan. Kita minta kepada Allah agar kita dijadikan orang yang demikian.
Perkataannya:
“Jika minta perlindungan niscaya akan AKu lindungi” menunjukkan apabila
seorang hamba sudah menjadi orang yang dicintai Allah tidak akan tertolak
ketika ia meminta kebutuhan atau ketika ia minta perlindungan kepada Allah dari
orang yang ia takutkan. Allah Maha kuasa untuk memberinya sebelum ia meminta,
melindunginya sebelum ia minta perlindungan, akan tetapi Allah menjadikan
sarana bertaqarrub hambanya dengan memberi orang yang meminta dan melindungi
orang yang minta perlindungan”.
Perkataannya:
(استعاذني) ditulis dengan nun dan ya keduanya benar,
perkataannya diawal hadits: (فقد آذنته بالحرب) dengan hamzah
mamdudah : yakni Aku umumkan bahwa sesungguhnya ia sedang berperang
melawan-Ku.
HADITS KETIGA PULUH SEMBILAN
عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِيْ عَنْ أُمَّتِيْ: اَلْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا
اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ. حديث حسن رواه ابن ماجة والبيهقي وغيرهما.
Dari
Ibnu Abbas Radiyallahu’anhuma: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersbda: “Allah akan memaafkan kesalahan seorang hamba karena keliru, lupa,
atau dipaksa” (Hadits Hasan riwayat Ibnu Majah dan Baihaqi serta selain
keduanya).
Telah ada penjelasan dalam menafsirkan ayat
Allah:
وَإِنْ تُبْدُوْا مَا
فِيْ أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوْهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللهُ
“Jika
kalian tampakkan yang ada pada hati kalian atau tidak kalian tampakkan Allah
tetap menghisab kalian” (Al Baqarah: 284).
Ketika
turun ayat ini para shahabat Radiyallahu’anhum merasa berat, maka Abu Bakar,
Umar, Abdurrahman bin Auf dan Muadz bin Jabal mendatangi Rasulullah bersama
sekelompok orang yang berkata:
كَلَّفَنَا
مِنَ الْعَمَلِ مَالاَنُطِيْقُ، إِنَّ أَحَدَنَا لَيُحَدِّثَ نَفْسَهُ بِمَا لاَ يَجِبُ
أَنْ يَثْبُت فِيْ قَلْبِهِ وَأَنَّ لَهُ الدُّنْيَا.
“Allah membebani kami
dengan sesuatu yang tidak mampu kami
lakukan, sungguh seseorang kami terbetik dalam hatinya perkara yang
tidak ia inginkan hal tersebut ada dalam hatinya walau diberi dunia seisinya”.
Maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَعَلَّكُمْ تَقُوْلُوْنَ كَمَا قَالَتْ
بَنُوْا إِسْرَائِيْل: سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا. قُوْلُوْا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا.
“Mungkin kalian seperti
bani Israil yang berkata: “kami dengar dan kami bermaksiat”, katakanlah kami
dengar dan kami taat”.
Jawaban
tersebut terasa berat bagi para shahabat hingga mereka pun diam beberapa lama,
akhirnya Allah menurunkan ayat sebagai jalan keluar dan rahmat bagi hamba-Nya:
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ
نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَآ إِنْ نَسِيْنَآ أَوْ أَخْطَأْنَا
“Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan yang ia mampu, baginya pa
yang ia amalkan dan atasnya apa yang ia perbuat,"Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami keliru” (Al Baqarah: 284). Allah
berfirman: “Telah Aku lakukan…” sampai akhir kisah. Turunlah ayat yang
meringankan dan dimansukhlah
(dihapus hukum) ayat yang pertama.
Imam Baihaqi berkata: “Telah berkata Imam
Syafi’I: Allah Ta’ala berfirman:
إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ
بِاْلإِيْمَنِ
“Kecuali
orang yang dipaksa dan hatinya masih tentram dengan keimanan” (An Nahl: 106).
Dalam masalah kekafiran ada banyak hukum,
tapi karena Allah menegaskan tidak kafirnya orang yang dipaksa maka gugurlah
hukum-hukum lainnya dari seseorang karena dipaksa. Karena jika perkara yang
paling besar gugur maka gugur pula masalah-masalah yang kecil, kemudian beliau
meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
“Allah akan memaafkan kesalahan seorang
hamba karena keliru, lupa atau dipaksa”, juga
meriwayatkan dari Aisyah Radiyallahu’anha Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
لا
طلاق ولاعتاف في إغلاق
“Tidak
ada thalaq dan pembebasan budak jika dalam keadaan tidak sadar” ini adalah madzhabnya Umar bin Khatthab, Ibnu Umar dan Ibnu Zubair.
Tsabit bin Ahnaf pernah menikahi ummu walad milik Abdurrahman bin Zaid bin
Khattab. Kemudian Abdurrahman bin Zaid memaksanya dengan cambuk dan ancaman
agar ia mentalaq ummu walad ketika masa khalifah Ibnu Zubair, Ibnu Umar berkata
kepadanya: “Belum jatuh thalaq atasmu, kembalilah kekelargamu ketika itu Ibnu
Zubair ada di Mekkah, ia pun menyusulnya kemudian Ibnu Zubair menulis surat
kepada pegawainya di Madinah, untuk mengembalikan istri Tsabit kepadanya, dan
perintah untuk menghukum Abdurrahman bin Zaid. Kemudian Shafiyah bintu Abi
Ubaid istri Abdullah bin Umar menyiapkan istri Tsabit, Abdullah bin Umar bahkan
menghadiri pernikahannya, wallahu a’lam.
HADITS KEEMPAT PULUH
عَنِ ابْنِ
عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: أَخَذَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِمَنْكِبِيْ فَقَالَ: كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ
سَبِيْلٍ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَقُوْلُ: إِذَا أَمْسَيْتَ
فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَخُذْ
مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ. رواه
البخاري.
Dari
Ibnu Umar Radiyallahu’anhuma: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memegang
dua pundakku dan berkata: “Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau
orang yang sedang numpang lewat”. Ibnu Umar berkata: “Apabila di sore hari
janganlah menunggu pagi hari (untuk beramal shalih), dan ketika pagi hari
janganlah menunggu sore hari. Ambillah kesempatan masa sehatmu sebelum sakitmu,
dan ambil kesempatan waktu hidupmu sebelum datang waktu matimu” (HR. Bukhari).
Syarah:
Imam Abul
Hasan Ali bin Khalaf berkata dalam syarah Bukhari: “Makna hadits ini adalah
menganjurkan untuk sedikit bergaul dan untuk qana’ah, serta zuhud di dunia.
Abul
Hasan berkata: “Penjelasannya karena orang asing sedikit sekali mau berkumpul
dengan manusia, karena dia hampir tidak menemukan orang yang dikenal untuk
dijadikan sebagai teman, dia menjadi rendah dan takut. Demikian pula orang yang
sedang numpang lewat tidak bisa melanjutkan safarnya kecuali dengan kekuatan
yang ia miliki untuk safar dan sedikitnya barang bawaan, tidak menyibukkan diri
dengan sesuatu yang akan menghalangi safarnya. Ia tidak membawa sesuatu kecuali
bekal dan kendaraan yang akan menyampaikannya hingga akhir tujuannya. Ini
menunjukkan mengutamakan zuhud di dunia untuk mengambil bekal dan kecukupan,
sebagaimana orang musafir tidak membutuhkan banyak harta kecuali yang bisa
menyampaikan ke tujuannya.
‘Iz
‘Alauddin bin Yahya bin Hubairah berkata: “Dalam hadits ini menunjukkan bahwa
Rasulullah menganjurkan untuk menyerupai orang asing, karena orang asing
apabila masuk ke satu negeri tidak berlomba dengan penduduk asli di majlis
mereka. Tidak pernah merasa gundah ketika melihat orang lain berbeda dengan
dirinya dalam masalah pakaian. Tidak pernah saling bermusuhan bersama mereka.
Demikian
pula orang yang sedang numpang lewat tidak menjadikan negeri tempat ia singgahi
seperti negerinya. Tidak pernah mau berdebat dengan manusia, karena merasa
bahwa ia hanya sebentar saja bersama mereka. Keadaan orang asing dan yang
numpang lewat disunnahkan ada pada seorang
mukmin di dunia ini, karena dunia ini bukan tempat tinggalnya, bahkan
menghalangi dari negerinya, menghalangi dirinya untuk tinggal di negerinya.
Adapun
perkataan Ibnu Umar: “Apabila sedang di waktu sore jangan menunggu waktu
pagi” itu adalah anjuran darinya agar seorang mukmin selalu siap untuk
mati, bersiap menghadapi mati tentunya dengan beramal shalih. Beliau juga
menganjurkan untuk tidak penjang angan-angan yakni jangan menunggu pagi untuk
mengamalkan amalan-malam. Bahkan seharusnya bersegera untuk beramal, demikian
pula ketika pagi hari jangan bisikkan kepada dirimu untuk menunggu waktu sore
mengakhirkan amalan hingga sore hari.
Perkataan
beliau: “Ambillah kesempatan sehatmu sebelum sakit”, anjuran untuk
menggunakan waktu sehat, hendaknya bersemangat beramal shalih ketika sehat
karena khawatir datangnya sakit yang akan menghalanginya dari beramal shalih.
Demikian
pula perkataannya: “Ambillah kesempatan waktu hidupmu untuk matimu”, peringatan
untuk menggunakan hari-hari hidupya, karena barangsiapa yang mati telah putus
amalannya dan hilang angan-angannya, besar rasa sesalnya atas apa yang luput
darinya. Hendaknya tahu bahwa akan datang padanya jaman yang panjang dalam
keadaan ia dibawah tanah tidak bisa berbuat apa-apa, tidak mungkin berdzikir
kepada Allah. Maka hendaknya ia bersegera di waktu sehatnya. Betapa mencakupnya
hadits ini akan makna-makna yang baik dan mulia.
Sebagian
ulama berkata: “Allah mencerca panjang angan-angan dalam Firmannya:
ذَرْهُمْ يَأْكُلُوْا وَيَتَمَتَّعُوْا وَيُلْهِهِمُ
اْلأَمَلُ فَسَوْفَ يَعْلَمُوْنَ
“Biarkanlah mereka makan dan bersenang-senang dan
dilalaikan oleh angan-angan, nanti mereka akan mengetahuinya” (Al Hijr: 3).
Ali
Radiyallahu’anhu berkata: “Dunia berjalan untuk meninggalkan kita sedangkan
akhirat berjalan untuk mendatangi kita, keduanya mempunyai anak, jadilah kalian
anak akhirat jangan menjadi budak dunia, karena sekarang adalah waktu beramal
dan tidak ada hisab adapun di akhirat adalah waktu hisab tidak ada waktu untuk
beramal.
Anas
Radiyallah’anhu berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menggaris
beberapa garis, dan berkata: “Ini adalah manusia, ini angan-angannya, dan ini
ajalnya, ketika ia sedang berangan tiba-tiba datang kepadanya garis yang lebih
dekat” yakni ajal yang selalu meliputi dirinya. Ini merupakan peringatan
untuk tidak panjang angan. Dan menganggap sudah dekat waktu datangnya ajal,
karena khawatir datang tiba-tiba.
Barangsiapa
yang merasa tidak bisa menebak ajal, harus merasa khawatir dalam menunggunya,
khawatir datangnya ajal ketika ia lalai dan tertipu oleh dunia. Hendaknya
seorang mukmin ridha untuk menggunakan sesuatu yang bisa mengingatkannya dan
harus melawan angan dan hawa nafsunya, karena manusia memang dipenuhi
angan-angan.
Abdullah
bin Umar berkata: “Rasulullah melihatku ketika aku menembok kebun kami,
beliau berkata: “Apa ini wahai Abdullah?” aku jawab: “wahai Rasulullah tembok
ini telah lemah kami ingin membetulkannya”, beliau bersabda: “urusan lebih dari
itu”.
Kita
minta kepada Allah agar memberikan kelembutannya kepada kita, menjadikan kita
zuhud di dunia, menjadikan keinginan kita adalah yang ada disisi-Nya, dan waktu
istirahat kita adalah hari kiamat. Dia adalah Dzat yang Maha Derma Pemurah
Pengampun dan Penyayang.
HADITS KEEMPAT PULUH SATU
عَنْ
أَبِيْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللهِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ. حديث صحيح
رويناه في كتاب الحجة بإسناد صحيح.
Dari Abu
Muhammad Abdullah bin Amr bin Ash Radhiallahu ‘anhuma: “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah sempurna iman salah seorang kalian
sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang dibawa olehku” (Hadits Hasan Shahih, diriwayatkan dalam kitabul hujjah dengan sanad
yang shahih)[46].
Hadits ini
semakna dengan firman Allah Ta’ala:
فَلاَ
وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ حَتَّى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ
لاَ يَجِدُوْا فِيْ أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا
تَسْلِيْمًا
“… Demi Rabbmu sekali-kali tidaklah mereka beriman
hingga menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan
dan tidak ada ganjalan di hati mereka terhadap apa yang engkau putusklan dan
mereka berserah diri” (An Nisa: 65).
Sebab
turunnya ayat ini adalah Zubair Radiyallahu’anhu berselisih dengan seorang
anshar dalam masalah air, keduanya kemudian berhakim kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Ambillah wahai Zubair dan
alirkanlah air tersebut kepada tetanggamu” beliau menganjurkan Zubair untuk
toleran dan memberikan kemudahan kepada temannya. Orang anshar tersebut
berkata: ”Itu karena Zubair adalah anak pamanmu?”, raut muka Rasulullah pun
berubah dan beliau berkata: “Ya Zubair tahanlah air hingga sampai tembok,
kemudian alirkanlah” hal ini dikarenakan Rasulullah mengisyaratkan kepada
Zubair sesuatu yang mengandung maslahat bagi orang anshar tersebut, ketika
orang anshar membuatnya marah akhirnya iapun memberikan kepada Zubair seluruh
yang wajib baginya, kemudian turunlah ayat ini.
Telah
shahih bahwa Rasulullah bersabda:
وَالَّذِيْ
نَفْسِيْ بِيَدِهِ لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ
وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
“Demi dzat yang jiwaku
ada di tangan-Nya tidaklah sempurna iman salah seorang kalian hingga aku lebih
ia cintai dibandingkan orang tua anaknya dan manusia seluruhnya”.
Abu zinad
berkata: “Ini adalah termasuk jawami’ul kalim Rasulullah, karena lafadz yang
pendek ini mengandung makna yang banyak sekali, karena mahabbah itu terbagi
menjadi tiga: Pertama: Mahabbah kemuliaan dan pengagungan seperti
mahabbah kepada orang tua, Kedua: Mahabbah kasih sayang dan rahmat seperti
mahabbah kepada anak, Ketiga: Mahabbah istihsan dan bercocokan yakni
seperti mahabbahnya manusia, terbatasilah golongan mahabbah.
Ibnu
Batthal berkata: “Makna hadits – wallahu a’lam – Barangsiapa yang telah
sempurna keimanannya dia akan tahu bahwa haq Rasulullah dan keutamaannya lebih
wajib atasnya dari pada haq bapa dan anaknya serta haq seluruh manusia. Karena
dengan sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam Allah menyelamatkan dia
dari neraka dan membimbingnya dari kesesatan. Yang dimaksud oleh hadits adalah
mencurahkan seluruh kemampuan diri untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Para
Shahabat Radiyallahu’anhum memerangi bapak-bapak, anak-anak dan saudara mereka
bersama Rasulullah. Abu Ubaidah membunuh bapaknya karena bapaknya menyakiti
Rasulullah, Abu Bakar mau membunuh anaknya yang bernama Abdurrahman ketika
perang Badar, beliau hampir dapat membunuhnya.
Maka
barangsiapa yang sudah mendapatkan dirinya seperti ini telah benar bahwa hawa
nafsunya telah mengikuti apa yang dibawa oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam.
HADITS KEEMPAT
PULUH DUA
عَنْ
أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: قَالَ تَعَالَى: يَاابْنَ آدَمَ،
إِنَّكَ مَادَعَوْتَنِيْ وَرَجَوْتَنِيْ غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ مِنْكَ
وَلاَ أُبَالِيْ، يَاابْنَ آدَمَ، لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوْبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ
ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِيْ غَفَرْتُ لَكَ. يَاابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ لَوْ
أَتَيْتَنِيْ بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِيْ لاَتُشْرِكُ بِيْ
شَيْئًا َلأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً. رواه
الترمذي وقال: حديث حسن صحيح.
Dari Anas
bin Malik Radhiallahu ‘anhu berkata: “Aku mendengar Rasulullah bersabda:
“Allah ‘Azza wajalla berfirman: “Wahai Ibnu Adam selama engkau berdo’a
dan berharap kepada-Ku akan Aku ampuni dosamu walau bagaimanapun (besarnya) Aku
tidak peduli.
Wahai
Ibnu Adam kalau dosamu mencapai puncak bumi kemudian engkau minta ampun
kepada-Ku niscaya akan Aku ampuni.
Wahai
Ibnu Adam jika engkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa hampir sepenuh bumi
tapi engkau berjumpa kepada-Ku dalam keadaan tidak berbuat syirik niscaya akan
Aku berikan ampunan semisalnya”
(HR.
Tirmidzi beliau berkata: Hadits Hasan
Shahih)[47].
Syarah:
Dalam
hadits ini terdapat kabar yang agung, pemaafan dan kemurahan yang agung, serta
berbagai macam karunia, kebaikan, kasing sayang dan anugerah yang tidak
terhitung, hadits ini seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
لله أَفْرَح بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ
بِضَالَّتِهِ لَوْ وَجَدَهَا
“Allah lebih merasa
gembira dengan taubatnya seorang hamba dari gembiranya salah seorang kalian
yang dapat menemukan kambali binatangnya yang hilang”.
Dari Abu
Ayyub Radiyallahu’anhu ketika beliau menjelang sakaratul maut: “Aku telah
menyembunyikan atas kalian satu hadits yang pernah aku dengar dari Rasulullah:
لَوْلاَ
أَنَّكُمْ تذْنبُوْنَ لِخَلْقِ اللهِ خَلْقًا يذْنبُوْنَ فَيَغْفِرُ لَهُمْ
“Kalaulah kalian tidak berdosa niscaya Allah akan
menciptakan makhluk yang menggantikan kalian dan kemudian mereka berbuat dosa
kemudian Allah mengampuni dosa mereka” dan banyak lagi hadits yang semakna dengan
hadits ini.
Perkataan
dalam hadits: “Wahai Ibnu Adam selama engkau berdo’a dan berharap kepada-Ku”
hadits ini sesuai dengan sabda Rasulullah:
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ فَلِيَظُنّ
بِيْ مَا شَاءَ
“Aku sesuai dengan sangkaan hamba-Ku silahkan mereka
mempunyai sangkaan semau mereka”, telah ada riwayat bahwasanya seorang hamba apabila berdosa kemudian
menyesal dengan berkata: “Wahai Rabb aku melakukan dosa ampunilah aku, tidak
ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau, maka Allah berfirman: “Hamba-Ku telah
tahu bahwa dia punya Rabb yang mengampuni dosa, mengadzab karena dosa, Aku
persaksikan kepada kalian bahwa Aku telah mengampuninya, kemudian hamba
tersebut melakukan dosa yang kedua ketiga dan Allah berfirman sama dengan yang
pertama, kemudian berfirman: “Amalkanlah apa yang engkau kehendaki sungguh Aku
telah mengampuni kalian”, yakni apabila berbuat dosa kemudian beristighfar.
Ketahuilah
taubat mempunyai tiga syarat: Pertama: berhenti dari perbuatan
maksiatnya, Kedua: menyesal atas apa yang ia sia-siakan, Ketiga: berazam
untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut. Apabila dosanya berkaitan dengan haq
hamba maka ia harus menunaikan haq saudaranya dan minta dihalalkan. Kalau
dosanya antara ia dengan Allah tapi ada kifarat maka hendaknya ia melaksanakan
kifarat, ini adalah syarat keempat. Kalau seorang hamba melaksanakan tiap
harinya seperti ini dan bertaubat dengan syarat-syarat lainnya karena Allah,
sungguh Allah akan mengampuninya.
Perkataan
dalam hadits: “Walau bagaimanapun” yakni walau berulang kali engkau
melakukan maksiat, perkataan dalam hadits: “aku tidak peduli” yakni aku
tidak peduli dengan dosamu.
Perkataan
dalam hadits: “Wahai Ibnu Adam kalau dosamu mencapai puncak bumi kemudian
engkau minta ampun kepada-Ku niscaya akan Aku ampuni” yakni kalau dosa
berupa benda yang memenuhi bumi dan langit, ini adalah puncak banyaknya dosa
akan tetapi karena kemurahan dan kebijakan Allah serta pemaafannya yang lebih
besar dan agung, tidak ada diantara keduanya kesesuaian dan tidak ada kemuliaan
yang lain, maka hancurlah dosa alam di sisi kebijakan dan pemaafan Allah
Subhanahu wata’ala.
Perkataan
dalam hadits: “Wahai Ibnu Adam jika engkau datang kepada-Ku dengan membawa
dosa hampir sepenuh bumi tapi engkau berjumpa kepadaku dalam keadaan tidak
berbuat syirik niscaya akan Aku berikan ampunan semisalnya” yakni datang
kepada-Ku dengan dosa hampir sepenuh bumi.
Perkataan
dalam hadits: “Kemudian bertemu dengan-Ku” yakni engkau mati dalam
keadaan beriman tidak berbuat syirik kepada Allah. Tidak ada ketenangan bagi
seorang mukmin selain bertemu dengan Rabbnya, Allah telah berfirman:
إِنَّ اللهَ لاَ
يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَآءُ وَمَنْ
يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيْمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa
syirik dan akan mengampuni dosa yang selainnya bagi orang yang dikehendaki” (An Nisa: 48), dan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
“Tidaklah seorang hamba dianggap terus menerus melakukan dosa jika
beristighfar walau dalam sehari melakukan dosa sembilan puluh kali”, Abu
Hurairah berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Baik
sangka kepada Allah termasuk ibadah kepada Allah yang paling baik”.
TAMBAHAN
DARI
IBNU
RAJAB
HADITS KEEMPAT PULUH TIGA
عَنِ ابْنِ
عَبّاسٍ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم:
"أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا، فَمَا أَبْقَتِ الفَرَائِضُ، فَلأَوْلَى
رَجُلٍ ذَكَرٍ". رواه
البخاري ومسلم.
Dari Ibnu
Abbas Radhiallahu ‘anhuma: "Rasulullah
Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
"Berikanlah warisan kepada yang
berhak. Jika masih ada tersisa maka yang paling didahulukan dalam mendapatkannya
adalah laki-laki yang paling utama (paling dekat dengan mayit)”[48]
HADITS KEEMPAT PULUH EMPAT
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهَا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: "الرَّضَاعَةُ تُحَرِّمُ مَا تُحَرِّمُ
الْوِلاَدَةُ". رواه
البخاري ومسلم.
Dari
Aisyah Radhiallahu ‘anha Dari
nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Susuan bisa mengharamkan seperti
halnya kelahiran”[49]
HADITS KEEMPAT PULUH LIMA
عَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللّهِ أَنّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللّهِ صلى الله عليه وسلم
عَامَ الْفَتْحِ وَهُوَ بِمَكَّةَ يَقُولُ:
"إنّ اللّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ
وَالْخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ" فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللّهِ أَرَأَيْتَ
شُحُومَ الْمَيْتَةِ، فَإِنَّهُ يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ، وَيُدْهَنُ بِهَا
الْجُلُودُ، وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النّاسُ؟ قَالَ: "لاَ. هُوَ حَرَامٌ"
ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم عِنْدَ ذَلِكَ: "قَاتَلَ
اللّهُ الْيَهُودَ، إنَّ اللّهَ حَرَّمَ عَلَيْهِمُ الشُّحُومَ، فأَجْمَلُوهُ،
ثُمَّ بَاعُوهُ، فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ". رواه البخاري ومسلم.
Dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu ‘anhu, beliau
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata di Mekkah ketika
tahun Fathu Mekkah: “Sesungguhnya Allah dan RasulNya telah mengharamkan
jual beli khamr, bangkai, babi dan berhala”.
Dikatakan kepada beliau: Wahai Rasulullah, kabarkan
kepadaku tentang lemak bangkai karena perahu-perahu telah dilumuri dengannya,
diminyaki dengannya pula kulit (yang mau disamak) dan manusia menjadikannya
untuk minyak lentera ?”
Rasulullah berkata: “Tidak, menjual
bangkai itu haram”.
Kemudian beliau berkata: "Allah memerangi Yahudi,
sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas mereka lemak bangkai kemudian mereka
cairkan serta mereka jual dan mereka memakan hasil penjualannya”[50]
HADITS KEEMPAT PULUH ENAM
عَنْ
أَبِي بُرْدَةَ، عن أبيه أَبِي مُوسى الأَشعَريِّ أنَّ النَّبِيَّ صلى الله
عليه وسلم بَعَثَهُ إِلَى اليَمَنِ، فسأَلَهُ عَن أَشربةٍ تُصنَعُ بِها،
فقال:"وَمَا هِيَ؟" قَالَ: البِتْعُ وَالمِرْزُ، فقِيلَ لأبي بُردَةَ:
وما البِتْعُ؟ قال: نَبيذُ العسل، والمِرْزُ نْبيذُ الشَّعير، فقال:"كُلُّ
مُسكرٍ حَرامٌ". رواه
البخاري ومسلم.
Dari Abu Burdah dari bapaknya yakni Abu Musa Al
Asy’ary Radhiallahu
‘anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusnya ke Yaman dan
bertanya kepadanya tentang minuman yang dibuat di Yaman.
Beliau
bertanya: “Apa itu? “
Abu Musa
berkata: “al Bit’u dan al Mizru”.
Ditanyakan
kepada Abu Musa: “Apa itu al Bit’u?”
Beliau
jawab: “Saripati madu adapun al Mizru adalah saripati gandum”.
HADITS KEEMPAT PULUH TUJUH
عَنِ
المِقْدَامِ بنِ مَعدِ يَكْرِب قال: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله
عليه وسلم يَقُولُ: "مَا مَلأَ آدَمِيٌّ وِعاءً شَرًا مِنْ بَطْنٍ، بِحَسْبِ
ابنِ آدَمَ أَكَلاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ، فَإِنْ كَانَ لا مَحَالَةَ، فَثُلثٌ
لِطَعَامِهِ، وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ، وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ". رواه الترمذي.
Dari Miqdam bin Ma’di Karib Radhiallahu ‘anhu: Aku
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Tidaklah
seorang anak adam memenuhi satu tempat yang lebih jelek dari (memenuhi)
perutnya.
Cukuplah bagi anak adam makanan yang bisa menegakkan
tulang punggungnya, jika harus (lebih dari itu) maka sepertiga untuk
makanannya, sepertiga untuk minumnya dan sepertiga untuk nafasnya”[52]
HADITS
KEEMPAT PULUH DELAPAN
عَنْ عَبْدِاللهِ
بن عمرٍو رضي الله عنهما عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: "أَرْبَعٌ
مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا {خَالِصًا}، وَإِنْ كَانَتْ خَصْلةٌ مِنْهُنَّ
فِيهِ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا: مَنْ إِذَا حَدَّثَ
كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ
". رواه
ومسلم.
Dari Abdullah bin Amr Radhiallahu ‘anhu dari
nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Empat perkara, barangsiapa yang ada
padanya keempat perkara tersebut maka ia munafiq tulen, jika ada padanya satu
diantara perangai tersebut berarti ada padanya satu perangai kenifakan sampai
meninggalkannya: (1)Yaitu seorang jika bicara dusta, (2)jika membuat janji
tidak menepatinya, (3)jika berselisih melampui batas dan (4)jika melakukan
perjanjian mengkhianatinya”[53]
HADITS KEEMPAT PULUH SEMBILAN
عَنْ
عُمرَ بنِ الخَطَّابِ رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى
الله عليه وسلم قَالَ: "لَوْ أنَّكُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ
تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيرَ، تَغدُو خِمَاصًا، وَتَرُوحُ
بِطَانًا". . رواه الترمذي.
Dari Umar bin Khaththab Radhiallahu ‘anhu Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata: “Jika kalian bertawakal kepada
Allah dengan sebenar-benar tawakal niscaya Allah akan memberikan rezeki kepada
kalian sebagaimana memberi rezeki kepada burung. Keluar di pagi hari dalam
keadaan lapar dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang[54]
HADITS KELIMA
PULUH
عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ بُسْرٍ قَالَ: أَتَى النَّبِيَّ صلى الله
عليه وسلم رَجُلٌ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ شَرَائِعَ الإِسْلاَمِ قَدْ
كَثُرَتْ عَلَيْنَا، فَبَابٌ نَتَمَسَّكُ بِهِ جَامِعٌ؟ قَالَ: "لاَ يَزَالُ
لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ". رواه أحمد.
Dari Abdullah
bin Busr: Datang seorang laki-laki kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan
berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya syariat Islam itu terasa banyak bagiku,
maka (ajarilah aku) satu bab (ilmu) yang aku akan berpegang teguh dengannya?.
Rasulullah menjawab: Hendaknya lisanmu terus
menerus berdzikir kepada Allah”[55]
Edit baru sampai hal:118 (18/4/11) Mubarak
[1] Syaikh Muhammad Nashiruddin Albani – rahimahullah – berkata: “Telah
masyhur dikalangan banyak ahlul ilmi dan thalibul ilmi bahwa hadits dhaif boleh
dipakai dalam masalah fadhailul amal. Mereka menyangka tidak ada ikhtilaf dalam
masalah tersebut, bagaimana tidak menyangka demikian jika Imam Nawawi
sendiri telah menyebutkan kesepakatan ulama dalam masalah ini dibanyak tempat
dalam kitab-kitabnya. Apa yang ia kemukakan itu harus dikritik, karena
perselisihan dalam masalah ini sudah ma’ruf, sebagian ulama muhaqqiqin
menegaskan bahwa hadits dhaif tidak boleh digunakan secara mutlak, tidak boleh
digunakan dalam masalah ahkam ataupun fadhailul amal. Syaikh Alqasimi
rahimahullah berkata didalam kitab “Qawa’idut Tahdits” (Hal: 94): “Ibnu
Sayidinnas meriwayatkan dalam “Uyunul Atsar” yang berpendapat demikian
adalah Yahya bin Ma’in, beliau menisbatkan juga dalam “Fathul Mughits”yang
berpendapat demikian Abu Bakar ibnul Arabi, pendapat Bukhari dan Muslim juga
menyatakan demikian… dan juga madzhabnya Ibnu Hazm …” Aku katakan (Syaikh
Albani): “Inilah yang benar karena beberapa hal …”(Dinukil dari kitab “Tamamul
Minnah” hal: 34 . Barang siapa yang ingin lebih jelas silahkan merujuk ke
kitab tersebut-pent.)
[2] HR Bukhari dan lainnya
[3] HR Tirmidzi (2666) dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih
Sunan Tirmidzi.
[4] HR Bukhari (6689) Muslim (1907)
Faedah: Teks hadits yang disebutkan oleh Imam Nawawi adalah gabungan
dari beberapa riwayat
[5] Ibnu Rajab menyatakan dalam kitabnya “Jami’ul Ulum Wal Hikam”:
“Telah masyhur bahwa kisah muhajir Ummu Qais adalah sebab diucapkannya hadits:
“Barangsiapa hijrah untuk dunia yang ia dapatkan atau wanita yang ia nikahi …”.
Banyak muta’akhirin yang menyebutkan hal ini dalam kitab-kitab mereka, tapi
kami tidak dapatkan keterangan ini dalam hadits yang sanadnya sahih. Wallahu
A’lam.
[6] Syaikh Muhamad bin Shalih Al Utsaimin berkata:
Diambil faidah dari perkataan Nabi:
v Sesungguhnya amalan
itu tergantung niatnya” bahwa tidak ada satu amalan pun kecuali disertai niat,
karena orang yang berakal dan berbuat dengan pilihannya tidak mungkin melakukan
amalan tanpa niat. Hingga sebagian ulama berkata: “Kalaulah Allah membebankan
kepada kita untuk mengamalkan suatu amalan tanpa niat niscaya itu adalah beban
yang tidak mampu dilakukan”. Bercabang dari faidah ini:
v Bantahan terhadap
orang yang was-was, yang mengamalkan amalan beberapa kali, kemudian setan
berkata kepadanya: “Kamu belum niat”. Kita katakan kepada mereka: “Tidak, tidak
mungkin kalian mengamalkan amalan kecuali dengan niat. Janganlah
memberat-beratkan diri dan tinggalkanlah was-was!”
v Bahwasanya manusia
diberi pahala atau dosa atau tidak mendapatkan kebaikan, semuanya dengan niat,
berdasarkan sabda nabi: “Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan
rasul-Nya maka hjrahnya kepada Allah dan rasul-Nya.
v Bahwa amalan sesuai
dengan tujuannya. Kadang suatu perkara yang mubah menjadi suatu ketaatan jika
diniatkan untuk kebaikan. Misalnya makan dan minum dengan niat untuk taat
kepada Allah. Nabi bersabda:
تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ
بَرَكَةٌ.
Artinya: “Makan
sahurlah kalian karena dalam makan sahur itu ada barakah”
Diantara faidah
hadits ini: Seorang pengajar seyogyanya membuat permisalan yang menjelaskan
hukum. Nabi telah membuat permisalan dengan hijrah, yaitu berpindah dari negeri
syirik ke negeri Islam dan menjelaskan bahwa amalan hijrah kadang mendatangkan
pahala bagi seseorang tapi bagi yang lainnya tidak mendatangkan pahala. Orang
yang berhijrah dengan niatan hijrah karena Allah dan rasul-Nya akan mendapatkan
pahala dan mendapatkan apa yang ia maksud. Adapun orang yang hijrah karena
dunia yang akan didapat atau wanita yang akan dinikahi tidak akan mendapatkan
pahala (Lihat Ta’liqat Arbain karya Syaikh Ibnu Utsaimin)
[7] HR Muslim (1)
[8] HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Salim Alhilai ‘Iqadhul
Himam. Lihat penjelasan hadits ini di no: sembilan belas.
[10] HR Bukhari (8) Muslim (16)
[11] Syaikh Ibnu Utsaimin menyebutkan beberapa faedah hadits ini
diantaranya:
[12] HR Bukhari (8) Muslim (16)
[13] HR. Bukhari dari hadits Sahl bin Sa’ad, lihat Iqadhul Himam
hal: 31.
[14] Syaikh Ibnu Utsaimin menyebutkan beberapa faedah hadits ini:
1
Penjelasan tentang fase penciptaannya manusia dalam
perut ibunya ada empat tahapan. Pertama: tahapan Nutfah selama empat
puluh hari, kedua: tahapan ‘Alaqah selama empat puluh hari, ketiga:
tahapan Mudghah selama empat puluh hari dan keempat: tahapan terakhir
setelah ditiup ruh padanya. Janin tumbuh dalam perut ibunya dalam tahapan ini.
2
Diantara faidah hadits ini adalah: jika janin belum
berumur empat bulan maka belum dihukumi sebagai manusia yang sudah hidup,
dengan demikian jika (kandungan) keguguran kurang dari empat bulan tidak
dimandikan, tidak dikafani dan juga tidak dishalati karena dia belum teranggap
manusia.
3
Diantara faidah hadits ini adalah: setelah empat bulan
ditiup padanya ruh dan dihukumi sebagai manusia yang hidup, jika keguguran
sudah berumur empat bulan harus dimandikan, dikafani dan dishalati sebagaimana
bayi berumur sempurna sembilan bulan.
4
Diantara faidah hadits ini adalah: bagi rahim ada
malaikat yang ditugaskan, berdasarkan perkataan Rasulullah: “Diutus kepadanya
malaikat “ yakni malaikat yang ditugaskan di rahim.
5
Diantara faidah hadits ini adalah: keadaan manusia
ditulis ketika masih diperut ibunya (yaitu tentang) rezekinya, amalannya,
ajalnya, celaka atau bahagianya.
6
Diantara faidah hadits ini adalah: penjelasan hikmah
Allah ‘azza wa jalla, bahwa segala sesuatu disisinya itu dengan ajal yang
ditentukan dengan kitab, yang tidak dimajukan dan tidak akan diakhirkan.
7
Diantara faidah hadits ini adalah: seseorang harus
dalam keadaan takut dan khawatir, karena Rasulullah bersabda: “Sungguh salah
seorang dari kalian mengamalkan suatu amalan ahli surga sehingga tidak ada
jarak yang memisahkan dia dari surga kecuali satu hasta, tapi catatan
(ketentuan Allah) telah mendahuluinya, kemudian dia mengamalakan amalan ahli neraka
sehingga dia pun masuk kedalam neraka.
Diantara faidah hadits ini adalah:
seseorang jangan memutuskan Raja’nya (harapan) karena kadang ada orang
yang lama melakukan maksiat kemudian Allah memberikan karunia hidayah hingga
dia mendapat hidayah diakhir umurnya
[15] HR Bukhari (2697) Muslim (1718)
[16] Muslim (1718)
[17] Ibnu Rajab Rahimahullah berkata: “Hadits ini adalah salah
satu pokok Islam yang agung, jika hadits “Innamal a’malu binniyat” adalah
timbangan amal batin, maka hadits ini adalah timbangan amal dalam dhahir,
sebagaimana orang yang beramal tidak ikhlas karena Allah tidak ada pahalanya,
demikian pula semua amalan yang tidak ada syariatnya dari Allah dan rasul-Nya
adalah tertolak… (‘Iqadhul Himam: 96).
[18] Faedah-faedah hadits yang disebutkan Syaikh Ibnu Utsaimin:
1.
Barangsiapa yang mengada-adakan satu perkara dalam
Islam yang tidak disyariatkan maka tertolak walaupun niatnya baik. Berdasarkan
faidah ini maka semua bid’ah tertolak tidak diterima dari yang mengamalkannya
walaupun baik niatnya.
2.
Diantara faidah hadits ini: barangsiapa yang
mengamalkan suatu amalan walaupun disyariatkan tapi dilakukan tidak sesuai
bentuk yang disyariatkan maka amalan tersebut tertolak berdasarkan riwayat yang
kedua dalam riwayat Muslim. Atas dasar ini barangsiapa yang jual beli barang
yang haram maka jual belinya batil, barangsiapa shalat sunnah tanpa ada sebab
di waktu yang terlarang maka shalatnya batil, barangsiapa yang berpuasa di hari
‘ied (hari raya) maka puasanya batil, dan seterusnya. Karena semua ini bukan
dari perintah Allah dan rasul-Nya sehingga menjadi batil dan tertolak.
[19] HR. Tirmidzi dan lainnya dan dishahihkan oleh
[20] Faedah dari Syaikh Ibnu Utsaimin:
Dari hadits ini ada beberapa faedah:
1.
Syariat Islam perkara halalnya jelas dan perkara
haramnyapun jelas, adapun perkara yang mutasyabih diketahui oleh sebagian
manusia.
2.
Seyogyanya bagi seorang muslim ketika samar atasnya
satu perkara apakah halal ataukah haram hendaknya dia menjauhinya hingga jelas
halalnya.
3.
Diantara faedah hadits ini: Jika seseorang terjatuh
kepada perkara syubhat akan ringan baginya terjatuh pada perkara-perkara yang
jelas haram. Jika sudah terbiasa melakukan perkara yang syubhat maka jiwanya
akan mengajak dia melakukan perkara yang jelas haramnya maka ketika itulah ia
binasa.
4.
Diantara faedah hadits ini: Bolehnya membuat pemisalan
agar menjadi jelas perkara maknawi dengan perkara yang bisa diindera yakni
memberi gambaran yang abstrak dengan yang bisa diindera hingga mudah
memahaminya.
5.
Diantara faedah hadits ini: Bagusnya metode pengajaran
Rasulullah dengan memberikan pemislan dan menjelaskannya.
6.
Diantara faedah hadits ini: Sumber kebaikan dan
kejelekan adalah hati. Berdasar qaidah ini ada satu faedah bahwasanya wajib
atas seorang muslim terus memperhatikan hatinya hingga istiqamah diatas
kewajibannya.
7.
Diantara faedah hadits ini: Rusaknya dhahir adalah
petunjuk rusaknya batin, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
“Jika hati baik baiklah seluruh badannya dan jika hati jelek jeleklah seluruh
badannya” maka kerusakan dhahir menunjukkan rusaknya batin.
[21] Ibnu Rajab berkata: “Diantara macam nasihat yang paling besar
adalah memberi nasihat kepada orang yang memusyawarahkan urusannya sebagaimana
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Jika ada saudaramu
yang muslim minta nasihat kepadamu maka nasihatilah” (‘Iqadhul Himam:
129).
[22] Syaikh Ibnu Utsaimin menyebutkan faedah-faedah hadits ini:
1.
Tercakupnya agama dalam nasehat berdasarkan sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Agama adalah nasehat”
2.
Tempat nasehat ada lima : Bagi Allah, bagi kitab-Nya, Rasul-Nya,
bagi pemimpin muslimin dan bagi seluruh muslimin.
3.
Diantara faedah hadits ini: Anjuran untuk memberi
nasehat di lima
perkara ini. Karena jika ini adalah perkara agama maka tidak diragukan lagi
seorang manusia harus menjaga dan berpegang teguh dengan agamanya, oleh karena
itu Nabi menjadikan nasehat di lima
tempat tersebut.
4.
Diantara faedah hadits ini: Haramnya menipu, karena
nasehat adalah agama adapun menipu adalah lawannya nasehat hingga menipu adalah
menyelisihi agama. Telah shahih dari Nabi: “Barangsiapa yang menipu kami
bukanlah golongan kami”.
[23] Ibnu Rajab berkata: Sabda
Rasulullah: “Dan hisabnya atas Allah” yakni dua kalimah syahadat jika
disertai dengan melaksanakan shalat dan mengeluarkan zakat akan terjaga darah
orang yang mengamalkannya, kcuali kalau dia melakukan perbuatan yang
menghalalkan darahnya. Adapun di akhirat hisabnya atas Allah, jika dia jujur
maka Allah akan masukkan ia ke surga dan jika dusta berarti ia termasuk
kelompok munafik yang akan berada di neraka paling bawah. (‘Iqadhul Himam:
136).
[24] Faedah-faedah hadits dari syaikh Ibnu Utsaimin:
1.
Diantara faedah hadits ini: Wajibnya memerangi manusia
hingga masuk agama Allah atau membayar jizyah, berdasarkan hadits ini dan
dalil-dalil lain yang telah kami sebutkan.
2.
Diantara faedah hadits ini: Barangsiapa yang tidak mau
mengeluarkan zakat boleh diperangi, karena Abu Bakar Radiyallahu’anhu dulu
memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat.
3.
Diantara faedah hadits ini: Jika seseorang masuk Islam
secara dhahir maka batinnya diserahkan kepada Allah, dengan adanya perkataan:
“Jika mereka melakukan itu terjaga darah dan hartanya dariku adapun hisabnya
atas Allah”.
4.
Diantara faedah hadits ini: Menetapkan adanya hisab
yakni manusia akan dihisab amalannya, kalau baik akan dibalas dengan kebaikan
kalau jelek dibalas dengan kejelekan, Allah berfirman:
`yJsù ö@yJ÷ètƒ tA$s)÷WÏB
>o§‘sŒ #\ø‹yz
¼çnttƒ. `tBur
ö@yJ÷ètƒ tA$s)÷WÏB
;o§‘sŒ #vx©
¼çnttƒ.
“Barangsiapa yang mengerjakan
kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.Dan
barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan
melihat (balasan)nya pula” (Al Zalzalah: 7-8).
[25] Lafadz haditsnya: Dari Ibnu Abbas Radiyallahu’anhuma:
“Rasulullah telah berkhutbah kepada kami, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah
mewajibkan haji atas kalian”, maka Aqra bin Habis berkata: “Apakah setiap tahun
ya Rasulullah, Rasulullah bersabda: “Jika aku katakan ya niscaya akan wajib
tiap tahun, haji wajib satu kali sedangkan yang lebih dari sekali adalah
sunnah” (HR. Tirmidzi dan lainnya, dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam
shahih Abu Dawud: 1514).
[26] Faedah hadits dari syaikh Ibnu Utsaimin:
1.
Wajibnya menjauhi perkara yang dilarang Rasulullah,
tentunya terlebih lagi yang dilarang oleh Allah, ini selama tidak ada dalil
yang menunjukkan larangan tersebut adalah makruh.
2.
Diantara faedah hadits ini: Tidak boleh melakukan
sebagian perkara yang dilarang akan tetapi wajib menjauhi semuanya, itu semua
jika tidak ada perkara darurat yang membolehkan melakukannya.
3.
Diantara faedah hadits ini: Wajib mengamalkan perkara
yang diperintahnya ini apabila tidak ada dalil yang menunjukkan perintah
tersebut adalah sunnah.
4.
Diantara faedah hadits ini: Seseorang tidak wajib
melakukan perkara yang lebih dari kemampuannya.
5.
Diantara faedah hadits ini: mudahnya agama Islam, ini
karena tidak mewajibkan atas seseorang kecuali yang mampu ia kerjakan.
6.
Barangsiapa yang tidak mampu mengerjakan sebagian
perkara yang diperintahkan cukup melakukan yang mampu ia lakukan. Barangsiapa
yang tidak mampu shalat dengan berdiri boleh shalat dengan duduk, barangsiapa
yang tidak bisa duduk boleh dengan berbaring. Barangsiapa yang bisa ruku’ maka
ruku’lah dengan sempurna, jika tidak mampu maka ruku’lah dengan isyarat.
Demikianlah ibadah yang lainnya seseorang melakukan sesuai dengan kadar
kemampuannya.
7.
Diantara faedah hadits ini: Seseorang tidak boleh
banyak bertanya. Karena banyak bertanya terutama di zaman masih turunnya wahyu
kadang menyebabkan diharamkannya satu perkara yang tidak haram atau
diwajibkannya satu perkara yang tidak wajib. Seseorang boleh bertanya sebatas
yang ia butuhkan saja.
8.
Diantara faedah hadits ini: Banyak berselisih dan
banyak bertanya adalah sebab kebinasaan, sebagaimana umat sebelum kita binasa
dengan sebab itu.
Diantara faedah hadits ini: Peringatan
agar jangan banyak tanya dan berselisih, karena hal tersebut telah membinasakan
umat sebelum kita. Jika kita melakukannya sebentar lagi kita akan binasa
seperti mereka.
[27] Dalam riwayat Tirmidzi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Allah tidak akan menerima shalat seseorang jika tidak bersuci, dan
Allah tidak akan menerima shadaqah dari hasil korupsi (curian). (Dishahihkan
oleh Syaikh Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi).
[28] Faedah dari syaikh Ibnu Utsaimin:
1.
Mensifati Allah dengan Thayib (baik) Dzat-Nya,
sifat-Nya dan perbuatan-Nya.
2.
Mensucikan Allah dari semua sifat kurang.
3.
Amalan ada yang Allah terima dan ada yang tidak
diterima.
4.
Allah menyuruh rasul dan umatnya untuk memakan makanan
yang baik dan bersyukur kepada Allah.
5.
Bersyukur adalah amalan shalih berdasarkan firman
Allah:
$pkš‰r'¯»tƒ
ã@ß™”9$#
(#qè=ä.
z`ÏB ÏM»t6Íh‹©Ü9$#
(#qè=uHùå$#ur
$·sÎ=»|¹ (
“Hai rasul-rasul, makanlah dari
makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh” (Al Mu’minun: 51).
Dan
Allah berfirman kepada orang beriman:
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä (#qè=à2
`ÏB
ÏM»t6ÍhŠsÛ $tB
öNä3»oYø%y—u‘
(#rãä3ô©$#ur
¬! bÎ)
óOçFZà2
çn$ƒÎ)
šcr߉ç7÷ès?
.
“Hai orang-orang yang beriman,
makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan
bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah” (Al Baqarah: 172).
Ini
menunjukkan bahwa bersyukur adalah amalan shalih.
6.
Diantara syarat dikabulkannya do’a adalah menjauhi
makanan yang haram, berdasarkan sabda Nabi tentang orang yang makanannya haram,
pakaiannya haram, diberi makanan yang haram: “Bagaimana bisa diterima do’anya”.
7.
Diantara sebab dikabulkannya do’a adalah ketika
seseorang dalam safar.
8.
Diantara sebab dikabulkannya do’a adalah mengangkat
dua tangan ketika berdo’a kepada Allah.
9.
Diantara sebab dikabulkannya do’a adalah tawassul
kepada Allah dengan rububiyah-Nya karena dengannya penciptaan dan pengaturan.
10.
Para rasul dibebani untuk beribadah sebagaimana halnya
orang beriman.
11.
Wajibnya bersyukur kepada Allah atas nikmat-Nya,
berdasarkan firman-Nya: “Bersyukurlah kepada Allah”.
12.
Seyogyanya bahkan wajib atas seseorang untuk melakukan
sebab yang akan menyampaikan ke tujuannya serta menjauhi sebab yang akan
menghalangi tujuannya.
[29] Faedah hadits:
1.
Yang ditunjukkan oleh konteks hadits adalah meninggalkan
perkara yang meragukan kemudian melakukan yang tidak meragukan.
2.
Seorang diperintah untuk menjauhi perkara yang akan
menyebabkab kebimbangan.
[30] Faedah hadits:
1.
Keislaman seseorang berbeda-beda ada yang baik ada
yang tidak, berdasarkan sabda Rasulullah: “Diantara bagusnya keislaman
seseorang”.
2.
Diantara faedah hadits ini: seorang muslim hendaknya
meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat dalam urusan dunia ataupun agamanya,
karena itu akan lebih menjaga waktunya dan lebih menyelamatkan agamanya dan
lebih mudah menguranginya, kalau dia masuk mengurusi urusan manusia yang tidak
bermanfaat niscaya akan capai, akan tetapi jika dia berpaling darinya dan tidak
sibuk kecuali dengan perkara yang bermanfaat akan menjadi ketentraman dan
ketenangan baginya.
3.
Seorang muslim jangan menyia-nyiakan perkara yang
bermanfaat bagi dirinya yakni yang penting baginya dalam masalah agama ataupun
dunia, bahkan seharusnya dia menekuni dan sibuk dengannya dan melakukan cara
yang lebih dekat untuk mendapatkan yang dimaksud.
[31] Faedah hadits:
1.
Iman bertingkat-tingkat, ada yang sempurna dan ada
yang kurang, ini adalah madzhab ahlus sunnah waljama’ah bahwasanya iman
bertambah dan berkurang.
2.
Diantara faedah hadits ini: Anjuran untuk mencintai
kebaikan pada kaum mukminin, berdasarkan: “Hingga senang saudaranya mendapatkan
apa yang ia cintai”.
3.
Diantara faedah hadits ini: peringatan mencintai bagi
mukmin apa yang tidak ia senangi bagi dirinya, karena dengan berbuat itu
berkurang imannya sampai-sampai Rasulullah menafikan iman yang menunjukkan pentingnya
seorang senang saudara-saudaranya mendapatkan apa yang ia cintai.
4.
Diantara faedah hadits ini: Memperkuat ikatan diantara
mukminin.
5.
Diantara faedah hadits ini: Baangsiapa yang mempunyai
sifat seperti ini tidak akan mendhalimi seorang mukmin dalam harta, kehormatan
atau keluarganya, karena ia tidak senang orang lain mendhaliminya maka tidak
mungkin ia ingin mendhalimi orang lain.
6.
Diantara faedah hadits ini: Umat Islam adalah satu
tangan dan satu hati, ini diambil dari makna kesempurnaan iman adalah senang
saudaranya mendapatkan apa yang ia cintai untuk dirinya.
7.
Diantara faedah hadits ini: Menggunakan apa yang
menyentuh perasaan dalam perkataan, dalam sabdanya: “Bagi saudaranya” kalau mau
beliau bisa bersabda: “Tidak beriman seseorang kalian hingga senang orang
mukmin mendapatkan apa yang ia cintai tapi beliau berkata: “Saudaranya”
menumbuhkan perasaan seseorang untuk senang jika saudaranya mendapatkan apa
yang ia cintai untuk dirinya sendiri.
[32] HR. Bukhari Muslim dan sudah dibahas pada hadits kedelapan.
[33] Faedah hadits:
1.
Menghormati seorang muslim, seorang muslim terjaga
darahnya berdasarkan sabdanya: “Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan
tiga sebab” diantara yang menyebabkan halalnya darah muslim adalah “Pezina yang
sudah menikah” yaitu orang yang berzina setelah nikah yang benar dan menjimai
istrinya, orang ini dirajam sampai mati. “Jiwa dibalas jiwa” yakni jika
membunuh seseorang dan sempurna syarat qishash maka dibunuh, berdasarkan firman
Allah:
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNä3ø‹n=tæ ÞÉ$|ÁÉ)ø9$#
’Îû
‘n=÷Fs)ø9$#
.
“Wahai
orang-orang yang beriman, telah ditetapkan atas kalian qishash dalam
pembunuhan” (Al
Baqarah: 178).
Allah berfirman:
$oYö;tFx.ur öNÍköŽn=tã !$pkŽÏù
¨br& }§øÿ¨Z9$#
ħøÿ¨Z9$$Î/
“Dan
kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa”
(Al Maidah: 45).
Yang ketiga “Orang yang
meninggalkan agamanya memisahkan diri dari jama’ah” yakni murtad, jika murtad
setelah Islam halal darahnya karena berarti sudah tidak terlindungi lagi
darahnya.
2.
Diantara faedah hadits ini: Wajib merajam pezina
berdasarkan sabdanya: “Pezina yang sudah menikah”
3.
Diantara faedah hadits ini: Bolehnya qishash akan
tetapi seseorang boleh memilih – yakni yang berhak mengqishash bisa memilih –
antara mengqishash dan memaafkan dengan diyat (denda) atau memaafkan tanpa
diyat.
4.
Diantara faedah hadits ini: Wajibnya membunuh orang
murtad jika tidak bertaubat.
[34] HR. Tirmidzi dan akan dibahas pada hadits no. 29.
[35] Faedah hadits:
1.
Wajibnya memuliakan tetangga yaitu dengan cara
menghilangkan gangguan kepadanya serta memberikan perbuatan baik kepadanya.
Barangsiapa yang tidak berusaha menghilangkan gangguan pada tetangganya
bukanlah seorang mukmin, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: وَاللهِ لاَيُؤْمِنُ وَاللهِ
لاَيُؤْمِنُ وَاللهِ لاَيُؤْمِنُ قَالُوْا: مَنْ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَنْ
لاَيَأْمَنُ جَارَهُ بِوَائقه.
“Demi Allah tidaklah beriman, Demi
Allah tidaklah beriman, Demi Allah tidaklah beriman” Para
shahabat bertanya: Siapa wahai Rasulullah?Beliau menjawab: “Orang yang
tetangganya tidak aman dari gangguan dia” (HR.
Bukhari).
2.
Diantara faedah hadits ini: Wajibnya menghormati tamu,
berdasarkan sabda Rasulullah: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari
akhir hendaknya memuliakan tamunya”. Termasuk memuliakan tamu adalah dengan
mebaguskan jamuannya. Jamuan yang wajib adalah sehari semalam, adapun
selebihnya adalah sunnah. Seorang yang bertamu tidak sepatutnya berlama-lama
akan tetapi singgah sekedar kebutuhannya, dan jika melebihi tiga hari hendaknya
minta ijin kepada tuan rumah dan jangan meberatkannya.
3.
Diantara faedah hadits ini: Islam menjaga tetangga dan
tamu, ini menunjukkan sempurnanya Islam dan bahwasanya Islam mengandung
pemenuhan hak Allah dan hak manusia.
4.
Diantara faedah hadits ini: Boleh menafikan iman dalam
artian menafikan kesempurnaannya, berdasarkan sabda Rasulullah: “Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir” menafikan iman ada dua bagian: Pertama:
Penafian mutlak yang dengannya seseorang menjadi kafir keluar dari
Islam. Kedua: Mutlak naïf yaitu yang dengannya seseorang kufur
dalam perkara yang dia remehkan akan tetapi bersamanya masih ada iman, inilah
manhaj ahlus sunnah wal jama’ah bahwasanya pada seseorang kadang terkumpul
perangai iman dan perangai kekufuran.
[36] HR. Abu Dawud dan Tirmidzi,
[37] Faedah dari syaikh Ibnu Utsaimin:
Diambil
faedah dari hadits ini seorang mufti dan pengajar seyogyanya mengetahui keadaan
orang yang minta fatwa dan orang yang belajar, serta menjawabnya sesuai keadaan
yang dibutuhkan, walaupun jika bicara dengan yang lain akan menjawab dengan
jawaban yang berbeda.
[38] Faedah dari syaikh Ibnu Utsaimin:
1.
Allah menetapkan berbuat baik pada segala sesuatu
sampaipun dalam menyembelih karena Allah memerintahkan berbuat baik padanya.
2.
Diantara faedah hadits ini: Wajib berbuat baik dalam
membunuh yaitu dengan cara yang termudah untuk menghilangkan nyawanya dan juga
wajib berbuat baik ketika menyembelih yaitu dengan melakukan cara terbaik dalam
usaha menghilangkan ruhnya, akan tetapi tentunya dengan cara yang disyariatkan.
3.
Diantara faedah hadits ini: Dituntut untuk meneliti
alat untuk menyembelih berdasarkan sabdanya: “Hendaknya salah seorang kalian
menajamkan pisaunya”
4.
Diantara faedah hadits ini: berusaha untuk menenangkan
binatang sembelihan ketika menyembelih diantaranya dengan membaringkannya
dengan lemah lembut tidak kasar dalam membaringkannya, juga dengan meletakkan
kaki penyembelih pada leher binatang sembelihan tersebut dan membiarkan dua
kaki dan dua tangannya tanpa diikat karena itu akan lebih menenangkannya dan
membuatnya bebas dalam bergerak dan juga akan lebih mudah keluarnya darah.
[39] HR. Tirmidzi,
[40] Faedah dari syaikh Ibnu Utsaimin:
1.
Semangatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam
membimbing umatnya dan mengarahkan mereka kepada kebaikan dan kemaslahatan,
diantaranya dengan mewajibkan bertaqwa kepada Allah dimanapun berada dan
mewajibkan bertaqwa kepada Allah dalam keadaan sendiri ataupun kelihatan orang
lain, berdasarkan sabdanya: “Bertaqwalah dimanapun kamu berada”
2.
Diantara faedah hadits ini: Isyarat bahwa kejelekan
jika diiringi oleh kebaikan, maka kebaikan tersebut akan menghapuskan dan
menghilangkannya secara total, ini umum mencakup semua kebaikan dan kejelekan. Jika
kebaikan disini maksudnya adalah taubat karena memang taubat akan menghapus
dosa sebelumnya. Adapun jika yang dimaksud selain taubat yaitu seorang
melakukan kejelekan kemudian melakukan perbuatan baik maka ini akan ditimbang
jika ternyata amal baiknya lebih unggul dari kejelekan hilanglah pengaruh
kejelekan itu, sebagaimana firman Allah:
ßìŸÒtRur
tûïΗºuqyJø9$# xÝó¡É)ø9$# ÏQöqu‹Ï9 ÏpyJ»uŠÉ)ø9$#
Ÿxsù ãNn=ôàè? Ó§øÿtR $\«ø‹x©
(
bÎ)ur
šc%Ÿ2
tA$s)÷WÏB
7p¬6ym ô`ÏiB
@AyŠöyz $oY÷s?r&
$pkÍ5
3
4’s"x.ur $oYÎ/
šúüÎ7Å¡»ym .
“Kami akan memasang
timbangan yang tepat pada hari kiamat, Maka tiadalah dirugikan seseorang
sedikitpun, walau seberat biji sawipun pasti kami mendatangkan (pahala)nya. Dan
cukuplah kami sebagai pembuat perhitungan” (Al Anbiya:47).
Kemudian Rasulullah bersabda:
“Bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik, Nabi tidak menyebut dengan
khusus cara akhlak yang baik karena akhlak baik berbeda-beda sesuai dengan
keadaan manusianya. Kadang baik menurut seseorang tapi orang lain tidak berpendapat
demikian. Orang berakal akan tahu dan bisa menimbang.
[41] Faedah dari syaikh Ibnu Utsaimin:
1.
Nabi bergaul dengan lemah lembut dengan orang yang
dibawah derajatnya dimana beliau berkata: “Ya ghulam, aku ajari kamu beberapa
kalimat”
2.
Diantara faedah hadits ini: Seorang yang akan
menyampaikan ucapan penting seyogyanya mendahului dengan ucapan yang menggugah
perhatian, dimana beliau berkata: “Ya ghulam, aku ajari engaku beberapa
kalimat”
3.
Diantara faedah hadits ini: Barangsiapa yang menjaga
Allah maka Allah akan menjaganya. Berdasarkan sabdanya: “Jagalah Allah niscaya
Allah akan menjagamu”. Telah dijelaskan makna jagalah Allah niscaya Allah akan
menjagamu.
4.
Diantara faedah hadits ini: Barangsiapa yang
menyia-nyiakan Allah – yakni menyia-nyakan agama-Nya – maka Allah akan
menyia-nyiakannya dan tak akan menjaganya. Allah berfirman:
Ÿwur
(#qçRqä3s? tûïÏ%©!$%x.
(#qݡnS
©!$# öNßg9|¡Sr'sù öNåk|¦àÿRr&
4
šÍ´¯»s9'ré& ãNèd šcqà)Å¡»xÿø9$# .
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa
kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka
Itulah orang-orang yang fasik” (Al Hasyr: 19).
5.
Diantara faedah hadits ini: Barangsiapa yang menjaga
Allah, maka Allah akan membimbing dan menunjukinya kepada kebaikan dan
barangsiapa yang menjaga Allah, Allah akan menolak kejelekan darinya, karena
sabdanya: “Jagalah Allah niscaya kamu dapati Dia ada dihadapanmu” seperti
sabdanya dalam lafadz lain: “Akan kamu dapati dihadapanmu”.
6.
Diantara faedah hadits ini: Jika seseorang butuh
bantuan hendaknya minta bantuan kepada Allah, akan tetapi tidak dilarang minta
bantuan kepada selain Allah yakni kepada manusia yang mungkin bisa menolongnya
berdasarkan sabda Nabi: “Engkau membantu seseorang dalam tunggangannya, engkau
bawakan kepadanya atau engkau angkatkan barangnya keatas kendaraannya adalah
shadaqah.
7.
Umat tidak bisa memberi manfaat kepada seseorang
kecuali jika Allah telah menetapkannya dan juga tidak bisa memberi mudharat
kepada seseorang kecuali Allah telah menetapkan atasnya.
8.
Seorang hamba hendaknya menggantungkan harapannya
kepada Allah dan jangan berpaling kepada makhluk karena makhluk tidaklah
memiliki manfaat ataupun mudharat.
9.
bahwasanya segala sesuatu telah dicataat dan telah
selesai pencatatannya, telah ada riwayat yang shahih dari Rasulullah bahwasanya
Allah telah mencatat takdir makhluk lima
puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.
10.
Dalam riwayat lain bahwasanya jika seorang hamba
mengenal Allah dengan mentaati-Nya ketika sehat dan lapang, niscaya Allah akan
mengenalnya ketika dia dalam keadaan kesulitan, Allah akan berlemah lembut
kepadanya dengan menolongnya serta menghilangkan kesulitannya.
11.
Jika Allah telah menetapkan sesuatu atas manusia maka
tidak akan meleset darinya, dan jika Allah tidak menetapkan sesuatu atas hamba
maka tidak akan mengenainya.
12.
Kabar gembira yang agung bagi orang-orang sabar yaitu
bahwasanya pertolongan beriringan dengan kesabaran.
13.
Kabar gembira yang besar juga bahwasanya hilangnya
kesulitan dan kesusahan beriringan dengan adanya kesulitan, setiapkali
kesulitan menimpa seorang hamba maka Allah akan memberinya jalan keluar.
14.
Kabar gembira yang besar yaitu jika seseorang tertimpa
kesulitan tunggulah datangnya kemudahan, Allah telah menyebutkan hal ini dalam
Al Qur’an:
¨bÎ*sù
yìtB ÎŽô£ãèø9$# #·Žô£ç„
. ¨bÎ) yìtB ÎŽô£ãèø9$# #ZŽô£ç„
.
Sesungguhnya
bersama kesulitan ada kemudahan, sungguh
bersama kesulitan ada kemudahan” (Al Insyirah: 5-6).
Ketika terasa sulit
satu perkara atasmu maka bersegeralah menghadap Allah menunggu kemudahan
dari-Nya dan membenarkan janji-Nya.
[42] Faedah dari syaikh Ibnu Utsaimin:
Dari
hadits ini bisa diaimbil faedah: Bahwa sifat malu termasuk perkara yang ada
dalam syariat terdahulu. Seseorang hendaknya tegas. Jika satu perkara tidak
membuatnya malu lakukanlah, kemutlakan ini dibatasi selama melakukannya tidak
menimbulkan kerusakan, jika menimbulkan kerusakan kerusakan jangan dilakukan
karena khawatir terjadinya kerusakan ini.
[43] Faedah dari Syaikh Ibnu Utsaimin:
1. Semangat para shahabat
untuk bertanya tentang perkara yang bermanfaat bagi agama dan dunia mereka.
2.
Pemahaman Abu ‘Amr atau Abu Amrah dimana beliau
bertanya dengan pertanyaan yang agung ini, yang merupakan perkara tertinggi,
tidak butuh lagi bertanya kepada yang lainnya. Ketika beliau berkata: “Katakanlah kepadaku dalam Islam satu
perkataan yang tidak akan aku tanyakan lagi kepada seorangpun selainmu”
3. Wasiat yang paling
baik dan paling mencakup adalah yang terkandung dalam hadits ini, iman kepada
Alloh kemudian istiqamah diatasnya berdasar sabda Rasululloh: “Aku beriman kepada Alloh kemudian istiqamahlah”
4. Diantara faedah hadits
ini: Iman kepada Alloh bukan berarti tidak butuh istiqamah bahkan harus beriman
kepada Alloh dan istiqamah diatas agama-Nya.
5. Agama Islam dibangun di
atas dua perkara ini, iman tempatnya di hati dan istiqamah tempatnya pada
anggota badan walaupun hati ada bagiannya namun asalnya adalah anggota badan,
wallohu a’lam.
[44] Faedah dari syaikh Ibnu Utsaimin:
Semangat para
shahabat dalam bertanya kepada nabi
2.Tujuan hidup ini
adalah masuk syurga
3.Pentingnya shalat lima waktu merupakan
masuk syurga beserta amalan lain yang disebutkan dalam hadits
4.Pentingnya puasa
5.Wajibnya
menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram yakni seseorang melakukan
yang halal dengan meyakini halalnya, menjauhi yang haram dengan meyakini haramnya.
Akan tetapi dalam perkara yang halal
seorang punya pilihan untuk melakukannya atau tidak,sedangkan peerkara yang
haram dia harus menjauhinya dengan diiringi keyakinan haramnya.
[45] Faedah :
1.
Anjuran untuk bersuci dan menjelaskan kedudukannya
dalam agama,setengah dari iman.
2.
Anjuran untuk bertahmid dan bertasbih,karena dapat
memenuhi timbangan,sedangkan mengumpulkan antara tasbih dan tahmid akan
memenuhi apa yang ada diantara langit dan bumi.
3.
Anjuran untuk shalat yang merupakan cahaya dan dari
faidah ini akan bercabang faidah lain yaitu membuka pintu ilmu dan pemahaman
bagi manusia.
4.
Anjuran untuk bershodaqah dan penjelasan bahwa
shodaqah adalah burhan dan dalil atas kebenaran iman orang yang bershodaqah
tersebut.
5.
Anjuran untuk sabar yang merupakan cahaya karena sabar
itu sulit bagi manusia sebagaimana sulit nya karena terik matahari.
6.
Alqur’an adalah hujah bagi atau atas manusia dan tidak
ada yang tengah-tengah yang tidak menjadi hujah bagi atau atas manusia,akan
tetapi [hanya ada dua] apakah ini[hujah bagi manusia]ataukah itu[hujah atas
manusia].Kita meminta kepada Allah agar menjadikannya sebagai hujah bagi kita
dan bermanfaat bagi kita.
·
Diantara faidah hadits ini juga :setiap manusia pasti
beramal berdasarkan sabdanya:”Setiap manusia berpagi-pagi….” Dan telah tsabit
bahwa beliau berkata: Nama-nama yang paling benar adalah harits dan hamam
karena setiap manusia itu harits[….] dan
hamam[….]
·
Faidah hadits ini juga bagi orang yang beramal hanya
ada dua pilihan apakah ia akan membebaskan dirinya ataukan membinasakan
dirinya.jika ia melakukan ket aatan kepada Allah dan menjauhi maksiat beerarti telah membebaskan dan memerdekakan
dirinya dari bujukan syaiton ,jika sebaliknya berarti telah membinasakannya.
[46] HR Ibnu Abi ‘Ashim dalam As
sunnah (15) Dan didhaifkan oleh
Syaikh Albani dalam Dhilalul Jannah
(15) juga oleh Syaikh Muqbil dalam Muqadimah
Al Muqtarah hal 15-16.
[47] HR Tirmidzi (3540). Dibawakan oleh Syaikh Albani dalam As Shahihah (127)
[48] HR Bukhari (6732) Muslim (1615)
[49] HR Bukhari (3105) Muslim (1444)
[50] HR Bukhari (2236) Muslim (1581)
[51] HR Bukhari (6124) Muslim (2001)
[52] HR Tirmidzi (2380) Di shahihkan
Syaikh Albani dalam Irwaul ghalil
(1983) As Shahihah (2265).
[53] HR Muslim (58)
[54] HR Tirmidzi (2344) Disebutkan oleh Syaikh Albani dalam Ash shahihah (310) Syaikh Muqbil dalam Shahihul Musnad (986)
[55] HR Ahmad (17611) Sanad hadits ini dhaif. Syaikh Muqbil Memasukkan hadits ini dalam Shahihul Musnad dengan lafadz: “Kabarkan kepadaku satu perkara yang aku
berpegang teguh dengannya..”